Indrarinda X - Senja yang Paling Indah

Peringatan 7 hari wafatnya mbah Harti.
Sore hari dengan diantar Farhan aku menuju rumah bude Heti. Mama sudah berada disana bersama papa, mbah uti, pakde Wid, bude Nur dan bude Yanti bersama mas Fadhil. Sejak hari wafatnya mbah Harti sampai sekarang aku belum sempat berbicara dengan mas Indra.
Sampai disana kami disambut langsung oleh mas Indra. Farhan menyalami mas Indra.
“Mas, turut berbelasungkawa ya, maaf baru bisa datang sekarang.” Kata Farhan.
“Iya han, makasih. Ayo silakan masuk.” Kata mas Indra.
Farhan masuk, bertemu papa. Aku masih mematung di teras, di depan mas Indra. Canggung. Ya semenjak kejadian di kamar rumah sakit tempo hari. Aku bingung mau berkata apa.
“Ayo Rin… “ Tiba-tiba mas Indra menarik tanganku. Pergi dari teras.
“Kemana mas?” aku tak tahu akan diajak kemana.
Mas Indra membawaku ke mobil. Tanpa pamit, tanpa tahu tujuan, aku dibawanya. Aku masih tak tau mas Indra membawaku pergi. Ini sudah sore. Matahari sudah berjalan menuju peraduan di ujung barat. Sepanjang jalan kami hanya diam. Mas Indra tak berbicara sepatah kata pun. Aku jadi takut untuk memulai pembicaraan.
Dan ternyata masa Indra membawaku ke pantai Kenjeran. Kami turun dari mobil. Mas Indra duduk begitu saja di tepi jalan. Aku ikut dengannya. Duduk di sampingnya, menghadap laut.
“ Maaf ya Rin… mungkin aku bikin kamu bingung.” Mas Indra akhirnya bersuara.
“Nggak apa-apa kok mas, aku tau pikiran mas Indra lagi kalut.” Aku memaklumi.
Hening. Sering seperti ini.
“Nggak nyangka ya, ternyata kamu beneran Arinda kecil itu.” Mas Indra membuka percakapan. Aku tahu arahnya.
“Aslinya mas Indra udah tau kan kalau Arinda yang mas kenal itu Arinda masa kecil mas Indra?”
“Dari mana kamu tau?”
“Dari ekspresi mas Indra waktu tahu nama lengkapku. Mas Indra selalu inget nama lengkapku kan?”
“Dan waktu kamu sudah tau namaku, kamu juga punya prasangka kan? Kalau aku adalah Indra yang diceritain Almarhumah Eyangku ke kamu?”
“Kamu tahu kenapa kamu dikasih nama Arinda?” tanya mas Indra.
“Kenapa mas?”
“Nama Arinda itu pemberian ibuku. Awalnya nama kamu itu cuma Fajar Pramesthi. Dan ibuku nyumbang nama Arinda.” Mas Indra bercerita.
“Artinya Arinda itu apa?”
“Adiknya Indra.”
“Kok Adiknya Indra? Aindra donk?”
“Coba utak atik susunan huruf nama kamu. Bisa dibaca Indra kan? Tapi double A.”
“Arinda, Indraa. Iya.”
Kami tertawa.
“Padahal kita bareng terus selama 3 hari di Bali. Tapi kenapa nggak ada pembicaraan kearah situ ya mas?”
“Soalnya kita sama-sama nggak yakin Rin, masa iya baru kenal langsung nge-judge yang aneh-aneh begitu.”
“Iya sih ya.”
“Kalau ada kejadian gini, pepatah dunia selebar daun kelor itu jadi berlaku ya Rin.”
“Dan kita jadi sadar, semua hal itu nggak ada yang kebetulan, semua hal, sekecil apapun itu memang sudah diatur oleh Allah.”
Hening. Dan di depan kami, terpampang senja. Senja di kota Surabaya.
“Kaya sinetron ya mas?” Kataku pada mas Indra. Memikirkan kejadian-kejadian dalam hidupku yang berhubungan dengan mas Indra beberapa bulan ini.
“Kerenan dikit kenapa?”
“Drama?”
“Boleh.”
“Yang happy ending ya?”
“Pasti.”
Kami tertawa lagi.
Langit cerah. Matahari yang beranjak pergi di ufuk barat terlihat jelas. Aku sering melihat senja di kota ini. Tapi rasanya kali ini beda. Senja hari ini indah. Lebih indah dari sebelum-sebelumya. Karna ada seorang Indra Arsyad disini.

THE END

Jember, 20-11-2011

Indrarinda IX - Benar Mas Indra dan Arinda kecil

2 bulan setelah perpisahan dengan mas Indra…
Aku baru keluar dari ruang ujian ketika aku menerima sms dari mama.
“Mbak Arin, mama dan papa di Sby. Sekarang perjalanan menuju kost mbak Arin. Mbah Harti sakit, dirawat di RS. Dr. sutomo.”
Ya Tuhan, mbah Harti sakit? Dirawat di Surabaya? Bukannya setelah dari rumah mbah uti, beliau kembali ke Kalimantan? Kenapa sekarang justru dirawat di kota ini? Ah entahlah. Aku segera bergegas cepat pulang ke kost. Ternyata mama dan papa lebih dulu sampai disana.
“Lama banget sih mbak?” Mama mengeluh.
“Ya namanya juga jalan kaki ma.”
“Ya sudah, ayok buruan ganti baju gih, kita ke rumah sakit, jenguk mbah Harti.” Perintah mama buru-buru.
“Lho? Arinda ikut?” Tanyaku.
“Ya iya sayaang… masa mama papa yang jauh aja jenguk, kamu yang disini malah gak jenguk.”
“Yaaah….” Aku malas.
“Pokoknya kali ini harus ikut, nggak pake alesan yang aneh.” Mama memaksa. Apa boleh buat? Aku ikut.
Setelah aku menaruh tas dan berganti pakaian, kami meluncur ke Rumah Sakit. Menurut cerita mama, mbah Harti kena stroke dan bude Heti meminta pakde Arif membawa mbah Harti ke Surabaya saja untuk mendapatkan pengobatan yang lebih terjamin. Ini kali pertama aku akan bertemu dengan keluarga mbah Harti. Dengan bude Heti yang sering diceritakan mama. Sepanjang jalan mama terus menghubungi bude Heti. Dan kami pun sampai di rumah sakit. Di lobi rumah sakit mama bertemu seseorang dan segera memeluknya. Wanita paruh baya berperawakan kecil. Berkulit sawo matang. Ternyata itu bude Heti.
Mama menunjukkanku pada bude Heti. Dengan santun aku mencium tangan bude Heti. Bude Heti tersenyum melihatku, sepertinya gembira. Dan bude Heti pun dengan sigap memelukku.
“Ya Allah… sudah besar sekali kamu Nduk…” kata bude Heti takjub.
Aku hanya tersenyum. Masih asing. Karena ini baru pertama kali.
“Ndak ngira bisa lihat kamu lagi, nduk. Sudah tumbuh jadi gadis pula…” katanya lagi, tidak bisa membendung keceriaannya. Kemudian pipiku diciumi oleh bude Heti.
Papa pun datang dari halaman parkir, kami pun segera menuju kamar tempat mbah Harti dirawat.
“Mas Arif disini juga mbak?” Tanya Papa menanyakan pakde Arif, anak pertama bude Heti.
“Ndak, cuma istrinya. Baru saja pulang kerumah, istirahat.” Jawab bude Heti.
“Yang jagain bude Harti siapa mbak?” Kali ini mama yang bertanya.
“Ganti aku yang jaga, ditemani Indra.” Jawab bude lagi.
Indra? Anaknya? Yang diceritakan itu? Heeem… mungkin hari ini aku akan tahu siapa sosok Indra itu sebenarnya.
Kami sampai di kamar tempat mbah Harti dirawat. Kami tidak masuk bersamaan, tapi bergantian. Aku duduk di kursi depan kamar bersama Bude Heti. Mama dan papa masuk, bersamaan dengan keluarnya seseorang.
Deg! Kaget aku melihat orang yang keluar dari kamar itu. Aku mengenalnya. Aku tahu siapa dia. Tidak asing dengan wajahnya. Begitu juga dia. Sepertinya dia kaget melihatku ada di depannya sekarang. Kami saling pandang. Diam. Tidak tahu harus berkata apa.
“Dra… ini Arinda nak, Arinda kecil, masih inget?” Bude Heti angkat bicara.
Aku dan dia masih diam. Kami salah tingkah. Tidak tahu harus berkata apa. Saling memandang pun tidak berani. Bude Heti bingung.
“Kok diem-dieman?” Tanya bude Heti tak mengerti apa yang sebenarnya.
Kami masih diam.
“Indra… kasih salam donk sama Arinda. Sudah 18 tahun lho kalian ndak ketemu. Sudah lupa ya?” Pinta bude Heti.
Ya. Akhirnya aku bertemu dengan Indra. Anak bude Heti. Indra yang diceritakan oleh mbah Harti. Indra yang mama bilang akan menjadi istimewa. Dan dia tak lain adalah mas Indra. Mas Indra yang aku kenal lewat kegiatan field trip 2 bulan yang lalu, mas Indra yang selama kurang lebih 4 hari bersamaku di pulau Bali. Mas Indra tour leader kami. Mas Indra yang kutabrak tempo hari di kampus. Mas Indra yang hilang begitu saja setelah urusan kami selama field trip selesai.
Seperti sudah membuat kesepakatan. Mas Indra dan aku seperti punya maksud yang sama. Kami bersalaman. Pura-pura baru pertama kali bertemu setelah sekian lama.
“Akhirnya kalian bisa ketemu lagi. Seneng sekali rasanya.” Bude Heti sumringah. “Kamu masih ingat Arinda kan Dra?”
“Masih kok Bu.” Jawab mas Indra singkat.
Benarkah mas Indra masih ingat? Tapi aku tidak. Mungkin aku terlalu kecil waktu itu, belum bisa mengingat apa yang terjadi saat itu.
“Mungkin Arinda ndak ingat ya, soalnya waktu itu Arinda masih kecil. Kalian itu waktu kecil ndak bisa pisah. Sudah seperti kakak-adik. Indra itu sayaang sekali sama Arinda. Waktu pisah sama Arinda, sedihnya Indra gak sembuh-sembuh. Indra minta adik cewek seperti Arinda. Tapi Allah ndak bisa memberi, padahal bude juga pengen punya anak lagi, pengen punya perempuan. Dan ya begini, sampai sekarang Indra sendiri, ndak punya saudara kandung.” Tutur bude Heti. Mas Indra berdiri tertunduk di samping bude Heti.
Mama dan papa keluar. Dan menyuruhku masuk, bersama mas Indra.
Kulihat mbah Harti terbujur lemah di ranjang rumah sakit, tubuh tuanya memucat. Diam, tak bergerak. Mas Indra menggandeng tanganku, membawaku mendekat pada mbah Harti.
“Eyang… ini Arinda datang.” Bisik mas Indra pelan pada neneknya.
Mbah Harti membuka mata pelan. Aku jadi merinding melihatnya. Aku mendekat, kucium tangan mbah Harti.
“Mbah Harti… ini Arinda.” Kataku pelan.
Mbah Harti tersenyum, mengarahkan pandangannya padaku. Aku ikut tersenyum. Meski dalam hati ini entah mengapa rasanya ikut bersedih melihat keadaan mbah Harti. Aku tidak berani bicara banyak. Tak berani mengajak bicara mbah Harti.
“Indra… Arinda…” Mbah Harti memanggil kami pelan sekali. Kami mendekat.
“Kenapa Eyang?” Tanya mas Indra.
Mbah Harti memandang kami bergantian.
“Kalian sudah bertemu lagi sekarang. Yang akur ya…” Mbah Harti bicara pelan, sulit sekali. Terbata.
“Eyang nggak usah khawatir, Indra pasti baik-baik sama Arinda.” Mas Indra menenangkan.
“Eyang ingin kalian jadi keluarga….” Lanjut mbah Harti.
Aku mengernyitkan dahi. Keluarga? Aku dan mas Indra saling pandang.
“Eyaang….” Kata mas Indra pelan, sembari mengelus lengan kurus mbah Harti.
“Menikahlah…” Kata mbah Harti kemudian.
Deg! Aku kaget, begitu pula mas Indra. Kami berpandangan, bingung. Tak tau harus berkata apa. Keringat dingin mengucur di wajahku. Melihat mbah Harti terbujur lemah begitu aku tak tega. Mbah Harti memandang kami, meneteskan air mata.
Hening.
“Iya Eyang… Indra akan menikah dengan Arinda.”
Apa? Apa yang dikatakan mas Indra baru saja? Aku makin tak menegerti. Mas Indra memandangku sayu. Memohon sesuatu. Aku kaget. Cepat mas Indra meraih tangan kiriku, menggenggamnya dengan tangan kanan. Erat.
Tak lama kami pun keluar. Tanpa ada kata-kata lebih lanjut dari mas Indra. Kami diam sepanjang waktu. Tapi bisa kulihat jelas apa yang dirasakan mas Indra. Bingung.

Indrarinda VIII - Pulau Dewata Berakhir

Hari terakhir di Bali…
Pagi ini tidak seperti kemarin. Aku tidak ke taman hotel lagi untuk melihat sun rise. Pagi ini kugunakan untuk packing. Hari ini kami harus check out dari hotel. Aku tidak ingat sampai jam berapa aku di kuta, dn jam berapa pula aku tiba di hotel? Yang jelas pagi ini aku bangun, aku masih utuh, di kamar hotel bersama Mira, Winda, dan Indah. Selesai mengemasi barang, aku bersih diri. Waktu sarapan tiba, kami segera menuju ruang makan. Sampai disana aku mengambil makanan. Menyusul Alfin dan Farhan di belakangku.
“Ehm. Siapa ya yang semalem dibopong2 dari kuta samapi kamar hotel…” Alfin menarik rambutku. Apa maksudnya?
“Siapa Fin?” Tanyaku.
“Kok malah nanya?” Balas Alfin.
“Kan aku nggak tau.”
“Ciee si munyuuk…” Farhan tak tanggung-tanggung, dia memukul kepalaku dengan sendok. Ada apa ini?
“Ehm. Mas Indra mana Rin?” Winda datang menyeletuk, tidak menanyakan mas Indra, tapi lebih ke maksud menggodaku.
Tak kupedulikan apa yang dilakukan beberapa teman ini. Aku bingung, ada apa semalam? Selesai mengambil makanan aku menuju meja di dekat jendela, menyusul Mira disana. Tak tahunya Farhan, Alfin dan Winda juga mengikutiku.
“Kamu semalem mabok ya Rin?” Todong Mira tiba-tiba.
“Mabok? Enggak…” Jawabku.
“Yakin kamu nyuk?” Farhan curiga.
“Iyalah.” Jawabku mantab.
“Kamu inget nggak jam berapa kita sampe di hotel habis dari kuta semalem?” Ganti Alfin yang bertanya.
Ada apa sih ini? Kenapa teman-teman main acara interogasi begini?
“Nggak inget. Aku ngantuk banget.” Jawabku sekenanya.
Teman-teman tertawa terbahak-bahak. Aku makin tak mengerti.
“Jelas-jelas dari kuta sampe hotel kamu tuh tidur terus, nggak bangun sama sekali, kok bisa bilang ngantuk.” Jelas Mira setelah suasana kembali normal.
“Tidur? Masa sih?” Aku masih tak mengerti.
“Malah nggak inget nih bocah, kamu kerasukan penunggunya kuta apa Rin?” Alfin meledek.
“Inget lagi deh Rin, semalam kamu ngapain aja di kuta? Sebelum pulang kamu ngapain?” Winda membantuku mengingat.
“Terakhir duduk di pinggir pantai, nungguin kalian lama banget, trus aku ngantuk… habis itu…. “ Aku mencoba mengingat. Hanya samapi itu, selebihnya aku tak ingat apapun.
“Sama siapa?” Tanya Alfin singkat.
“Mas Indra.” Jawabku enteng.
“Naaaahhhhhh….” Semua bicara serempak. Kemudian tertawa lagi.
“Kenapa?” Aku melongo melihat tingkah keempat manusia ini. Seperti orang bodoh.
“Kamu ngerti nggak sih nyuk?” Farhan bertanya.
“Apa sih, rek? Ada apa sama aku?” Aku mulai bingung.
“Eh sumpah, kebangetan ya kamu tuh kalo udah tidur nyuk. Kasihan. Tapi malu-maluin juga.” Mira membuatku semakin bingung dengan pernyataanya.
“Nyuk, tau nggak? Semalam itu kita balik ke parkiran jam setengah 2 dini hari. Pas kita balik nyari kamu, ternyata kamu tuh uda PW tidur di pangkuannya mas Indra di pinggir pantai….” Farhan memulai cerita. Apa? Ah Farhan bohong nih.
“Hah?! Ah bohong kamu Han… masa gitu?” Aku tak percaya.
“sumpah! Nih saksi hidupnya, Mira, Alfin, sama Indah. Masa aku bohong? Ya kalo tidur kamu tuh alim, lha kamu tidurnya uda kaya tidur di pangkuan emak lu gitu, PW banget dip aha mas Indra. Kasihan tau. Malu-maluin pula.” Lanjut Farhan mantab.
Kalau itu benar, oooh malunya.
“Parahnya lagi, kamu tuh nggak bisa di bangunin tau. Sampe-sampe kamu dibopong sama mas Indra masuk mobil.” Mira melanjutkan.
“Apa?! Dibopong? Digendong gitu?” Aku kaget. Sumpah ini malu-maluin.
“Ya masa diseret? Kasihan amat anaknya orang. Kata mas Indra, kasihan kalo kamu dipaksa bangun. Gitu.” Tambah Alfin.
“Cieeee…. Arinda…. “ Winda dan Mira meledekku.
Aku malu. Hanya bisa diam.
“Aku saksi terakhir. Mas Indra gendong kamu sampe kamar loh Riiin.” Winda yang tak ikut ke kuta malam itu pun tahu. Ternyata aku juga diantar sampai ke kamar. Oh Tuhaan.
“Aduh Reeeekk, malu tauuu…” Kalut.
Mereka malah tertawa.
“Makanya nyuk, tidur tuh liat-liat tempat. Liat-liat suasana. Heran deh aku sama kamu, nggak berubah dari dulu. Kaya koala.” Farhan menasehati.
“Ya mana aku tahu Han??” Ah sudahlah, sudah berakhir.
“Eh mas Indra, mas Indra tuh, panggil… panggil…” Kata Mira tiba-tiba.
Terlihat mas Indra menuju ke meja saji. Pasti bakal melewati meja kami. Oh jangaaann. Please. Aku malu.
“Jangan… jangan… pliss… jangan lah rek. Aku maluu…” Aku memohon kasihan.
“Mas Indraaa…!” Alfin benar benar memanggilnya. Oh no! aku tak berani melihat kearah mas Indra. Mukaku merah, menahan malu.
“Wueeee… liatin, mukanya Arinda merah…” Shit. Winda tahu perubahan air mukaku.
Mereka tertawa lagi. Aku beranikan melihat kearah mas Indra. Dia hanya tersenyum melihat kami, dan segera pergi dari situ, tidak menghampiri kami. Syukurlah, aku lega. Setidaknya mereka gagal menjadikanku bahan guyonan lebih lanjut.
Ini hari terakhir kami di Bali. Pagi hari setelah sarapan kami check out dari hotel. Tapi kami masih mengunjungi beberapa objek lagi. Hari ini aku menjauhi mas Indra. Aku malu dengan apa yang terjadi semalam. Tapi mas Indra sepertinya cuek saja. Ya mungkin karna dia sudah biasa menghadapi customer yang merepotkan seperti aku. Di dalam bus aku melamun terus. Entah apa yang kulamunkan.
“Nyuk, knapa kamu? Ngelamun apa sih?” Tanya Farhan.
“Nggak kok.”
“Marah sama aku?”
“Nggak lah.”
“Ngelamunin mas Indra yaaa?”
“Nggak Farhaan…”
Farhan tertawa.
“Cerita semalem itu beneran lho Nyuk. Aku nggak bohong.”
“Aduuh… aku malu tauk Han.”
“Ya kamu, kebiasaan, tidur nggak tau aturan.”
“Ya aku udah capek banget semalem, ngantuk berat. Mana tau kalo jadi kaya gitu ceritanya.”
“Bukan masalah ngantuk atau tidurnya Rin, yang bikin kita heran tuh kamunya yang gak bisa dibangunin. Kita sempet panic, dikira kamu pingsan. Ternyata tidur.”
“Kalian kurang kenceng banguninya.”
“Niat kita mau gitu, tapi mas Indra nglarang. Katanya kasihan kamunya.”
“Ah masa gitu.”
“Swear deh Rin.”
“Mas Indra gendong aku ke mobil? Trus sampe hotel juga gitu?”
“He’em.”
“Oh God… mimpi apa aku bisa kejadian kaya gitu?”
“So sweet loh Nyuk.”
“Maksud loe?”
“Iya, mas Indra sabar banget. Keren, kalo kata Mira, Indah sama Winda kalian kaya adegan-adegan di drama korea. Hahahhaa.”
Farhan tertawa terbahak-bahak. Aku melengos. Cemberut.
Kami makan siang di Bedugul, di pinggir danau. Sehabis itu aku diajak Farhan naik boat berkeliling danau bersama Mira, Winda, Indah dan Alfin. Aku tak melihat sosok mas Indra selama di Bedugul. Kemana dia? Ah mungkin ada urusan lain. Kuabaikan.
Sehabis dari Bedugul, kami melanjutkan perjalanan menuju objek wisata terakhir, Tanah Lot, lagi lagi disana kami akan melihat matahari terbenam, menghabiskan senja terakhir di Bali. Sampai disana suasana ramai sekali, tidak sperti dahulu ketika siang hari aku kemari. Apa mungkin mereka juga mau menikmati keindahan sunset di tanah lot?. Aku berjalan membuntuti Farhan dan Winda, takut hilang. Belum sampai ke area pantai, aku dikejutkan dengan seseorang berkalung ular phyton raksasa di pinggir jalan. Memamerkan ular itu. Aku kaget, takut melihat ular, berteriak dan gelap.
Saat aku sadar, aku sudah di dalam bus. Terbaring di kursi. Ada Farhan, Winda, dan mas Indra. Aku bingung, kenapa denganku?
“Riin…” panggil Winda pelan, sambil memegang tanganku.
“Aku tadi kenapa Win?” Tanyaku. Aku beranjak duduk. Mas Indra menyanggaku.
“Kamu pingsan Nyuuuk. Kali ini pingsan beneran, nggak tidur.” Kata Farhan.
“Pingsan?” Benarkah aku pingsan?
“Iya Arinda… tadi kamu liat ular, trus kaget, jatuh pingsan deh.” Terang Winda.
“Oh… maaf ya ngerepotin lagi.” Kataku meminta maaf.
Semua mengangguk, tersenyum. Aku berulah lagi. Tak lama kemudian Farhan dan Winda meluncur ke pantai, menyusul yang lainnya. Aku tak mau masuk. Akhirnya mas Indra yang menemaniku di bus. Aku dan mas Indra keluar dari bus, duduk di bangku di tempat parkir. Melihat jajaran bus pariwisata. Mas Indra memberiku minuman hangat. Menenangkan aku yang shock karena melihat ular. Aku pobia ular. Mas Indra tak banyak bicara kali ini. Hanya tiap beberapa menit dia pasti menanyakan apa yang kurasakan.
“Mas Indra…” Panggilku.
“Ya Rin?”
“Maaf ya soal di kuta semalam.” Aku memberanikan diri mengungkapnya.
“Kenapa?”
“Yaa… uda ngerepotin mas Indra, nyusahin orang. Makasih ya mas.”
“Oh, nggak apa-apa kali, Rin.”
“Tapi aku tetep ngerasa nggak enak sama mas Indra. Harusnya mas Indra bangunin aku waktu aku tidur itu.”
“Aku yang minta maaf Rin, uda lancang main gendong anak perempuan orang.”
“Yah, gara-gara aku tidurnya kaya kebo sih mas. Hehe.”
Kami tertawa.
“Makasih ya Rin.” Kata mas Indra tiba-tiba.
“Makasih untuk apa?”
“Selama di Bali ini, selama kenal kamu beberapa hari ini, aku jadi kaya nemuin adik kecilku dulu.”
“Adik? Katanya mas Indra nggak punya adik?”
“Iya, aku emang anak tunggal. Tapi waktu kecil aku punya adik.”
“Trus adik mas Indra itu kemana?”
“Nggak tahu. Pisah.”
“Oh. Emang dia kaya aku ya mas? Hehe.”
“Mungkin kalau gede ya kaya kamu itu, tapi aku pisahnya waktu masih kecil sih, jadi nggak tau.”
“Oh gitu….”
Obrolan berhenti. Hari sudah gelap. Matahari pasti sudah tenggelam. Sedihnya aku tak bisa melihat matahari tenggelam di sini. Aku jadi mengutuk diriku sendiri, kenapa aku pobia ular? Kenapa aku harus melihat ular itu?.
Rombongan datang. Dan perjalanan pun dilanjutkan, kembali ke tanah jawa. Sesudah makan malam, aku tidak melihat mas Indra. Dia menghilang entah kemana. Pindah bus atau kemana. Ketika pagi, kami sampai di Surabaya pun aku tak melihat sosok mas Indra. Ketika kru dari travel agent mengucapkan salam perpisahan pun, mas Indra juga tidak kelihatan. Jujur, aku mencarinya. Tak ada no.ponsel yang bisa dihubungi. Tak ada kata perpisahan. Ucapan selamat tinggal pun tidak. Aku kehilangan jejak mas Indra.

Indrarinda VII - Pulau Dewata II

Hari kedua di pulau dewata
Kami habisakan hari ini dengan mengunjungi beberapa objek wisata dan pusat belanja. Aku bangun pagi hari sekali. Sekitar kamar masih sepi, teman-teman banyak yang belum bangun. Aku keluar kamar. Menuju halaman belakang hotel, di sana ada kolam renang dan lapangan tennis dan badminton. Di dekatnya ad ataman dan beberapa gazebo. Setelah cuci muka dan shalat subuh aku menuju kesana. Ternyata sudah ada Farhan dan mas Indra berlari-lari kecil mengelilingi taman. Padahal hari masih gelap.
“Kok sudah bangun, Rin?” Mas Indra menghampiriku di gazebo, disusul Farhan.
“Die kan kaya ayam mas, bagunnya dini hari.” Farhan menyeletuk.
“Lha kamu knapa jam segini udah lari-lari. Sok rajiiin, mentang-mentang sama anak-anak…” Balasku meledek.
Lagi-lagi mas Indra hanya bisa tersenyum dan seringkali tertawa melihat aku dan Farhan, padahal ini biasa saja.
“Kata emaknye, si munyuk ini lahirnya pas subuh mas. Makanya pagi-pagi mesti uda berkokok. Cuma karna kita lagi acara bareng aja, makanya dia bisa diem, gak ribut pagi-pagi.” Farhan masih saja meledekku.
“Daripada kamu, lahir pas habis dhuha, sebelum duhur, rejekimu dipatok ayam tuh.” Balasku asal.
“Ah kalian ini, gak pernah akur ya. Seru kali ya kalau punya adik kaya kalian?” mas Indra berkomentar.
“Kalau adiknya ma situ aku, pasti seru, tapi kalo Arinda, jangan deh. Gak enak pasti. Kasihan yang jadi kakaknya.” Tuh kan, Farhan gak berhenti mojokkin aku.
“Aku justru pengen punya adik perempuan.” Celetuk mas Indra.
“Emang mas Indra nggak punya adik?” Tanyaku.
“Nggak punya, dan nggak mungkin punya.” Jawab mas Indra. Membuat aku penasaran. Mungkin Farhan juga.
“Kenapa mas?” Tanya Farhan.
“Waktu aku SD, Ibuku kena kanker yg bikin rahimnya diangkat. Jadi yaa… nggak mungkin kan aku punya adik. Padahal aku pengen punya adik. Sampai sekarang.” Mas Indra bercerita singkat.
Aku dan Farhan diam, berpandangan.
“Tapi kalo mau ngadopsi adik, jangan ngadopsi Arinda ya mas.” Kata Farhan mencairkan.
“Kenapa emang? Ya kan itu hak mas Indra, lagian aku kan nggak punya kakak.” Tanggapku.
“Iya, kenapa Han?” Tanya mas Indra.
“Soalnya Arinda tuh udah kebanyakan abang mas, punya kakak sepupu 5 biji, laki semua. Gitu kok masih mengajukan diri jadi kandidat adiknya mas Indra. Biar genep setengah lusin gitu?” Heem…Farhan. Mesti deh, seneng banget buka rahasia keluargaku.
“O ya? Kamu sendiri yang cewek Rin?” Tanya mas Indra kemudian.
“Iya. Cucu mbahku ada 8 mas, yang 7 laki-laki, aku sendiri yang perempuan.” Jawabku.
Air muka mas Indra berubah, aku bisa melihatnya. Ia mengernyitkan dahi. Apa yang salah? Deg. Apa jangan-jangan… ah tidak mungkin. Mas Indra tidak menunjukkan apa-apa.
Kami lanjutkan mengobrol, membahas acara hari ini. Sampai tak terasa matahari semakin tinggi. Hari makin terang.
“Eh nyuk, kamu ntar kalo lagi di objek buntutin mas Indra aja, biar gak ilang kaya kemarin. Kasihan mas Indra kemarin diomelin bu Merli gara-gara kamu ilang tauk.” Saran Farhan ketika kami membahas objek wisata.
“Masa? Emang iya mas?” Aku memandang mas Indra.
Mas Indra hanya tersenyum.
“Tapi kan Haaan…” Aku bermaksud menolak.
“Apa? Mau ikutin aku? Gak boleh.” Timpal Farhan sewot.
“Yaah…” Aku melengos.
Dan kedua laki-laki dua generasi itu pun pergi dari hadapanku. Meneruskan olahraga kecil mereka. Aku kembali ke kamar, bersih diri.
***
Dan benar, tanpa sadar aku mengikuti saran Farhan. Sampai di objek wisata yang dituju, tanpa sadar aku mengikuti mas Indra, kenapa ini? Kalau berpisah dari gerombolan teman-teman pasti yang kucari pertama adalah mas Indra, membuntuti kesana-kemari. Aku takut hilang. Apalagi ini tempat yang tak pernah ku kunjungi. Memang benar kata Farhan, aku itu sering hilang tanpa jejak.
Pantai kuta menjadi objek kunjungan terakhir di hari kedua ini. Lagi lagi melihat senja. Dan aku suka. Lebih suka dibanding fajar.
“Nyuk, kita di kuta bakal liat sunset lagi. Awas ya kalo sampe ilang lagi. Gak bakal kita cariin kamu.” Ancam Farhan ketika kami menaiki Shuttle bus menuju kuta.
“Nggak, aku mau nyemplung. Nggak mau liat sunset lagi.” Jawabku.
“Halah, jangan nyemplung, kebawa ombak kamu ntar nyuk!”
“Ish! Sirik aja sih.” Aku mencubit perut buncit Farhan.
Kami pun tiba di kuta, semua berhamburan berlari ke pantai. Menikmati lembutnya pasir kuta. Langit cerah, pasti senja kali ini indah. Aku mengikuti teman-teman mendekati bibir pantai. Menjejakkan kakiku menyentuh air laut. Bersalaman dengan ombak tenang pantai kuta. Langit sudah mulai memerah, senja datang. Aku menepi, menjauh dari gerombolan teman-teman yang bermain diantara ombak. Mundur perlahan. Di belakangku, mas Indra sudah berdiri santai. Tersenyum kearahku.
“Mau lihat senja lagi?” Tanya mas Indra. Seperti sudah tahu apa yang ada di benakku.
“He hem.” Aku mengangguk mantap.
Aku pun langsung terduduk di samping mas Indra berdiri, diatas pasir kering pantai itu. Mas Indra ikut duduk denganku.
“Sekarang biar aku tunggu disini. Biar nggak ilang lagi.” Kata mas Indra.
“Dan biar mas Indra gak diomelin bu Merli.”
Kami tertawa. Kemudian hening.
Senja di kuta memang indah, aku menikmatinya. Kali ini tidak sendiri, ada mas Indra di sampingku. Entah dia juga menikmati sepertiku, atau hanya sekedar menemaniku supaya aku tak tertinggal rombongan lagi seperti kemarin. Sepanjang senja, kami hanya saling diam. Hanya sesekali bicara, itupun sedikit. Kadang aku pun menanggapi teriakan, panggilan, dan candaan teman-teamn yang melihatku duduk berdua bersama mas Indra di tepi pantai. Aku tak peduli, bukan hal luar biasa, pikirku.
Matahari belum benar-benar tenggelam. Tapi ketua rombongan sudah menyuruh kami kembali. Padahal aku belum puas menikmati senja kuta. Tapi apa boleh buat, hari sudah mulai gelap, diburu acara selanjutnya.
“Masih pengen di sini?” Tanya mas Indra. Lagi-lagi seperti tahu apa yang ada di benakku.
“Sebentar lagi napa mas? Sebentar lagi juga tenggelam beneran mataharinya.”
“Kita nggak sendiri Rin, tuh mereka uda kumpul.”
“Nggak boleh pulang belakangan ya? Nanti pulang sendiri ke hotel.”
“Kamu bisa?”
“Hehhe, nggak tahu.”
“Yaudah makanya ayo balik sekarang.”
Aku pun berdiri. Beranjak meninggalkan senja yang baru matang. Meninggalkan kuta. Farhan datang memanggil.
“Nyuuk… kamu nggak berniat ketinggalan lagi kan?” Katanya meledek.
“Mau sih tapi gak boleh.” Aku cemberut.
“Jaaaahhh… dasar. Ngapain coba? Mau nyari bule kamu?” Farhan masih terus meledek.
“Arinda lagi sedih Han, jangan diledek mulu.” Mas Indra membela.
“Kenapa kamu Nyuk?” tanya Farhan.
“Mataharinya belum tenggelam, tapi udah diajakin balik.” Mas Indra yang menjawab.
“Alaaaahh, gitu doank? Dasar manusia senja… hahhahaha” Farhan tertawa menang.
Gontai akhirnya aku kembali bersama rombongan, meninggalkan matahari sebelum dia tenggelam. Kali ini tidak ketinggalan.

Malam kedua di Bali…
Sesudah makan malam, aku tidak beranjak dari tempat. Mira, salah ssatu temanku menghampiri. Disusul Farhan.
“Rin, kamu nggak pengen keluar?” Tanya Mira.
“Kemana Mir?” aku balik tanya.
“Ya kemana kek, masa 3 hari di Bali nggak tau suasana Bali malem hari.”
“Aku takut ngantuk, Mir.”
“Halaah, kamu nih ya, kalo malem tiduuurr mulu, pantes bangunnya dini hari. Dasar ayam.” Farhan nimbrung. Rusuh semuanya.
“Keluar yuk Rin.” Ajak Mira.
“Sama siapa donk?” Tanyaku.
“Ya bareng-bareng lah.” Jawab Mira.
“Naik apa?” Aku masih bingung.
“Naik becak.” Jawab Farhan.
“Becak? Emang di Bali ada becak?” Aku makin tak paham.
“Kita kan disediain mobil dari hotel Ariiiinn…” Mira menjelaskan.
“Oww gitu ya?” aku baru mengerti. Ah dodol.
Kami masih berdiskusi. Mas Indra datang.
“Mas, kalo mau pake mobil Hotel gimana ya?” tanya Farhan.
“Kalian mau keluar?” Tanya mas Indra balik.
“Iya…” Kami bertiga menjawab serempak.
“Yaudah tunggu disini atau siap-siap gih, biar aku yang urus.” Mas Indra memberi solusi.
“Bener mas?” Tanya Mira meyakinkan.
“Iya, oke?” Mas Indra meyakinkan.
Kami berdecak gembira.
20 menit kemudian kami sudah berada di mobil. Menuju ke kuta. Menikmati hingar bingar kuta malam itu. Aku pergi bersama Farhan, mas Indra, Mira, Alfin dan Indah. Wilayah kuta, makin malam makin ramai, macet, lalu lintas padat merayap. Ramai. Mobil berhasil diparkir, kami turun. Dalam hitungan detik, Farhan sudah menghilang dari hadapanku bersama yang lain. Hanya tinggal aku dan mas Indra di tempat parkir.
“Nah kan aku ditinggal lagi.” Aku mengeluh ditinggal teman-teman. “Selalu gini, huuft.” Lanjutku. Apa kau terlalu lambat, atau mereka yang terlalu cepat ya?.
“Kita nyusul mereka atau gimana enaknya?” Mas Indra membei pilihan.
“Mereka udah ilang gitu mas.”
“Jadi?”
“I trust you.” Aku mengangkat bahu.
“Kita jalan sendiri aja yuk.” Ajak mas Indra.
“Oke…” Kami pun berjalan berdampingan, mengelilingi beberapa sudut di kuta. Ramai. Tempat ini sepertinya tak pernah tidur. Aku jadi lebih tau banyak mengenai seluk beluk kuta karna mas Indra. Sepanjang jalan mas Indra banyak bercerita tentang Kuta. Aku pun senang mendengar ceritanya sekaligus pengalaman-pengalaman mas Indra. Kurasakan kakiku mulai lelah. Ternyata cukup jauh kami berjalan malam ini. Mas Indra pun mengajakku ke pinggir pantai, duduk melepas lelah sambil menunggu yang lain kembali. Kami terus mengobrol disana. Asik. Aku merasa nyaman bertukar cerita dengan mas Indra.
“Sekarang udah jam berapa mas?” tanyaku. Aku mulai merasakan mataku lelah. Mengantuk.
“Jam 1 Rin…”
“Kok anak-anak pada belum balik sih?”
“Biasa Rin, sudah larut sama hingar binger kuta.”
“Di sms juga nggak bales. Ditelpon nggak diangkat. Ah.”
“Capek Rin?”
“Ngantuk mas.”
“Ke mobil ta?”
“Nggak ah, disini aja.”
Kurasakan mataku benar-benar lengket. Kemudian rasa kantuk yang amat sangat ini makin menggila. Masih kudengar sayup sayup suara mas Indra menyanyi. Merdu. Diiringi rasa kantuk ini aku ikut bergumam, mendendangkan suatu lirik. Lirih bersama mas Indra, beradu dengan suara ombak. Malam ini benar-benar dramatis.
….
Who are you now?
Are you still the same or did you change somehow?
What do you do?
At this very moment when I think of yo
u
….
Dan suara itu makin menghilang, aku berhenti menyanyi dan setelah itu aku tak tahu apa lagi yang terjadi.

Indrarinda VI - Pulau Dewata I

Pagi hari kami sampai di pulau Bali. Acara dimulai dari makan pagi di daerah Tabanan, dilanjutkan ke Denpasar untuk check in di hotel, selanjutnya acara kunjung mengunjungi beberapa objek wisata pun dilaksanakan.
Hari itu kami mengunjungi beberapa lembaga sebagai acara pokok kegiatan ini. Menjelang sore kami mengunjungi pantai Dreamland, sebagai tujuan terakhir kami di hari pertama. Di sana, teman-teman larut dalam euphoria senja. Mengabadikan momen-momen ceria itu lewat kamera. Berbagai gaya, bermacam ekspresi. Aku hanya mengabadikan beberapa, selebihnya aku memilih duduk di atas pasir, diam. Menikmati senja. Memang benar, pantai ini indah. Aku suka senja. Meski aku dilahirkan ketika fajar. Senja itu ibarat ajakan untuk instropeksi, penghujung hari, apa saja yang sudah kita lakukan hari ini.
Matahari di ujung penglihatanku kini benar-benar sudah lenyap. Aku tidak sadar, aku ditinggal rombongan. Ini gara-gara aku begitu menikmati senja. Oh God… aku segera beranjak pergi menyusul rombongan, lumayan panik. Sampai akhirnya kulihat Farhan berjalan beriringan bersama mas tour leader, wajah mereka panic sepertiku. Sepertinya mereka mencariku.
“Farhaaannn!!” Aku berteriak memanggil Farhan.
Farhan menoleh ke asal suaraku, aku melambaikan tangan. Air mukanya berubah, kesal. Ma situ tersenyum. Aku segera berlari kearah mereka.
“Munyuuuukk! Aku kira kamu diculik bule tauk!” Farhan mengacak-acak rambutku. Aku Cuma bisa nyengir.
“I’m so sorry for making trouble…” Innocent aku meminta maaf.
“Sorry, sorry, nggak cukup. Bayar pajak pencarian ke aku!” Farhan kesal.
“Yaudah, ayo ke bus, sudah ditunggu itu.” Mas itu menggiring kami ke bus.
“Kamu tadi kemana sih? Bisa bisanya makhluk segede kamu ilang gitu, ketinggalan rombongan, ha?” Farhan mulai menginterogasi.
“Duduk di bawah tebing. Liat sunset.” Jawabku enteng.
“Ngapain coba? Itu bukan goa kali Riin… sodara kamu gak disana.”
“Ya tempatnya asik Han….”
“Ya tapi masa kamu gak liat kiat-kita pada balik ke bus apa?””
“Aku nggak liat, aku kan liat sunset.”
“Mata kamu nggak jereng apa liat matahari terus?”
“Enggak.”
“Dasar mata kuda.”
“Kok kamu gitu sih Han? Katanya kamu pawangku?”
“Ya emang kalo pawang trus aku mesti jagain kamu terus gitu, piaraan gak pengertian kamu tuh…”
“Sudah sudah Han, kasihan mbaknya, jangan di marahin terus…” Mas itu menghentikan adu mulut kami. Menyelamatkanku dari omelan Farhan.
Ya begitulah aku dan Farhan, kami sudah jadi teman sejak SMA. Dan tak tahunya ketika kuliah kami jadi satu jurusan lagi. Farhan sudah seperti kakakku. Mama-Papa juga sudah mengenal baik. Dan ternyata jika ditelusuri, Farhan dan aku masih ada hubungan saudara.
“Orang kaya Arinda mah harus digituin mas, bahaya kalo sendirian, suka ilang.” Farhan belum berhenti ternyata.
“Farhan… udah deh.” Aku memonyongkan bibir.
Mas itu akhirnya tertawa. Kami masuk ke bus. Mengakhiri petualangan hari ini, kembali ke hotel untuk beristirahat.

Malam pertama di Bali....
Kuhabiskan malam itu di atap hotel. Disana ada beberapa macam tanaman yang ditanam dalam pot, berjajar rapi, dan sebuah gazebo. Banyak teman yang sudah tidur, banyak pula yang menggunakan free time ini untuk keluar hotel, keliling kota Denpasar, atau ke suatu tempat, sekedar keluar hotel. Aku memilih atap hotel untuk menikmati malam ini. Melihat gemerlap kota Denpasar malam ini.
“Kok malah disini? Nggak tidur, Arinda?” Suatu suara mengagetkanku. Mas itu. Sampai detik ini aku tidak tahu namanya. Tak pernah aku mendengar teman ada yg memanggilnya, tak terkecuali Farhan.
“Eh?” aku terhenyak.
“Bener kan nama kamu Arinda?” Tanya mas itu memastikan.
Aku tersenyum. Mas yang belum terdeteksi namanya itu pun berjalan kearahku. Lalu duduk di gazebo di samping aku duduk.
“Kok nggak tidur? Atau ikut temen-temen yang keluar?” tanya mas itu.
“Nggak ah.”
“Kenapa?”
“Takut pulangnya kemaleman.”
“Nggak biasa pulang malem ya?”
“Iya, takut ngantuk pas jalan-jalan. Ntar ilang lagi kaya tadi.”
Kami tertawa. Kemudian hening.
“Mas ngapain disini?”
“Cari angin.”
“Nggak ikut keluar?”
“Nggak ah. Hemat energy. Besok kan masih banyak kegiatan. Ya kan?”
“Iya sih.”
Lagi-lagi hening.
“Nama mas ini siapa sih? Boleh Arinda tau?” Kuberanikan diri bertanya akhirnya.
“Indra.” Deg. Indra? Spontan aku mengingat mbah Harti dan cucunya yang bernama Indra. Anak bude Heti.
“Lengkapnya?”
“Indra Arsyad.” Aku ingat betul. Tempo hari mbah Harti menyebut nama itu.
“Asli?” Kali ini aku yang tak percaya.
“Asli lah.”
“Yakin?”
“Mau lihat KTP ta?” Mas itu mengulangi kalimatku ketika dia bertanya hal yang sama padaku.
Kami tertawa mengingatnya. Dan terlepas dari cerita mbah Harti, tentang Indra, cucunya. Terlepas dari candaan mama tentang mas Indra. Terlepas dari alibi-alibi aneh ataupun prasangka tak biasa. Aku berkenalan dengan orang bernama Indra. Dan kini, kupanggil dia mas Indra. Karna memang begitu sepantasnya.

Indrarinda V - Field Trip has begun

Hari yang dinanti tiba. Field trip. Tujuan field trip kami adalah pulau dewata, Bali. Yang kata banyak orang, pulau sejuta pesona. Kami berangkat dari Surabaya malam hari. Waktu aku tiba, 3 bus pariwisata sudah berjajar di halaman kampusku yang luas. Aku bergabung dengan teman-teman lainnya, sampai Farhan –si ketua panitia- memanggilku. Dia berdiri bersama seorang laki-laki di dekat bagasi bus 1. Ow, itu kan mas yang kutabrak waktu itu. Jadi kami memakai jasa travel agent mas itu to?. Yah berhubung aku tidak ikut voting waktu itu, jadi aku tidak tahu.
“Ariiinndaaaa… absen duluu! Bawa koper kamu kesini!” Teriak Farhan memanggilku.
Aku berjalan menarik koper besarku, menghampirinya.
“Aku di bus ini?” Tanyaku.
“Iya, kamu di bus ini sama aku, jatah di belakang jagain pintu sama aku.” Jelas Farhan.
“Hah? Yang bener Han?” Aku masih belum nyambung.
“Iya nyuuuukk, gimana sih? Kan uda dari kmarin-kmarin seat nya dibagi. Katanya kamu iya iya aja duduk dimanapun sama aku.” Jelas Farhan lagi. Setengah jengkel karena kelakuanku yang suka lupa.
“Hehe, iya iya, oke bos.” Aku meringis.
“Yaudah aku absen yg lain dulu.” Farhan pergi.
Aku ditinggalkan bersama mas itu. Mas yang tak kuketahui namanya. Yang kutabrak tempo hari. Mas dengan kemeja dark-brown.
“Sini mbak kopernya.” Pinta mas itu. Dia mengeluarkan name tag untuk dipasang di koperku.
“Namanya?” tanya mas itu. Siap menuliskan namaku di name tag.
“Arinda.” Jawabku singkat.
Mas itu diam. Tidak segera menuliskan namaku.
“Lengkapnya?” tanyanya lagi.
“Fajar Arinda Pramesthi.” Jawabku lagi.
Mas itu menoleh kearahku, memandangku dengan pertanyaan.
“Asli?” tanyanya seperti tak percaya.
“Ya asli lah.”
“Yakin itu nama kamu?” Tanyanya lagi. Seperti orang curiga. Kenapa dengan mas ini?
“Mau lihat KTP ta?” balasku meyakinkan, siap mengeluarkan KTP.
“Oh nggak kok, percaya deh.” Mas itu tersenyum. Masih penuh tanya.
Setelah menuliskan identitasku di name tag. Dia memasangkanya ke koper. Seperti orang nerveous. Lama sekali dia memasangkan. Grogi. Ah mas ini aneh.
Aku berada di bus 1. Di seat belakang dekat pintu bersama Farhan. Dan oh! Bertemu mas itu lagi. Dia menjadi tour leader di bus kami. Sebelum berangkat Farhan memimpin doa, dan mas itu membagikan jadwal kunjungan tanpa berkenalan terlebih dahulu. Kemudian dia berjalan dari depan ke belakang, mengecek keadaan para peserta. Sampai di dekat kursiku dia berhenti. Aku masih duduk sendiri, Farhan masih diinterogasi oleh Bu Winda, dosen kami.
“Kamu duduk di sini?” Tanya masitu.
“Iya.”
“Sama Farhan?”
“Iya. Kenapa mas?”
Farhan datang.
“Dia gak bisa duduk sama sembarang orang mas, bahaya. Pawangnya aku soalnya.” Kata Farhan menyambung.
“Iya mas, Farhan itu bodyguardku.” Kataku menambahi.
“Pawang nyuk, bukan bodyguard. Ogah ah jadi bodyguardmu.”
Mas itu tertawa mendengar kami. Kemudian pergi ke kursi depan. Bus pun berangkat.

Indrarinda IV - Bertemu

“Han, aku gak izin pulang ya? Mules nih.” Aku minta izin pada Farhan, ketua panitia field trip tahun ini. Ya, semester ini prodiku mengadakan agenda rutin, field trip. Dan ini giliran angkatanku. Hari ini rencananya ada presentasi dari beberapa travel agent untuk acara field trip ini. Tapi aku tak bisa hadir, badanku sedang tidak bersahabat. Kuputuskan untuk pulang ke kost.
“Trus? Kamu gak liat presentasinya Rin?” Tanya Farhan.
“Gak usah deh, ya? Boleh kan?”
“Kalau voting?”
“Sama kaya kamu aja.” Aku tak ambil pusing.
“Bener?”
“Iya, yaudah aku pulang duluan ya. Bye Han!” Aku meninggalkan Farhan, keluar kelas.
Aku berjalan lumayan cepat keluar gedung sambil memegangi perutku yang mulai terasa perih. Sepertinya maagku kambuh. Tiba-tiba ponselku di dalam tas bergetar lama. Ada telepon. Sambil terus berjalan aku mencari ponsel di dalam tas, dan bruukk! Aku menabrak seseorang gara-gara tak melihat jalan.
“Aduhh, maaf.. maaf banget….” Kataku sambil menunduk, tanpa melihat siapa yang kutabrak.
“Iya mbak, nggak apa-apa. Mbaknya baik-baik aja?” Seorang lelaki berkulit sawo matang bersih menjawab. Tidak terlalu tinggi, mungkin selisih 15 cm denganku. Memakai kemeja berwarna dark-brown bermotif garis. Baju masuk, celana bahan, sepatu pantovel. Rapi sekali. Sepertinya mahasiswa tingkat akhir.
“Oh iya mas, nggak apa-apa kok. Sekali lagi maaf mas.” Aku meminta maaf lagi.
“Iya nggak apa-apa. Oiya, boleh tanya mbak?” Kata mas itu ketika aku bermaksud pergi.
“Iya, apa mas?”
“Ruang 23 itu sebelah mana ya?” tanya ma situ.
Ruang 23? Itu kan tempat anak-anak kumpul, kelas yang mau dipakai presentasi travel agent. Jangan-jangan mas ini salah satu travel agent yang mau present?
“Di lantai 2 gedung ini mas, pojok.” Jawabku sambil menunjukkan arah.
“Lewat sana ya mbak?” Mas itu menunjuk tangga.
“Iya, trus belok kanan aja. Maaf, mas dari travel agent yg mau present ya?” Tanyaku memberanikan diri.
“Oh iya mbak. Mbak nya salah satu peserta ya?” Tanya mas itu.
“Iya mas, silakan langsung masuk saja mas, sudah ditunggu teman-teman. Maaf, saya buru-buru.” Kataku beramah-tamah. Perutku makin perih.
“Oh baik mbak, makasih mbak. Maaf mengganggu.” Aku keburu ngeloyor pergi sebelum mas itu menyelesaikan kalimatnya.

Indrarinda III - Suatu Pagi

2 bulan setelah ulang tahun mbah Uti…
Hari ini mama dan papa bertandang ke Surabaya, menghadiri pernikahan junior Papa di kantor. Mereka pun menyempatkan mampir ke tempat kostku dan menginap semalam disini.
“Mbak, mama sama papa rencananya mau nyari bude Heti lho. Kamu mau ikut ndak?” Tanya mama pagi itu, ketika aku baru bangun.
“Bude Heti? Anaknya mbah Harti itu ma?” tanyaku balik.
“Iya, Ibunya mas Indra tuh mbak. Kan mereka tinggal di Surabaya.”
“Oh.” Jawabku sekenanya.
“Kok Cuma oh? Ikut yuk.” Ajak Papa kemudian.
Malas. Aku tak berminat.
“Ayo ikut aja yuk mbak, ketemu mas Indra lho.” Dukung mama.
Kenapa bahasanya jadi ke orang yg namanya Indra sih? Pikirku.
“Apa hubungannya sama Arinda?” Aku menghindar.
“Ya tunjuk muka ke mas Indra, mbak. Waktu kalian pisah kan masih sama-sama kecil.”
Jawab mama diplomatis. Ah mama.
“Kok mama gak pernah cerita sih soal mas Indra itu?” Aku mulai menyelidik lagi.
“Ya mbak Arin ndak pernah tanya.” Mama ngeles. Selalu.
“Ya mana Arinda tau maa… Arinda kan waktu itu masih kecil.”
“Masa ndak inget sama sekali mbak?”
Aku menggeleng. Mama duduk di hadapanku, memegang bahuku.
“Pokoknya yang namanya mas Indra itu pasti akan jadi istimewa.” Mama tersenyum penuh tanya. Apa juga maksudnya istimewa?
“Maksudnya ma?”
“Percaya sama mama, pokoknya istimewa.”
“Iya istimewanya kenapa?”
“Makanya ayo ikut, mbak…”
“Nggak ah.”
“Heh, diajak silaturahmi kok.”
“Ya mama kayanya ada maksud lain gitu.”
“Maksud lain gimana…”
“He… kok jadi pada ngeyel tho? Ayo Rin, ikut nyari alamatnya bude Heti.” Papa terjun menengahi adu mulutku dan mama.
“Nggak ah Pa. Arinda mau ikut seminar hari ini.”
“Bener mau ikut seminar? Ndak Cuma alasan kan?” Mama menyelidik, tak percaya.
“Iya mama… swear deh.”
“Ya sudah, awas lho ntar kalau nyesel gak jadi ikut. Gak ketemu mas Indra.” Mama kambuh deh lebay nya. Plis mama… jangan lebay. Kayanya mama nih yang ngebet ketemu makhluk bernama Indra itu.
“Gak akan mamaaaa….” Aku jengkel.
Mama melenggang ke kamar mandi. Papa hanya tersenyum melihatku dan Mama.

Indrarinda II - Dongeng

Malam ini aku menginap di rumah mbah Uti, karna memang aku dan keluarga tinggal di luar kota. Malam sudah larut, sebagian penghuni rumah sudah tidur. Tapi mbah Uti dan mbah Harti masih bercengkerama di ruang makan, terlihat bahagia sekali. Mereka memang sahabat karib yang terpisahkan oleh bermacam hal, dan kini mereka kembali dipertemukan dalam keadaan yg sudah berbeda, sudah banyak berubah. Aku menuju ruang makan, ingin lebih tahu tentang kedua wanita berusia senja itu, ingin mendengar apa saja yang mereka bicarakan sampai selarut ini. Aku menampakkan diri di depan mereka, mbah Uti menyambutku.
“Lhaaa ini, cucu perempuanku…” Mbah Uti memperkenalkanku pada mbah Harti untuk kesekian kalinya.
“Ini yang lahirnya pas adzan subuh itu kan?” Tanya mbah Harti.
Mbah Harti menarikku, dan merangkulku, kemudian aku duduk di sampingnya.
“Waktu kamu lahir, ya mbah Harti ini yang ngurusi kamu nduk. Mbah Uti sama mbah Kung lagi ke Malang nengok Galang-Galih.” Mbah Uti membuka cerita.
“Lahirmu itu pas hari sabtu, pas sekali bersamaan dengan adzan subuh. Dari semalamnya, mbah ini yang nemani mamamu tidur.” Lanjut mbah Harti.
“Kamu ndak lahir di rumah sakit lho nduk.” Kata mbah Uti.
“Terus mbah?” Aku penasaran.
“Anak mbah Harti yang kedua itu bidan, namanya Heti, ya bude Heti itu yang menolong kelahiranmu. Pas mbah Uti pulang, semua sudah beres, kamu sudah di dunia, sehat wal afiat.” Lanjut mbah Uti.
“Kelahiranmu itu benar-benar anugerah untuk kami lho nduk. Dikiranya kamu itu lahir laki-laki, seperti cucu-cucu mbah utimu yang lainnya. Ternyata kamu perempuan, pertama di keluarga mbah utimu. Wes pokoknya semua nyambut gembira kelahiranmu. Termasuk mbah ini. E ndak ngira juga kalau kamu jadi satu-satunya cucu perempuan mbah utimu.” Kali ini mbah Harti yang cerita.
Aku tak menyangka, sebegitu istimewanya kelahiranku dulu. Dinanti-nantikan banyak orang. Aku, Fajar Arinda Pramesthi. Cucu perempuan pertama dan satu-satunya di keluarga ini.
“Waktu kecil kamu jadi kesayangan nduk, mbah Harti sampai nganggap kamu seperti cucunya sendiri. Kamu sering diajak nginep di rumah mbah Harti lho, diajak kesana-kemari sama bude Heti, pernah juga kamu diaku anaknya bude Heti. “ Mbah Uti terus bercerita.
“Kenapa begitu mbah?” Tanyaku.
“Karna mbah juga ndak punya cucu perempuan. Waktu itu cucu mbah sudah ada dua, laki-laki semua. Yang satu Ardi, anaknya pakde Arif yang dikalimantan, tempat mbah tinggal. Yang satu ya anaknya bude Heti itu, namanya Indra. Padahal mbah pengeen sekali punya cucu perempuan. Sampai-sampai kamu itu disebut cucu bersama lho.” Mbah Harti menjawab panjang lebar.
“Yang namanya Indra itu yang selalu buat kami kewalahan. Dia itu sayaaangg sekali sama kamu, nduk. Soalnya dia pengen sekali punya adik perempuan. Kalau sudah main ke rumah ini dan ada kamu, pasti susah diajak pulang. Dia minta bobo sama adek bayi katanya. Dan kalau kamu diajak ke rumah mbah ya begitu, kamu ndak boleh dibawa pulang. Pokoknya setiap hari kalian bertemu, Indra ndak mau main sama yang lainya, maunya nemenin kamu terus waktu kamu bayi itu. Sampai waktu umur kamu 2 tahun dan Indra umur 5 tahun, Indra pindah ke Surabaya ikut Ayahnya. Indra minta kamu dibawa ke Surabaya sekalian. Indra benar-benar ndak mau pisah sama kamu. Dia pikir kamu itu memang adiknya.” Mbah Harti menceritakan cucunya yang bernama Indra. Siapa lagi ini? Pikirku. Kenapa ada anak kecil seperti itu. Seperti orang yang bernama Indra. Tapi kenapa Mama, Papa, atau mbah Uti tidak pernah menceritakan padaku perihal hal ini, tentang Indra.
“Kamu masih inget nduk siapa Indra?” Mbah Uti bertanya.
Aku hanya menggeleng.
“Wajar kalau kamu ndak ingat, lha wong kamu masih kecil sekali. Kemarin mbah mau ajak Indra kesini, tapi dia ndak mau, malu ketemu kamu katanya.” Kata mbah Harti.
Lagi-lagi aku tersenyum. Ah, siapa sih manusia benama Indra itu? Apa dia benar-benar ada?
“Sekarang Mas Indra itu dimana mbah?” Aku mulai merasakan adanya rasa penasaran.
“Di Surabaya…” Deg. Aku kuliah di Surabaya. Orang bernama Indra itu juga tinggal di Surabaya.
“Arinda ini juga kuliah di Surabaya lho.” Mbah Uti memberitahu Mbah Harti perihal kuliahku.
“Lho? Iya tho nduk? Indra juga kuliah di Surabaya, dan baru saja wisuda minggu kemarin. Aduh, mbah lupa apa nama tempat Indra kuliah.” Mbah Harti menuturkan.
Wisuda minggu lalu? Kampusku juga menggelar wisuda minggu lalu. Apa mungkin Indra itu juga disana? Ah, sudah Arinda, kamu berlebihan. Di Surabaya kan banyak sekali Tempat kuliah. Mungkin saja institusi lain. Tuhaan, aku mulai aneh. Hanya karna cerita seorang sahabat lama mbah Utiku aku jadi punya rasa penasaran sebesar ini. Berlebihan.
“Nduk, malam ini bobo sama mbah yuk. “ Lho? Tiba-tiba Mbah Harti mengajakku untuk tidur menemaninya.
“Ayo sana Rin, temani mbah Harti tidur.” Mbah Uti juga menyuruhku.
Apa boleh buat. Aku mengiyakan. Malam itu aku tidur bersama mbah Harti, sahabat karib mbah Uti, tamu istimewa keluarga ini. Orang yang bisa dibilang baru saja kukenal. Tapi serasa sudah dekat.
Mbah Harti seperti mbah Uti. Sebelum tidur, bercerita tentang banyak hal, seperti kembali ke masa kecil. Menjelang tidur, mama membacakan cerita untukku. Kali ini beda, bukan cerita fiktif yang kudengar, tapi kisah nyata mbah Harti. Usiaku tidak lagi muda, tapi 20 tahun. Dan bukan mama yang bercerita, tapi mbah Harti. Mbah Harti, nenek dari Indra Arsyad.

Indrarinda I - Mbah Harti

"Mbah Harti ini dulu rumahnya depan situ nduk, waktu kamu bayi, uti sering ajak kamu kesitu. Mbah Harti juga sering nggendong kamu, momong kamu dulu." Kata mbah uti panjang lebar, memperkenalkan mbah Harti padaku.
Hari ini memang hari spesial untuk mbah Uti, ini ulang tahunnya ke 74. Kami, anak-cucunya berkumpul di kediaman mbah uti untuk merayakannya. Ada kejutan untuk mbah Uti, mbah Uti kedatangan tamu spesial. Mbah Harti, begitu kami -anak cucu mbah Uti- memanggilnya. Beliau adalah teman akrab mbah uti, beliau juga tetangga dekat mbah uti, keluarga ini sudah menganggapnya seperti keluarga, begitu kata mbah Uti. Tapi aku sendiri tidak paham, sebenarnya siapa itu mbah Harti.
"Waktu mbah pergi, kamu bisa dibilang masih bayi, eee... Sekarang sudah jadi gadis begini. Mbah ndak ngira, bisa lihat kamu lagi nduk" Kata mbah Harti seraya merangkulku.
Aku hanya tersenyum. Mbah Harti sepertinya memang begitu dekat dengan keluarga ini. Mama, Papa, Pakde Wid, Bude Nur, Pakde Syam, Bude Yanti, Om Yusuf, Tante Is, semuanya mengenal baik mbah Harti, tapi tak satupun yang mau menceritakann secara jelas siapa mbah Harti itu kepadaku. Tak terkecuali Mamaku. Sepupu2ku yg lebih tua dariku juga mengenal Mbah Harti. Cuma aku yg masih bingung. Tapi mbah Harti begitu mengenalku, tahu siapa diriku. Dan aku, sekedar mengenal Mbah Harti sebagai bekas tetangga dekat mbah Uti dulu. Setelah ditinggal oleh suaminya, mbah Harti diboyong keluar jawa oleh anak pertamanya. Hanya itu yg kutahu. Selebihnya, entahlah. Tidak ada yang mau bercerita kepadaku.
"Mas Galang kenal sama mbah Harti?" Tanyaku pada mas Galang, cucu tertua mbah Uti.
“Kenal lah, kenapa Rin?”
“Emang mbah Harti itu siapa sih mas? Kok kayanya istimewa banget gitu dimata mbah Uti…” Aku menyelidik.
“Ya tanya langsung lah sama mbah Uti, kok malah tanya ke aku.” Jawab mas Galang sembari pergi meninggalkanku.
Kulihat ada mas Galih –saudara kembar mas Galang- di ruang keluarga, menonton tv bersama mas Fadhil, mas Akbar, dan mas Naufal. Aku bergabung bersama mereka, bermaksud menyelidiki.
“Sebenernya mbah Harti itu siapa sih?” Tanyaku pada mereka.
“Kenapa tanya begitu Rin?” Balas mas Galih.
“Iya mbak, mbah Harti itu siapa sih?” Mas Naufal ternyata juga tidak tahu siapa mbah Harti. Aku punya pendukung.
Semua diam.
Aku menyenggol siku mas Akbar, memintanya menjawab.
“Apa sih Rin?” Kata mas Akbar tak paham.
“Mbah Harti itu siapa?” Aku menegaskan keingintahuanku.
“Mana gue tahu, tanya yg tua-tua tuh.” Jawab mas Akbar.
“Beneran gak tau?” Aku meyakinkan.
“Sumpah Rin, gak tahu.” Mas Akbar mengacungkan dua jarinya.
“Mas Fadhil?” Kualihkan pandanganku pada mas Fadhil.
“Intinya, mbah Harti itu dulu rumahnya di depan situ tuh, tetangga deketnya mbah Uti, sekaligus teman akrabnya mbah Uti dari kecil.” Mas Fadhil akhirnya menjawab.
“Trus?” Ganti mas Naufal yg penasaran.
“Mbah Harti itu orangnya baiikk banget, uda kaya keluarga sendiri deh pokoknya, uda kaya mbah kita sendiri lho.” Kali ini mas Galih yang menjelaskan.
“Mas Galih kenal?” Tanyaku
“Kenal lah.” Jawabnya singkat.
“Mas Fadhil?” aku bertanya pada mas Fadhil.
Mas Fadhil mengangguk mantap.
“Mas Akbar?” Kualihkan pandangan pada mas Akbar.
“Enggak.” Jawabnya enteng.
“Aku juga enggak, mas Naufal juga nggak kenal. Kok bisa?”
“Jelas bisa. Waktu kamu sama Akbar masih bayi, mbah Harti pindah ke Kalimantan, ikut anaknya gitu.” Jelas mas Galih.
“Berhubung waktu mbah Harti pergi pas Aku, mas Galih, sama mas Galang uda rada gede, jadi kita inget. “ Tambah mas Fadhil.
Oooo… ya aku tahu sekarang.

Balada Krtinggalan Bus

balada ketinggalan bus

jumat 4 november 2011
sudah 2 bulan aku gak pulang kampung ke pacitan. dan hari itu, tepatnya tanggal 4 november 2011, aku memutuskan untuk pulang kampung, sengaja aku pulang kampung tanggal ini, soalnya bertepatan sama momen idul adha.
paginya, mulai jam set.6 aku ada ujian makul PK, oke ujian ini lancar banget. habis itu masih ada kuliah sociolinguistics, oke ini lancar juga. dan tarraaaaaa... habis itu aku masih menghadapi yang namanya ujian psycholinguistics. dan yaaa, ujian ini lancar juga.
dan hap hap hap, akirnya aku berangkat dari jember bareng Dwi temenku sekitar jam 11 siang, perjalanan ke tawangalun seperti biasa, macet lah gara-gara hari jumat, disamping jarak kampus ke tawangalun emang jauh, kita cuma naik angkot, itu pula yang bikin lama. dan yak, aku naik bus bareng dwi dan satu adik angkatanku yg mau pulkam ke ngawi.
kita naik bus sekitar jam 12 siang, yaa kalo diitung perjalanan normal, masi bisa lah nyampe surabaya jam 5 dan naik aneka jaya, secara aneka jaya jam sore berangkat dari surabaya jam 17.53, dan biasanya emang tepat waktu. Jadi aku tenang, tanpa mikir kalo ini weekend dan bertepatan momen idul adha.
Oemjii, kita salah naik bus, bus nya Cuma sampe Probolinggo *plis deh tiwi, uda semester 5 kok ya masih bisa ketipu sama bus?? Helllooo* yasudahlah, wong tadi dapet murah. Akirnya kita oper bus di terminal bayuangga, dan kita memutuskan naik patas dari situ, tanpa piker panjang, hap hap hap kita naik ke bus. Uda dapet posisi wenak, sambil ngobrol sana-sini sama dwi, kita disuguhi lagu-lagu evie tamala feat om.pallapa, mantab dah sampe aku gak sadar kalo busnya gak berangkat2. Tau gak? Bus nya take off *ini bus tiw, bukan pesawat* jam 3 sore. Asli, h2c gue jek! Harap-harap cemas, bisa nyampe Surabaya sebelum jam setengah enam gak yaa??
Dan bus mulai berjalan, aku takut liat jam, sumpah. Wussh wuussh.... lumayan cepet sih, tapi ada trouble pas nyampe Japanan, maceettt... khawatir? Jelas, tapi dibawa calm saja. Dan yang super khawatir justru Dwi, bukan aku. Pacarnya yang nunggu dia di terminal dia jadiin informan, liatin aneka jaya. Bus yg aku tumpangin baru masuk tol, dan menurut berita dari sang informan yg diutus dwi, bus yang namanya aneka jaya, bus satu-satunya yang berangkat ke pacitan pada jam itu sudah penuh. Jleng! Aku baru ngeh, kalo ini weekend dan pas momen idul adha. Jadi kesimpulannya, itu bus pasti penuh sama orang-orang pacitan yang mau balik kampung. Dan info selanjutnya dateng, ini yang bikin aku shock. Busnya uda berangkat, jediarr! Speechless jek, tapi tetep calm down. Masih ada bus selanjutnya, tapi... masih jam 22.40 ntar. Ah dan akhirnya kurelakan aneka jaya petang pergi meninggalkanku... huhuu
Kita sampe di terminal Purabaya atau lebih keren disebut Bungurasih sekitar jam setengah enam petang. Aku masih linglung gara-gara ditinggal si bus. Aku lari ke arah tempat bus biasa mangkal, gak ada. Ke jalur 3, gak ada juga. Dan ya, emang bener, si bus uda berangkat. Huaaaaa ibuukk...
Aku pun akirnya duduk di kursi tunggu ditemenin Dwi dan pacarnya. Ceritanya nenangin diri sambil cari jalan keluar gitu. Dwi ikut bingung, padahal aslinya ini bukan masalah besar, tapi dasar aku yg heboh, jadi kelihatan gede aja nih masalah.
Oke, aku mulai cari jalan keluar. Pertama aku nelpon ibuk. Kata Bapak, aku disuruh naik bus Ponorogo an trus dijemput disana. Ini bukan ide bagus, kasian bapak, jauh lho, malem lagi. Ibu ngasih saran nginep aja di tempat temen yang di situ. Gak mau juga ah, ngrepotin aja. Endingnya ibu bilang, kalo mau nunggu bus yang selanjutnya, aku kudu ada temenya. Nah lho, siapa coba?
Kedua aku ngubungin Bulek Yani. Bulek ngasih saran, naik travel aja ya? Aku dikirimin sederet no telepon travel ke pacitan. Tapii... sama aja kalo naik travel, take off dari Surabaya nya juga sekitar jam 11 an, belum lagi kira-kira uda gak ada tempat kosong kalo pesenya jam segini. Oemjii.... yasudah aku putusin nunggu aneka jaya yang selanjutnya aja, jam 22.00. it means, aku harus nunggu sekitar 4 jam disini.


suasana genting masi sempat foto2? ya itu saya... haha



Dwi sama pacarnya masi disampingku, nemenin. Duh, jadi gak enak sama mereka, gara-gara aku, mereka merelakan acara kencan mereka batal, demi nemenin aku *ndog, nal, thanks thanks so much yaa atas bantuanya... big thanks pokoknya* dan ya, aku punya rencana lain, gak mungkin kan kalo dwi dan pacarnya nungguin aku sampe jam 10an, akirnya aku sms salah satu teman di Surabaya. Yaaa harap2 dia mau nyamperin aku gitu di terminal terus nemenin sampe aku dapet bus nanti. Sumpah, logikaku gak jalan rasanya. Tau endingnya?? Dia gak bisa nemenin, entah gak bisa ato gak mau, pokoknya misi *geje* ku gagal. Ini yang paling gila, moodku berubah buruk dalam hitungan detik, aku diem, speechless, kaya orang linglung. Gara-gara sms balesan dari seorang temen itu aku jadi kaya gini? Kaya mati rasa, tapi aku masih bisa ngerasain sakit. Sampe-sampe aku kalut, Dwi dan pacarnya jadi tambah bingung ngeliat aku kaya orang bego kehilangan hati gitu *so sorry for making trouble yaa ndog* aku masih gak ngerti kenapa aku bisa kaya gini ya? Belum sadar.
Dan akirnya Dwi sama pacarnya pun pulang, aku relakan mereka, pokoknya makasi banget atas waktunya, dan maaf banget uda merepotkan mereka. Mereka pergi, aku masih duduk diem gak jelas. Antara bego, sakit, dan malu. Kenapa sih?? Dan ini aib, aku pergi ke toilet, nangis disana. Hahahha sumpah ini malu-maluin banget, ngapain coba? Aku pengen shalat, curhat ke Allah, tapi lagi gak bisa. Duh sumpah! nyesek banget. Ini nyata atau nggak sih? Kok kaya sinetron begini ya? Eh atau ini drama? Atau film? Entahlah, tapi setelah ngluarin air mata, otak normalku jadi jalan lagi. Jadi pengen ketawa sendiri, kenapa aku bisa dramatis melankolis hiperbola gitu ya? Sumpah bego banget. Malu aku pake acara sms temen itu segala.


Dan aku keliling jalan-jalan sambil nunggu bus datang. Jam 9 aku jalan ke parkiran, tempat bus aneka jaya tercinta biasa mangkal. Banyak banget yang nunggu disitu, jangan-jangan mereka mau naik aneka jaya juga. Mana cukup?? Akirnya aku Tanya-tanya ke beberapa orang disitu, ternyata gak banyak yang mau ke pacitan. Aku setia nunggu disitu. Duduk, berdiri, ngesot, ndlosor, nongkrong, segala macam pose deh. Dan makin malam makin rame tuh terminal. Uda kaya mau lebaran syawal aja lho, rame banget, sampe2 tempat parker bus isinya manusia. Mereka udah gak sabar nunggu bus di jalur lagi, takut gak kebagian tempat, sampe-sampe petugas kewalahan ngatur calon penumpang itu.


Dan taraaaaaa... jam 10 malem, bus yang aku tunggu-tunggu, aneka jaya, dateng. Tapi... what??? Kok di dalem uda banyak penumpangnya gitu?? Wes gak tau lagi deh nasibku gimana kalo gak dapet tempat duduk. Bus berhenti, pintu dibuka, penumpang nyerbu keroyokan, aku gak mau kalah, hap hap yak! Aku bisa masuk. Penuh. Gak ada tempat duduk tersisa, yg keliatan kosng ternyata uda dipesen. Sampe akirnya aku dipanggil sama bapak-bapak paruh baya disuruh duduk di kursinya, bapak itu pindah duduk sama temenya di depan. Alhamdulillah, masih ada orang baik ke aku *meski aku habis jahat ke orang* finally, aku bisa duduk, dan perjalanan ke kampung halaman pun berlanjut. Alhamdulillahirabbila’alamin

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting