Indrarinda II - Dongeng

Malam ini aku menginap di rumah mbah Uti, karna memang aku dan keluarga tinggal di luar kota. Malam sudah larut, sebagian penghuni rumah sudah tidur. Tapi mbah Uti dan mbah Harti masih bercengkerama di ruang makan, terlihat bahagia sekali. Mereka memang sahabat karib yang terpisahkan oleh bermacam hal, dan kini mereka kembali dipertemukan dalam keadaan yg sudah berbeda, sudah banyak berubah. Aku menuju ruang makan, ingin lebih tahu tentang kedua wanita berusia senja itu, ingin mendengar apa saja yang mereka bicarakan sampai selarut ini. Aku menampakkan diri di depan mereka, mbah Uti menyambutku.
“Lhaaa ini, cucu perempuanku…” Mbah Uti memperkenalkanku pada mbah Harti untuk kesekian kalinya.
“Ini yang lahirnya pas adzan subuh itu kan?” Tanya mbah Harti.
Mbah Harti menarikku, dan merangkulku, kemudian aku duduk di sampingnya.
“Waktu kamu lahir, ya mbah Harti ini yang ngurusi kamu nduk. Mbah Uti sama mbah Kung lagi ke Malang nengok Galang-Galih.” Mbah Uti membuka cerita.
“Lahirmu itu pas hari sabtu, pas sekali bersamaan dengan adzan subuh. Dari semalamnya, mbah ini yang nemani mamamu tidur.” Lanjut mbah Harti.
“Kamu ndak lahir di rumah sakit lho nduk.” Kata mbah Uti.
“Terus mbah?” Aku penasaran.
“Anak mbah Harti yang kedua itu bidan, namanya Heti, ya bude Heti itu yang menolong kelahiranmu. Pas mbah Uti pulang, semua sudah beres, kamu sudah di dunia, sehat wal afiat.” Lanjut mbah Uti.
“Kelahiranmu itu benar-benar anugerah untuk kami lho nduk. Dikiranya kamu itu lahir laki-laki, seperti cucu-cucu mbah utimu yang lainnya. Ternyata kamu perempuan, pertama di keluarga mbah utimu. Wes pokoknya semua nyambut gembira kelahiranmu. Termasuk mbah ini. E ndak ngira juga kalau kamu jadi satu-satunya cucu perempuan mbah utimu.” Kali ini mbah Harti yang cerita.
Aku tak menyangka, sebegitu istimewanya kelahiranku dulu. Dinanti-nantikan banyak orang. Aku, Fajar Arinda Pramesthi. Cucu perempuan pertama dan satu-satunya di keluarga ini.
“Waktu kecil kamu jadi kesayangan nduk, mbah Harti sampai nganggap kamu seperti cucunya sendiri. Kamu sering diajak nginep di rumah mbah Harti lho, diajak kesana-kemari sama bude Heti, pernah juga kamu diaku anaknya bude Heti. “ Mbah Uti terus bercerita.
“Kenapa begitu mbah?” Tanyaku.
“Karna mbah juga ndak punya cucu perempuan. Waktu itu cucu mbah sudah ada dua, laki-laki semua. Yang satu Ardi, anaknya pakde Arif yang dikalimantan, tempat mbah tinggal. Yang satu ya anaknya bude Heti itu, namanya Indra. Padahal mbah pengeen sekali punya cucu perempuan. Sampai-sampai kamu itu disebut cucu bersama lho.” Mbah Harti menjawab panjang lebar.
“Yang namanya Indra itu yang selalu buat kami kewalahan. Dia itu sayaaangg sekali sama kamu, nduk. Soalnya dia pengen sekali punya adik perempuan. Kalau sudah main ke rumah ini dan ada kamu, pasti susah diajak pulang. Dia minta bobo sama adek bayi katanya. Dan kalau kamu diajak ke rumah mbah ya begitu, kamu ndak boleh dibawa pulang. Pokoknya setiap hari kalian bertemu, Indra ndak mau main sama yang lainya, maunya nemenin kamu terus waktu kamu bayi itu. Sampai waktu umur kamu 2 tahun dan Indra umur 5 tahun, Indra pindah ke Surabaya ikut Ayahnya. Indra minta kamu dibawa ke Surabaya sekalian. Indra benar-benar ndak mau pisah sama kamu. Dia pikir kamu itu memang adiknya.” Mbah Harti menceritakan cucunya yang bernama Indra. Siapa lagi ini? Pikirku. Kenapa ada anak kecil seperti itu. Seperti orang yang bernama Indra. Tapi kenapa Mama, Papa, atau mbah Uti tidak pernah menceritakan padaku perihal hal ini, tentang Indra.
“Kamu masih inget nduk siapa Indra?” Mbah Uti bertanya.
Aku hanya menggeleng.
“Wajar kalau kamu ndak ingat, lha wong kamu masih kecil sekali. Kemarin mbah mau ajak Indra kesini, tapi dia ndak mau, malu ketemu kamu katanya.” Kata mbah Harti.
Lagi-lagi aku tersenyum. Ah, siapa sih manusia benama Indra itu? Apa dia benar-benar ada?
“Sekarang Mas Indra itu dimana mbah?” Aku mulai merasakan adanya rasa penasaran.
“Di Surabaya…” Deg. Aku kuliah di Surabaya. Orang bernama Indra itu juga tinggal di Surabaya.
“Arinda ini juga kuliah di Surabaya lho.” Mbah Uti memberitahu Mbah Harti perihal kuliahku.
“Lho? Iya tho nduk? Indra juga kuliah di Surabaya, dan baru saja wisuda minggu kemarin. Aduh, mbah lupa apa nama tempat Indra kuliah.” Mbah Harti menuturkan.
Wisuda minggu lalu? Kampusku juga menggelar wisuda minggu lalu. Apa mungkin Indra itu juga disana? Ah, sudah Arinda, kamu berlebihan. Di Surabaya kan banyak sekali Tempat kuliah. Mungkin saja institusi lain. Tuhaan, aku mulai aneh. Hanya karna cerita seorang sahabat lama mbah Utiku aku jadi punya rasa penasaran sebesar ini. Berlebihan.
“Nduk, malam ini bobo sama mbah yuk. “ Lho? Tiba-tiba Mbah Harti mengajakku untuk tidur menemaninya.
“Ayo sana Rin, temani mbah Harti tidur.” Mbah Uti juga menyuruhku.
Apa boleh buat. Aku mengiyakan. Malam itu aku tidur bersama mbah Harti, sahabat karib mbah Uti, tamu istimewa keluarga ini. Orang yang bisa dibilang baru saja kukenal. Tapi serasa sudah dekat.
Mbah Harti seperti mbah Uti. Sebelum tidur, bercerita tentang banyak hal, seperti kembali ke masa kecil. Menjelang tidur, mama membacakan cerita untukku. Kali ini beda, bukan cerita fiktif yang kudengar, tapi kisah nyata mbah Harti. Usiaku tidak lagi muda, tapi 20 tahun. Dan bukan mama yang bercerita, tapi mbah Harti. Mbah Harti, nenek dari Indra Arsyad.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting