Indrarinda VIII - Pulau Dewata Berakhir

Hari terakhir di Bali…
Pagi ini tidak seperti kemarin. Aku tidak ke taman hotel lagi untuk melihat sun rise. Pagi ini kugunakan untuk packing. Hari ini kami harus check out dari hotel. Aku tidak ingat sampai jam berapa aku di kuta, dn jam berapa pula aku tiba di hotel? Yang jelas pagi ini aku bangun, aku masih utuh, di kamar hotel bersama Mira, Winda, dan Indah. Selesai mengemasi barang, aku bersih diri. Waktu sarapan tiba, kami segera menuju ruang makan. Sampai disana aku mengambil makanan. Menyusul Alfin dan Farhan di belakangku.
“Ehm. Siapa ya yang semalem dibopong2 dari kuta samapi kamar hotel…” Alfin menarik rambutku. Apa maksudnya?
“Siapa Fin?” Tanyaku.
“Kok malah nanya?” Balas Alfin.
“Kan aku nggak tau.”
“Ciee si munyuuk…” Farhan tak tanggung-tanggung, dia memukul kepalaku dengan sendok. Ada apa ini?
“Ehm. Mas Indra mana Rin?” Winda datang menyeletuk, tidak menanyakan mas Indra, tapi lebih ke maksud menggodaku.
Tak kupedulikan apa yang dilakukan beberapa teman ini. Aku bingung, ada apa semalam? Selesai mengambil makanan aku menuju meja di dekat jendela, menyusul Mira disana. Tak tahunya Farhan, Alfin dan Winda juga mengikutiku.
“Kamu semalem mabok ya Rin?” Todong Mira tiba-tiba.
“Mabok? Enggak…” Jawabku.
“Yakin kamu nyuk?” Farhan curiga.
“Iyalah.” Jawabku mantab.
“Kamu inget nggak jam berapa kita sampe di hotel habis dari kuta semalem?” Ganti Alfin yang bertanya.
Ada apa sih ini? Kenapa teman-teman main acara interogasi begini?
“Nggak inget. Aku ngantuk banget.” Jawabku sekenanya.
Teman-teman tertawa terbahak-bahak. Aku makin tak mengerti.
“Jelas-jelas dari kuta sampe hotel kamu tuh tidur terus, nggak bangun sama sekali, kok bisa bilang ngantuk.” Jelas Mira setelah suasana kembali normal.
“Tidur? Masa sih?” Aku masih tak mengerti.
“Malah nggak inget nih bocah, kamu kerasukan penunggunya kuta apa Rin?” Alfin meledek.
“Inget lagi deh Rin, semalam kamu ngapain aja di kuta? Sebelum pulang kamu ngapain?” Winda membantuku mengingat.
“Terakhir duduk di pinggir pantai, nungguin kalian lama banget, trus aku ngantuk… habis itu…. “ Aku mencoba mengingat. Hanya samapi itu, selebihnya aku tak ingat apapun.
“Sama siapa?” Tanya Alfin singkat.
“Mas Indra.” Jawabku enteng.
“Naaaahhhhhh….” Semua bicara serempak. Kemudian tertawa lagi.
“Kenapa?” Aku melongo melihat tingkah keempat manusia ini. Seperti orang bodoh.
“Kamu ngerti nggak sih nyuk?” Farhan bertanya.
“Apa sih, rek? Ada apa sama aku?” Aku mulai bingung.
“Eh sumpah, kebangetan ya kamu tuh kalo udah tidur nyuk. Kasihan. Tapi malu-maluin juga.” Mira membuatku semakin bingung dengan pernyataanya.
“Nyuk, tau nggak? Semalam itu kita balik ke parkiran jam setengah 2 dini hari. Pas kita balik nyari kamu, ternyata kamu tuh uda PW tidur di pangkuannya mas Indra di pinggir pantai….” Farhan memulai cerita. Apa? Ah Farhan bohong nih.
“Hah?! Ah bohong kamu Han… masa gitu?” Aku tak percaya.
“sumpah! Nih saksi hidupnya, Mira, Alfin, sama Indah. Masa aku bohong? Ya kalo tidur kamu tuh alim, lha kamu tidurnya uda kaya tidur di pangkuan emak lu gitu, PW banget dip aha mas Indra. Kasihan tau. Malu-maluin pula.” Lanjut Farhan mantab.
Kalau itu benar, oooh malunya.
“Parahnya lagi, kamu tuh nggak bisa di bangunin tau. Sampe-sampe kamu dibopong sama mas Indra masuk mobil.” Mira melanjutkan.
“Apa?! Dibopong? Digendong gitu?” Aku kaget. Sumpah ini malu-maluin.
“Ya masa diseret? Kasihan amat anaknya orang. Kata mas Indra, kasihan kalo kamu dipaksa bangun. Gitu.” Tambah Alfin.
“Cieeee…. Arinda…. “ Winda dan Mira meledekku.
Aku malu. Hanya bisa diam.
“Aku saksi terakhir. Mas Indra gendong kamu sampe kamar loh Riiin.” Winda yang tak ikut ke kuta malam itu pun tahu. Ternyata aku juga diantar sampai ke kamar. Oh Tuhaan.
“Aduh Reeeekk, malu tauuu…” Kalut.
Mereka malah tertawa.
“Makanya nyuk, tidur tuh liat-liat tempat. Liat-liat suasana. Heran deh aku sama kamu, nggak berubah dari dulu. Kaya koala.” Farhan menasehati.
“Ya mana aku tahu Han??” Ah sudahlah, sudah berakhir.
“Eh mas Indra, mas Indra tuh, panggil… panggil…” Kata Mira tiba-tiba.
Terlihat mas Indra menuju ke meja saji. Pasti bakal melewati meja kami. Oh jangaaann. Please. Aku malu.
“Jangan… jangan… pliss… jangan lah rek. Aku maluu…” Aku memohon kasihan.
“Mas Indraaa…!” Alfin benar benar memanggilnya. Oh no! aku tak berani melihat kearah mas Indra. Mukaku merah, menahan malu.
“Wueeee… liatin, mukanya Arinda merah…” Shit. Winda tahu perubahan air mukaku.
Mereka tertawa lagi. Aku beranikan melihat kearah mas Indra. Dia hanya tersenyum melihat kami, dan segera pergi dari situ, tidak menghampiri kami. Syukurlah, aku lega. Setidaknya mereka gagal menjadikanku bahan guyonan lebih lanjut.
Ini hari terakhir kami di Bali. Pagi hari setelah sarapan kami check out dari hotel. Tapi kami masih mengunjungi beberapa objek lagi. Hari ini aku menjauhi mas Indra. Aku malu dengan apa yang terjadi semalam. Tapi mas Indra sepertinya cuek saja. Ya mungkin karna dia sudah biasa menghadapi customer yang merepotkan seperti aku. Di dalam bus aku melamun terus. Entah apa yang kulamunkan.
“Nyuk, knapa kamu? Ngelamun apa sih?” Tanya Farhan.
“Nggak kok.”
“Marah sama aku?”
“Nggak lah.”
“Ngelamunin mas Indra yaaa?”
“Nggak Farhaan…”
Farhan tertawa.
“Cerita semalem itu beneran lho Nyuk. Aku nggak bohong.”
“Aduuh… aku malu tauk Han.”
“Ya kamu, kebiasaan, tidur nggak tau aturan.”
“Ya aku udah capek banget semalem, ngantuk berat. Mana tau kalo jadi kaya gitu ceritanya.”
“Bukan masalah ngantuk atau tidurnya Rin, yang bikin kita heran tuh kamunya yang gak bisa dibangunin. Kita sempet panic, dikira kamu pingsan. Ternyata tidur.”
“Kalian kurang kenceng banguninya.”
“Niat kita mau gitu, tapi mas Indra nglarang. Katanya kasihan kamunya.”
“Ah masa gitu.”
“Swear deh Rin.”
“Mas Indra gendong aku ke mobil? Trus sampe hotel juga gitu?”
“He’em.”
“Oh God… mimpi apa aku bisa kejadian kaya gitu?”
“So sweet loh Nyuk.”
“Maksud loe?”
“Iya, mas Indra sabar banget. Keren, kalo kata Mira, Indah sama Winda kalian kaya adegan-adegan di drama korea. Hahahhaa.”
Farhan tertawa terbahak-bahak. Aku melengos. Cemberut.
Kami makan siang di Bedugul, di pinggir danau. Sehabis itu aku diajak Farhan naik boat berkeliling danau bersama Mira, Winda, Indah dan Alfin. Aku tak melihat sosok mas Indra selama di Bedugul. Kemana dia? Ah mungkin ada urusan lain. Kuabaikan.
Sehabis dari Bedugul, kami melanjutkan perjalanan menuju objek wisata terakhir, Tanah Lot, lagi lagi disana kami akan melihat matahari terbenam, menghabiskan senja terakhir di Bali. Sampai disana suasana ramai sekali, tidak sperti dahulu ketika siang hari aku kemari. Apa mungkin mereka juga mau menikmati keindahan sunset di tanah lot?. Aku berjalan membuntuti Farhan dan Winda, takut hilang. Belum sampai ke area pantai, aku dikejutkan dengan seseorang berkalung ular phyton raksasa di pinggir jalan. Memamerkan ular itu. Aku kaget, takut melihat ular, berteriak dan gelap.
Saat aku sadar, aku sudah di dalam bus. Terbaring di kursi. Ada Farhan, Winda, dan mas Indra. Aku bingung, kenapa denganku?
“Riin…” panggil Winda pelan, sambil memegang tanganku.
“Aku tadi kenapa Win?” Tanyaku. Aku beranjak duduk. Mas Indra menyanggaku.
“Kamu pingsan Nyuuuk. Kali ini pingsan beneran, nggak tidur.” Kata Farhan.
“Pingsan?” Benarkah aku pingsan?
“Iya Arinda… tadi kamu liat ular, trus kaget, jatuh pingsan deh.” Terang Winda.
“Oh… maaf ya ngerepotin lagi.” Kataku meminta maaf.
Semua mengangguk, tersenyum. Aku berulah lagi. Tak lama kemudian Farhan dan Winda meluncur ke pantai, menyusul yang lainnya. Aku tak mau masuk. Akhirnya mas Indra yang menemaniku di bus. Aku dan mas Indra keluar dari bus, duduk di bangku di tempat parkir. Melihat jajaran bus pariwisata. Mas Indra memberiku minuman hangat. Menenangkan aku yang shock karena melihat ular. Aku pobia ular. Mas Indra tak banyak bicara kali ini. Hanya tiap beberapa menit dia pasti menanyakan apa yang kurasakan.
“Mas Indra…” Panggilku.
“Ya Rin?”
“Maaf ya soal di kuta semalam.” Aku memberanikan diri mengungkapnya.
“Kenapa?”
“Yaa… uda ngerepotin mas Indra, nyusahin orang. Makasih ya mas.”
“Oh, nggak apa-apa kali, Rin.”
“Tapi aku tetep ngerasa nggak enak sama mas Indra. Harusnya mas Indra bangunin aku waktu aku tidur itu.”
“Aku yang minta maaf Rin, uda lancang main gendong anak perempuan orang.”
“Yah, gara-gara aku tidurnya kaya kebo sih mas. Hehe.”
Kami tertawa.
“Makasih ya Rin.” Kata mas Indra tiba-tiba.
“Makasih untuk apa?”
“Selama di Bali ini, selama kenal kamu beberapa hari ini, aku jadi kaya nemuin adik kecilku dulu.”
“Adik? Katanya mas Indra nggak punya adik?”
“Iya, aku emang anak tunggal. Tapi waktu kecil aku punya adik.”
“Trus adik mas Indra itu kemana?”
“Nggak tahu. Pisah.”
“Oh. Emang dia kaya aku ya mas? Hehe.”
“Mungkin kalau gede ya kaya kamu itu, tapi aku pisahnya waktu masih kecil sih, jadi nggak tau.”
“Oh gitu….”
Obrolan berhenti. Hari sudah gelap. Matahari pasti sudah tenggelam. Sedihnya aku tak bisa melihat matahari tenggelam di sini. Aku jadi mengutuk diriku sendiri, kenapa aku pobia ular? Kenapa aku harus melihat ular itu?.
Rombongan datang. Dan perjalanan pun dilanjutkan, kembali ke tanah jawa. Sesudah makan malam, aku tidak melihat mas Indra. Dia menghilang entah kemana. Pindah bus atau kemana. Ketika pagi, kami sampai di Surabaya pun aku tak melihat sosok mas Indra. Ketika kru dari travel agent mengucapkan salam perpisahan pun, mas Indra juga tidak kelihatan. Jujur, aku mencarinya. Tak ada no.ponsel yang bisa dihubungi. Tak ada kata perpisahan. Ucapan selamat tinggal pun tidak. Aku kehilangan jejak mas Indra.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting