Indrarinda IX - Benar Mas Indra dan Arinda kecil

2 bulan setelah perpisahan dengan mas Indra…
Aku baru keluar dari ruang ujian ketika aku menerima sms dari mama.
“Mbak Arin, mama dan papa di Sby. Sekarang perjalanan menuju kost mbak Arin. Mbah Harti sakit, dirawat di RS. Dr. sutomo.”
Ya Tuhan, mbah Harti sakit? Dirawat di Surabaya? Bukannya setelah dari rumah mbah uti, beliau kembali ke Kalimantan? Kenapa sekarang justru dirawat di kota ini? Ah entahlah. Aku segera bergegas cepat pulang ke kost. Ternyata mama dan papa lebih dulu sampai disana.
“Lama banget sih mbak?” Mama mengeluh.
“Ya namanya juga jalan kaki ma.”
“Ya sudah, ayok buruan ganti baju gih, kita ke rumah sakit, jenguk mbah Harti.” Perintah mama buru-buru.
“Lho? Arinda ikut?” Tanyaku.
“Ya iya sayaang… masa mama papa yang jauh aja jenguk, kamu yang disini malah gak jenguk.”
“Yaaah….” Aku malas.
“Pokoknya kali ini harus ikut, nggak pake alesan yang aneh.” Mama memaksa. Apa boleh buat? Aku ikut.
Setelah aku menaruh tas dan berganti pakaian, kami meluncur ke Rumah Sakit. Menurut cerita mama, mbah Harti kena stroke dan bude Heti meminta pakde Arif membawa mbah Harti ke Surabaya saja untuk mendapatkan pengobatan yang lebih terjamin. Ini kali pertama aku akan bertemu dengan keluarga mbah Harti. Dengan bude Heti yang sering diceritakan mama. Sepanjang jalan mama terus menghubungi bude Heti. Dan kami pun sampai di rumah sakit. Di lobi rumah sakit mama bertemu seseorang dan segera memeluknya. Wanita paruh baya berperawakan kecil. Berkulit sawo matang. Ternyata itu bude Heti.
Mama menunjukkanku pada bude Heti. Dengan santun aku mencium tangan bude Heti. Bude Heti tersenyum melihatku, sepertinya gembira. Dan bude Heti pun dengan sigap memelukku.
“Ya Allah… sudah besar sekali kamu Nduk…” kata bude Heti takjub.
Aku hanya tersenyum. Masih asing. Karena ini baru pertama kali.
“Ndak ngira bisa lihat kamu lagi, nduk. Sudah tumbuh jadi gadis pula…” katanya lagi, tidak bisa membendung keceriaannya. Kemudian pipiku diciumi oleh bude Heti.
Papa pun datang dari halaman parkir, kami pun segera menuju kamar tempat mbah Harti dirawat.
“Mas Arif disini juga mbak?” Tanya Papa menanyakan pakde Arif, anak pertama bude Heti.
“Ndak, cuma istrinya. Baru saja pulang kerumah, istirahat.” Jawab bude Heti.
“Yang jagain bude Harti siapa mbak?” Kali ini mama yang bertanya.
“Ganti aku yang jaga, ditemani Indra.” Jawab bude lagi.
Indra? Anaknya? Yang diceritakan itu? Heeem… mungkin hari ini aku akan tahu siapa sosok Indra itu sebenarnya.
Kami sampai di kamar tempat mbah Harti dirawat. Kami tidak masuk bersamaan, tapi bergantian. Aku duduk di kursi depan kamar bersama Bude Heti. Mama dan papa masuk, bersamaan dengan keluarnya seseorang.
Deg! Kaget aku melihat orang yang keluar dari kamar itu. Aku mengenalnya. Aku tahu siapa dia. Tidak asing dengan wajahnya. Begitu juga dia. Sepertinya dia kaget melihatku ada di depannya sekarang. Kami saling pandang. Diam. Tidak tahu harus berkata apa.
“Dra… ini Arinda nak, Arinda kecil, masih inget?” Bude Heti angkat bicara.
Aku dan dia masih diam. Kami salah tingkah. Tidak tahu harus berkata apa. Saling memandang pun tidak berani. Bude Heti bingung.
“Kok diem-dieman?” Tanya bude Heti tak mengerti apa yang sebenarnya.
Kami masih diam.
“Indra… kasih salam donk sama Arinda. Sudah 18 tahun lho kalian ndak ketemu. Sudah lupa ya?” Pinta bude Heti.
Ya. Akhirnya aku bertemu dengan Indra. Anak bude Heti. Indra yang diceritakan oleh mbah Harti. Indra yang mama bilang akan menjadi istimewa. Dan dia tak lain adalah mas Indra. Mas Indra yang aku kenal lewat kegiatan field trip 2 bulan yang lalu, mas Indra yang selama kurang lebih 4 hari bersamaku di pulau Bali. Mas Indra tour leader kami. Mas Indra yang kutabrak tempo hari di kampus. Mas Indra yang hilang begitu saja setelah urusan kami selama field trip selesai.
Seperti sudah membuat kesepakatan. Mas Indra dan aku seperti punya maksud yang sama. Kami bersalaman. Pura-pura baru pertama kali bertemu setelah sekian lama.
“Akhirnya kalian bisa ketemu lagi. Seneng sekali rasanya.” Bude Heti sumringah. “Kamu masih ingat Arinda kan Dra?”
“Masih kok Bu.” Jawab mas Indra singkat.
Benarkah mas Indra masih ingat? Tapi aku tidak. Mungkin aku terlalu kecil waktu itu, belum bisa mengingat apa yang terjadi saat itu.
“Mungkin Arinda ndak ingat ya, soalnya waktu itu Arinda masih kecil. Kalian itu waktu kecil ndak bisa pisah. Sudah seperti kakak-adik. Indra itu sayaang sekali sama Arinda. Waktu pisah sama Arinda, sedihnya Indra gak sembuh-sembuh. Indra minta adik cewek seperti Arinda. Tapi Allah ndak bisa memberi, padahal bude juga pengen punya anak lagi, pengen punya perempuan. Dan ya begini, sampai sekarang Indra sendiri, ndak punya saudara kandung.” Tutur bude Heti. Mas Indra berdiri tertunduk di samping bude Heti.
Mama dan papa keluar. Dan menyuruhku masuk, bersama mas Indra.
Kulihat mbah Harti terbujur lemah di ranjang rumah sakit, tubuh tuanya memucat. Diam, tak bergerak. Mas Indra menggandeng tanganku, membawaku mendekat pada mbah Harti.
“Eyang… ini Arinda datang.” Bisik mas Indra pelan pada neneknya.
Mbah Harti membuka mata pelan. Aku jadi merinding melihatnya. Aku mendekat, kucium tangan mbah Harti.
“Mbah Harti… ini Arinda.” Kataku pelan.
Mbah Harti tersenyum, mengarahkan pandangannya padaku. Aku ikut tersenyum. Meski dalam hati ini entah mengapa rasanya ikut bersedih melihat keadaan mbah Harti. Aku tidak berani bicara banyak. Tak berani mengajak bicara mbah Harti.
“Indra… Arinda…” Mbah Harti memanggil kami pelan sekali. Kami mendekat.
“Kenapa Eyang?” Tanya mas Indra.
Mbah Harti memandang kami bergantian.
“Kalian sudah bertemu lagi sekarang. Yang akur ya…” Mbah Harti bicara pelan, sulit sekali. Terbata.
“Eyang nggak usah khawatir, Indra pasti baik-baik sama Arinda.” Mas Indra menenangkan.
“Eyang ingin kalian jadi keluarga….” Lanjut mbah Harti.
Aku mengernyitkan dahi. Keluarga? Aku dan mas Indra saling pandang.
“Eyaang….” Kata mas Indra pelan, sembari mengelus lengan kurus mbah Harti.
“Menikahlah…” Kata mbah Harti kemudian.
Deg! Aku kaget, begitu pula mas Indra. Kami berpandangan, bingung. Tak tau harus berkata apa. Keringat dingin mengucur di wajahku. Melihat mbah Harti terbujur lemah begitu aku tak tega. Mbah Harti memandang kami, meneteskan air mata.
Hening.
“Iya Eyang… Indra akan menikah dengan Arinda.”
Apa? Apa yang dikatakan mas Indra baru saja? Aku makin tak menegerti. Mas Indra memandangku sayu. Memohon sesuatu. Aku kaget. Cepat mas Indra meraih tangan kiriku, menggenggamnya dengan tangan kanan. Erat.
Tak lama kami pun keluar. Tanpa ada kata-kata lebih lanjut dari mas Indra. Kami diam sepanjang waktu. Tapi bisa kulihat jelas apa yang dirasakan mas Indra. Bingung.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting