Indrarinda X - Senja yang Paling Indah

Peringatan 7 hari wafatnya mbah Harti.
Sore hari dengan diantar Farhan aku menuju rumah bude Heti. Mama sudah berada disana bersama papa, mbah uti, pakde Wid, bude Nur dan bude Yanti bersama mas Fadhil. Sejak hari wafatnya mbah Harti sampai sekarang aku belum sempat berbicara dengan mas Indra.
Sampai disana kami disambut langsung oleh mas Indra. Farhan menyalami mas Indra.
“Mas, turut berbelasungkawa ya, maaf baru bisa datang sekarang.” Kata Farhan.
“Iya han, makasih. Ayo silakan masuk.” Kata mas Indra.
Farhan masuk, bertemu papa. Aku masih mematung di teras, di depan mas Indra. Canggung. Ya semenjak kejadian di kamar rumah sakit tempo hari. Aku bingung mau berkata apa.
“Ayo Rin… “ Tiba-tiba mas Indra menarik tanganku. Pergi dari teras.
“Kemana mas?” aku tak tahu akan diajak kemana.
Mas Indra membawaku ke mobil. Tanpa pamit, tanpa tahu tujuan, aku dibawanya. Aku masih tak tau mas Indra membawaku pergi. Ini sudah sore. Matahari sudah berjalan menuju peraduan di ujung barat. Sepanjang jalan kami hanya diam. Mas Indra tak berbicara sepatah kata pun. Aku jadi takut untuk memulai pembicaraan.
Dan ternyata masa Indra membawaku ke pantai Kenjeran. Kami turun dari mobil. Mas Indra duduk begitu saja di tepi jalan. Aku ikut dengannya. Duduk di sampingnya, menghadap laut.
“ Maaf ya Rin… mungkin aku bikin kamu bingung.” Mas Indra akhirnya bersuara.
“Nggak apa-apa kok mas, aku tau pikiran mas Indra lagi kalut.” Aku memaklumi.
Hening. Sering seperti ini.
“Nggak nyangka ya, ternyata kamu beneran Arinda kecil itu.” Mas Indra membuka percakapan. Aku tahu arahnya.
“Aslinya mas Indra udah tau kan kalau Arinda yang mas kenal itu Arinda masa kecil mas Indra?”
“Dari mana kamu tau?”
“Dari ekspresi mas Indra waktu tahu nama lengkapku. Mas Indra selalu inget nama lengkapku kan?”
“Dan waktu kamu sudah tau namaku, kamu juga punya prasangka kan? Kalau aku adalah Indra yang diceritain Almarhumah Eyangku ke kamu?”
“Kamu tahu kenapa kamu dikasih nama Arinda?” tanya mas Indra.
“Kenapa mas?”
“Nama Arinda itu pemberian ibuku. Awalnya nama kamu itu cuma Fajar Pramesthi. Dan ibuku nyumbang nama Arinda.” Mas Indra bercerita.
“Artinya Arinda itu apa?”
“Adiknya Indra.”
“Kok Adiknya Indra? Aindra donk?”
“Coba utak atik susunan huruf nama kamu. Bisa dibaca Indra kan? Tapi double A.”
“Arinda, Indraa. Iya.”
Kami tertawa.
“Padahal kita bareng terus selama 3 hari di Bali. Tapi kenapa nggak ada pembicaraan kearah situ ya mas?”
“Soalnya kita sama-sama nggak yakin Rin, masa iya baru kenal langsung nge-judge yang aneh-aneh begitu.”
“Iya sih ya.”
“Kalau ada kejadian gini, pepatah dunia selebar daun kelor itu jadi berlaku ya Rin.”
“Dan kita jadi sadar, semua hal itu nggak ada yang kebetulan, semua hal, sekecil apapun itu memang sudah diatur oleh Allah.”
Hening. Dan di depan kami, terpampang senja. Senja di kota Surabaya.
“Kaya sinetron ya mas?” Kataku pada mas Indra. Memikirkan kejadian-kejadian dalam hidupku yang berhubungan dengan mas Indra beberapa bulan ini.
“Kerenan dikit kenapa?”
“Drama?”
“Boleh.”
“Yang happy ending ya?”
“Pasti.”
Kami tertawa lagi.
Langit cerah. Matahari yang beranjak pergi di ufuk barat terlihat jelas. Aku sering melihat senja di kota ini. Tapi rasanya kali ini beda. Senja hari ini indah. Lebih indah dari sebelum-sebelumya. Karna ada seorang Indra Arsyad disini.

THE END

Jember, 20-11-2011

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting