Indrarinda I - Mbah Harti

"Mbah Harti ini dulu rumahnya depan situ nduk, waktu kamu bayi, uti sering ajak kamu kesitu. Mbah Harti juga sering nggendong kamu, momong kamu dulu." Kata mbah uti panjang lebar, memperkenalkan mbah Harti padaku.
Hari ini memang hari spesial untuk mbah Uti, ini ulang tahunnya ke 74. Kami, anak-cucunya berkumpul di kediaman mbah uti untuk merayakannya. Ada kejutan untuk mbah Uti, mbah Uti kedatangan tamu spesial. Mbah Harti, begitu kami -anak cucu mbah Uti- memanggilnya. Beliau adalah teman akrab mbah uti, beliau juga tetangga dekat mbah uti, keluarga ini sudah menganggapnya seperti keluarga, begitu kata mbah Uti. Tapi aku sendiri tidak paham, sebenarnya siapa itu mbah Harti.
"Waktu mbah pergi, kamu bisa dibilang masih bayi, eee... Sekarang sudah jadi gadis begini. Mbah ndak ngira, bisa lihat kamu lagi nduk" Kata mbah Harti seraya merangkulku.
Aku hanya tersenyum. Mbah Harti sepertinya memang begitu dekat dengan keluarga ini. Mama, Papa, Pakde Wid, Bude Nur, Pakde Syam, Bude Yanti, Om Yusuf, Tante Is, semuanya mengenal baik mbah Harti, tapi tak satupun yang mau menceritakann secara jelas siapa mbah Harti itu kepadaku. Tak terkecuali Mamaku. Sepupu2ku yg lebih tua dariku juga mengenal Mbah Harti. Cuma aku yg masih bingung. Tapi mbah Harti begitu mengenalku, tahu siapa diriku. Dan aku, sekedar mengenal Mbah Harti sebagai bekas tetangga dekat mbah Uti dulu. Setelah ditinggal oleh suaminya, mbah Harti diboyong keluar jawa oleh anak pertamanya. Hanya itu yg kutahu. Selebihnya, entahlah. Tidak ada yang mau bercerita kepadaku.
"Mas Galang kenal sama mbah Harti?" Tanyaku pada mas Galang, cucu tertua mbah Uti.
“Kenal lah, kenapa Rin?”
“Emang mbah Harti itu siapa sih mas? Kok kayanya istimewa banget gitu dimata mbah Uti…” Aku menyelidik.
“Ya tanya langsung lah sama mbah Uti, kok malah tanya ke aku.” Jawab mas Galang sembari pergi meninggalkanku.
Kulihat ada mas Galih –saudara kembar mas Galang- di ruang keluarga, menonton tv bersama mas Fadhil, mas Akbar, dan mas Naufal. Aku bergabung bersama mereka, bermaksud menyelidiki.
“Sebenernya mbah Harti itu siapa sih?” Tanyaku pada mereka.
“Kenapa tanya begitu Rin?” Balas mas Galih.
“Iya mbak, mbah Harti itu siapa sih?” Mas Naufal ternyata juga tidak tahu siapa mbah Harti. Aku punya pendukung.
Semua diam.
Aku menyenggol siku mas Akbar, memintanya menjawab.
“Apa sih Rin?” Kata mas Akbar tak paham.
“Mbah Harti itu siapa?” Aku menegaskan keingintahuanku.
“Mana gue tahu, tanya yg tua-tua tuh.” Jawab mas Akbar.
“Beneran gak tau?” Aku meyakinkan.
“Sumpah Rin, gak tahu.” Mas Akbar mengacungkan dua jarinya.
“Mas Fadhil?” Kualihkan pandanganku pada mas Fadhil.
“Intinya, mbah Harti itu dulu rumahnya di depan situ tuh, tetangga deketnya mbah Uti, sekaligus teman akrabnya mbah Uti dari kecil.” Mas Fadhil akhirnya menjawab.
“Trus?” Ganti mas Naufal yg penasaran.
“Mbah Harti itu orangnya baiikk banget, uda kaya keluarga sendiri deh pokoknya, uda kaya mbah kita sendiri lho.” Kali ini mas Galih yang menjelaskan.
“Mas Galih kenal?” Tanyaku
“Kenal lah.” Jawabnya singkat.
“Mas Fadhil?” aku bertanya pada mas Fadhil.
Mas Fadhil mengangguk mantap.
“Mas Akbar?” Kualihkan pandangan pada mas Akbar.
“Enggak.” Jawabnya enteng.
“Aku juga enggak, mas Naufal juga nggak kenal. Kok bisa?”
“Jelas bisa. Waktu kamu sama Akbar masih bayi, mbah Harti pindah ke Kalimantan, ikut anaknya gitu.” Jelas mas Galih.
“Berhubung waktu mbah Harti pergi pas Aku, mas Galih, sama mas Galang uda rada gede, jadi kita inget. “ Tambah mas Fadhil.
Oooo… ya aku tahu sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting