Indrarinda VII - Pulau Dewata II

Hari kedua di pulau dewata
Kami habisakan hari ini dengan mengunjungi beberapa objek wisata dan pusat belanja. Aku bangun pagi hari sekali. Sekitar kamar masih sepi, teman-teman banyak yang belum bangun. Aku keluar kamar. Menuju halaman belakang hotel, di sana ada kolam renang dan lapangan tennis dan badminton. Di dekatnya ad ataman dan beberapa gazebo. Setelah cuci muka dan shalat subuh aku menuju kesana. Ternyata sudah ada Farhan dan mas Indra berlari-lari kecil mengelilingi taman. Padahal hari masih gelap.
“Kok sudah bangun, Rin?” Mas Indra menghampiriku di gazebo, disusul Farhan.
“Die kan kaya ayam mas, bagunnya dini hari.” Farhan menyeletuk.
“Lha kamu knapa jam segini udah lari-lari. Sok rajiiin, mentang-mentang sama anak-anak…” Balasku meledek.
Lagi-lagi mas Indra hanya bisa tersenyum dan seringkali tertawa melihat aku dan Farhan, padahal ini biasa saja.
“Kata emaknye, si munyuk ini lahirnya pas subuh mas. Makanya pagi-pagi mesti uda berkokok. Cuma karna kita lagi acara bareng aja, makanya dia bisa diem, gak ribut pagi-pagi.” Farhan masih saja meledekku.
“Daripada kamu, lahir pas habis dhuha, sebelum duhur, rejekimu dipatok ayam tuh.” Balasku asal.
“Ah kalian ini, gak pernah akur ya. Seru kali ya kalau punya adik kaya kalian?” mas Indra berkomentar.
“Kalau adiknya ma situ aku, pasti seru, tapi kalo Arinda, jangan deh. Gak enak pasti. Kasihan yang jadi kakaknya.” Tuh kan, Farhan gak berhenti mojokkin aku.
“Aku justru pengen punya adik perempuan.” Celetuk mas Indra.
“Emang mas Indra nggak punya adik?” Tanyaku.
“Nggak punya, dan nggak mungkin punya.” Jawab mas Indra. Membuat aku penasaran. Mungkin Farhan juga.
“Kenapa mas?” Tanya Farhan.
“Waktu aku SD, Ibuku kena kanker yg bikin rahimnya diangkat. Jadi yaa… nggak mungkin kan aku punya adik. Padahal aku pengen punya adik. Sampai sekarang.” Mas Indra bercerita singkat.
Aku dan Farhan diam, berpandangan.
“Tapi kalo mau ngadopsi adik, jangan ngadopsi Arinda ya mas.” Kata Farhan mencairkan.
“Kenapa emang? Ya kan itu hak mas Indra, lagian aku kan nggak punya kakak.” Tanggapku.
“Iya, kenapa Han?” Tanya mas Indra.
“Soalnya Arinda tuh udah kebanyakan abang mas, punya kakak sepupu 5 biji, laki semua. Gitu kok masih mengajukan diri jadi kandidat adiknya mas Indra. Biar genep setengah lusin gitu?” Heem…Farhan. Mesti deh, seneng banget buka rahasia keluargaku.
“O ya? Kamu sendiri yang cewek Rin?” Tanya mas Indra kemudian.
“Iya. Cucu mbahku ada 8 mas, yang 7 laki-laki, aku sendiri yang perempuan.” Jawabku.
Air muka mas Indra berubah, aku bisa melihatnya. Ia mengernyitkan dahi. Apa yang salah? Deg. Apa jangan-jangan… ah tidak mungkin. Mas Indra tidak menunjukkan apa-apa.
Kami lanjutkan mengobrol, membahas acara hari ini. Sampai tak terasa matahari semakin tinggi. Hari makin terang.
“Eh nyuk, kamu ntar kalo lagi di objek buntutin mas Indra aja, biar gak ilang kaya kemarin. Kasihan mas Indra kemarin diomelin bu Merli gara-gara kamu ilang tauk.” Saran Farhan ketika kami membahas objek wisata.
“Masa? Emang iya mas?” Aku memandang mas Indra.
Mas Indra hanya tersenyum.
“Tapi kan Haaan…” Aku bermaksud menolak.
“Apa? Mau ikutin aku? Gak boleh.” Timpal Farhan sewot.
“Yaah…” Aku melengos.
Dan kedua laki-laki dua generasi itu pun pergi dari hadapanku. Meneruskan olahraga kecil mereka. Aku kembali ke kamar, bersih diri.
***
Dan benar, tanpa sadar aku mengikuti saran Farhan. Sampai di objek wisata yang dituju, tanpa sadar aku mengikuti mas Indra, kenapa ini? Kalau berpisah dari gerombolan teman-teman pasti yang kucari pertama adalah mas Indra, membuntuti kesana-kemari. Aku takut hilang. Apalagi ini tempat yang tak pernah ku kunjungi. Memang benar kata Farhan, aku itu sering hilang tanpa jejak.
Pantai kuta menjadi objek kunjungan terakhir di hari kedua ini. Lagi lagi melihat senja. Dan aku suka. Lebih suka dibanding fajar.
“Nyuk, kita di kuta bakal liat sunset lagi. Awas ya kalo sampe ilang lagi. Gak bakal kita cariin kamu.” Ancam Farhan ketika kami menaiki Shuttle bus menuju kuta.
“Nggak, aku mau nyemplung. Nggak mau liat sunset lagi.” Jawabku.
“Halah, jangan nyemplung, kebawa ombak kamu ntar nyuk!”
“Ish! Sirik aja sih.” Aku mencubit perut buncit Farhan.
Kami pun tiba di kuta, semua berhamburan berlari ke pantai. Menikmati lembutnya pasir kuta. Langit cerah, pasti senja kali ini indah. Aku mengikuti teman-teman mendekati bibir pantai. Menjejakkan kakiku menyentuh air laut. Bersalaman dengan ombak tenang pantai kuta. Langit sudah mulai memerah, senja datang. Aku menepi, menjauh dari gerombolan teman-teman yang bermain diantara ombak. Mundur perlahan. Di belakangku, mas Indra sudah berdiri santai. Tersenyum kearahku.
“Mau lihat senja lagi?” Tanya mas Indra. Seperti sudah tahu apa yang ada di benakku.
“He hem.” Aku mengangguk mantap.
Aku pun langsung terduduk di samping mas Indra berdiri, diatas pasir kering pantai itu. Mas Indra ikut duduk denganku.
“Sekarang biar aku tunggu disini. Biar nggak ilang lagi.” Kata mas Indra.
“Dan biar mas Indra gak diomelin bu Merli.”
Kami tertawa. Kemudian hening.
Senja di kuta memang indah, aku menikmatinya. Kali ini tidak sendiri, ada mas Indra di sampingku. Entah dia juga menikmati sepertiku, atau hanya sekedar menemaniku supaya aku tak tertinggal rombongan lagi seperti kemarin. Sepanjang senja, kami hanya saling diam. Hanya sesekali bicara, itupun sedikit. Kadang aku pun menanggapi teriakan, panggilan, dan candaan teman-teamn yang melihatku duduk berdua bersama mas Indra di tepi pantai. Aku tak peduli, bukan hal luar biasa, pikirku.
Matahari belum benar-benar tenggelam. Tapi ketua rombongan sudah menyuruh kami kembali. Padahal aku belum puas menikmati senja kuta. Tapi apa boleh buat, hari sudah mulai gelap, diburu acara selanjutnya.
“Masih pengen di sini?” Tanya mas Indra. Lagi-lagi seperti tahu apa yang ada di benakku.
“Sebentar lagi napa mas? Sebentar lagi juga tenggelam beneran mataharinya.”
“Kita nggak sendiri Rin, tuh mereka uda kumpul.”
“Nggak boleh pulang belakangan ya? Nanti pulang sendiri ke hotel.”
“Kamu bisa?”
“Hehhe, nggak tahu.”
“Yaudah makanya ayo balik sekarang.”
Aku pun berdiri. Beranjak meninggalkan senja yang baru matang. Meninggalkan kuta. Farhan datang memanggil.
“Nyuuk… kamu nggak berniat ketinggalan lagi kan?” Katanya meledek.
“Mau sih tapi gak boleh.” Aku cemberut.
“Jaaaahhh… dasar. Ngapain coba? Mau nyari bule kamu?” Farhan masih terus meledek.
“Arinda lagi sedih Han, jangan diledek mulu.” Mas Indra membela.
“Kenapa kamu Nyuk?” tanya Farhan.
“Mataharinya belum tenggelam, tapi udah diajakin balik.” Mas Indra yang menjawab.
“Alaaaahh, gitu doank? Dasar manusia senja… hahhahaha” Farhan tertawa menang.
Gontai akhirnya aku kembali bersama rombongan, meninggalkan matahari sebelum dia tenggelam. Kali ini tidak ketinggalan.

Malam kedua di Bali…
Sesudah makan malam, aku tidak beranjak dari tempat. Mira, salah ssatu temanku menghampiri. Disusul Farhan.
“Rin, kamu nggak pengen keluar?” Tanya Mira.
“Kemana Mir?” aku balik tanya.
“Ya kemana kek, masa 3 hari di Bali nggak tau suasana Bali malem hari.”
“Aku takut ngantuk, Mir.”
“Halaah, kamu nih ya, kalo malem tiduuurr mulu, pantes bangunnya dini hari. Dasar ayam.” Farhan nimbrung. Rusuh semuanya.
“Keluar yuk Rin.” Ajak Mira.
“Sama siapa donk?” Tanyaku.
“Ya bareng-bareng lah.” Jawab Mira.
“Naik apa?” Aku masih bingung.
“Naik becak.” Jawab Farhan.
“Becak? Emang di Bali ada becak?” Aku makin tak paham.
“Kita kan disediain mobil dari hotel Ariiiinn…” Mira menjelaskan.
“Oww gitu ya?” aku baru mengerti. Ah dodol.
Kami masih berdiskusi. Mas Indra datang.
“Mas, kalo mau pake mobil Hotel gimana ya?” tanya Farhan.
“Kalian mau keluar?” Tanya mas Indra balik.
“Iya…” Kami bertiga menjawab serempak.
“Yaudah tunggu disini atau siap-siap gih, biar aku yang urus.” Mas Indra memberi solusi.
“Bener mas?” Tanya Mira meyakinkan.
“Iya, oke?” Mas Indra meyakinkan.
Kami berdecak gembira.
20 menit kemudian kami sudah berada di mobil. Menuju ke kuta. Menikmati hingar bingar kuta malam itu. Aku pergi bersama Farhan, mas Indra, Mira, Alfin dan Indah. Wilayah kuta, makin malam makin ramai, macet, lalu lintas padat merayap. Ramai. Mobil berhasil diparkir, kami turun. Dalam hitungan detik, Farhan sudah menghilang dari hadapanku bersama yang lain. Hanya tinggal aku dan mas Indra di tempat parkir.
“Nah kan aku ditinggal lagi.” Aku mengeluh ditinggal teman-teman. “Selalu gini, huuft.” Lanjutku. Apa kau terlalu lambat, atau mereka yang terlalu cepat ya?.
“Kita nyusul mereka atau gimana enaknya?” Mas Indra membei pilihan.
“Mereka udah ilang gitu mas.”
“Jadi?”
“I trust you.” Aku mengangkat bahu.
“Kita jalan sendiri aja yuk.” Ajak mas Indra.
“Oke…” Kami pun berjalan berdampingan, mengelilingi beberapa sudut di kuta. Ramai. Tempat ini sepertinya tak pernah tidur. Aku jadi lebih tau banyak mengenai seluk beluk kuta karna mas Indra. Sepanjang jalan mas Indra banyak bercerita tentang Kuta. Aku pun senang mendengar ceritanya sekaligus pengalaman-pengalaman mas Indra. Kurasakan kakiku mulai lelah. Ternyata cukup jauh kami berjalan malam ini. Mas Indra pun mengajakku ke pinggir pantai, duduk melepas lelah sambil menunggu yang lain kembali. Kami terus mengobrol disana. Asik. Aku merasa nyaman bertukar cerita dengan mas Indra.
“Sekarang udah jam berapa mas?” tanyaku. Aku mulai merasakan mataku lelah. Mengantuk.
“Jam 1 Rin…”
“Kok anak-anak pada belum balik sih?”
“Biasa Rin, sudah larut sama hingar binger kuta.”
“Di sms juga nggak bales. Ditelpon nggak diangkat. Ah.”
“Capek Rin?”
“Ngantuk mas.”
“Ke mobil ta?”
“Nggak ah, disini aja.”
Kurasakan mataku benar-benar lengket. Kemudian rasa kantuk yang amat sangat ini makin menggila. Masih kudengar sayup sayup suara mas Indra menyanyi. Merdu. Diiringi rasa kantuk ini aku ikut bergumam, mendendangkan suatu lirik. Lirih bersama mas Indra, beradu dengan suara ombak. Malam ini benar-benar dramatis.
….
Who are you now?
Are you still the same or did you change somehow?
What do you do?
At this very moment when I think of yo
u
….
Dan suara itu makin menghilang, aku berhenti menyanyi dan setelah itu aku tak tahu apa lagi yang terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting