Yang Tertinggal dari Tragedi Air Mata di Bus

Kamis, 15 September 2011

"Ndhuk... Aku weruh olehmu nangis, nganti bis ilang saka dalan ngarep terminal... Matur nuwun anakku... Saben ngeterne kowe, atiku seneng, trenyuh, muga2 Gusti Allah tansah ngayomi, paring pituduh, paring panjang umur sing barokah... Ndhuk Wi... Sholate sing apik ya!"

Sampai detik ini pun, air mataku masi sanggup mengalir dari sudut mata tiap kali buka sms bapak itu di folder save messages di ponselku. yah, cuma sms itu yg tertinggal dari kejadian seminggu yg lalu, tepatnya hari rabu, tanggal 7 september 2011, waktu aku diantar bapak ke terminal untuk balik ke perantauan. Hari itu, 3 hari sebelum hari ulang tahun bapak yg ke-46. Hari itu, aku nggak tahu kenapa aku bisa refleks nangis bombay di bus setelah bapak turun dari bus. Hari itu pun juga nggak seperti biasanya, bapak mengantarku sampai ke dalam bus. Waktu bus mulai berangkat, bapak menunggu di pinggir jalan, aku bermaksud 'say goodbye' pada bapak, tapi nggak sanggup, aku nangis duluan, sedih liat bapak.
Dan hari ini, 15 september 2011, 5 hari setelah ulang tahun bapak. Betapa bodohnya aku, aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada bapak, memang bagi sebagian orang itu nggak penting tapi aku yakin bapak pasti bahagia kalau mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari anaknya.
Nggak ada yg bisa aku ungkapkan sekarang, yg tahu gimana rasanya cuma hatiku...
Bapak, ayah juara satu seluruh dunia.

Kepada: Hati Itu

Dearest nathan...
Nat, apa kabar? aku tahu kamu pasti akan menjawab 'baik' dan berbalik menanyakan bagaimana kabarku, meski aku tak yakin kamu benar-benar ingin tahu kabarku atau sekedar berbasa-basi. Dan aku tak pernah tahu, apakah keadaanmu yg sebenarnya sebaik jawaban 'baik' yg kamu lontarkan itu. seringkali aku tak yakin Nat, aku tak yakin kamu baik-baik saja, aku tak yakin kamu menjawab sesuai kenyataan, aku sering menduga kamu mengatakan itu hanya karna kamu tak ingin orang lain tak terkecuali aku tahu keadaanmu yang sebenarnya. Kamu menjawab begitu karna kamu ingin supaya aku tak mengkhawatirkanmu kan? Gak bisa Nat... Tahukah kamu Nat? aku lebih sering memikirkanmu daripada lelaki yg sedang menjalin hubungan denganku, aku lebih mengkhawatirkan keadaanmu daripada keadaanku sendiri. Aku cuma ingin kamu tahu kok Nat, aku gak minta balasan, gak minta perhatian.
Nat... sebentar lagi tanggal 4 november, kamu inget ada apa pada tanggal itu tahun lalu? Aku gak akan lupa nat, betapa malam itu jadi malam yang mengejutkan buatku. lewat pesan singkat itu, kamu mengutarakan maksudmu, memintaku untuk mengisi ruang kosong di hatimu, aku merasakan ketulusan yang gak pernah aku temukan sebelumnya, ketulusan seorang laki-laki diawal usia 20an pada lawan jenisnya. Aku baru mendapatkanya dari kamu, Nat. Dan tanpa ragu aku mengiyakan permintaanmu. Aku bahagia banget, perasaanku terbalas. Terimakasih Nathan.
Maaf Nat. Aku bukan bermaksud untuk membuka lagi sakit hatimu, aku ingin minta maaf. Maaf yang resmi. Atas semua perlakuanku yang aku kasih ke kamu itu. Aku menyakiti kamu, memporak porandakan kebahagiaanmu, menghancurkan semangatmu. Maafkan aku Nathan. Aku emang gak tau rasa sakit yg kamu alami karna aku. Karna mataku sudah buta kala itu, begitu juga hatiku yg sudah mati rasa. Kalau ada hal yg bisa menebus dosa besarku ke kamu, apa pun itu aku bakal berusaha untuk melakukan, mencari, mendapatkannya. Untuk kamu, Nat. Sebagai penebus dosaku.
Nathan, jujur aku pengen banget tau keadaanmu saat ini. Apa kamu baik2 aja? Apa kamu masi menjadi pecinta kopi dan rokok? Apa makanmu selalu terjamin 3x sehari? Apa tidurmu cukup? Bagaimana kuliahmu? Apa kabar IPmu? Kamu masih suka bertualang di waktu senggangmu? Siapa tempatmu berkeluh kesah sekarang? Masihkah kamu menulis puisi? Masihkah kamu suka filsafat? Siapa yg mengingatkanmu untuk merapikan rambutmu ketika sudah mulai panjang? Siapa yg sering mengucapkan selamat malam menjelang tidur sekarang? Aku rindu masa2 itu Nat... Aku merindukanmu, aku mengkhawatirkanmu... Apa kamu masih bisa bernafas seperti biasa? Apakah kamu masi berjalan seperti biasa? Kamu masih hidup kan, Nat?
Mungkin aku tak pernah mendoakanmu sehabis aku menjalankan kewajibanku padaNya, tapi tiap kali aku ingat kamu, hati ini gak pernah berhenti mendoakanmu Nathan. Aku minta Tuhan menjagamu, membimbingmu, menemanimu selalu. Aku gak mau kamu hilang arah, aku gak ingin kamu goyah.
Kamu boleh saja melupakanku, tapi jangan lupakan pemberi hidupmu, jangan lupakan Tuhanmu. Aku berterimakasih pada Tuhan, karna takdirNya aku bisa mengenalmu, Nathan.

Tak Sempat


Dia Nampak kurus dibanding sebulan yang lalu, dimana kami dipertemukan di sebuah meja antik di sudut kafe klasik itu.
“Selamat, mas.” Aku mengulurkan tangan, mas Lintang meraihnya.
“Aku lega, Zaf.” Aku tak bisa berkata-kata, kulemparkan senyum.
Yang aku khawatirkan terjadi. Mas Lintang kembali ke kota asalnya. Jauh ke ujung pulau ini. Mas Lintang pulang sementara.
Aku menerka. Mungkin, mas Lintang mengabdi di kampung halamannya sambil menunggu waktu pengukuhan gelarnya tiba.
Mendekati hari pengukuhan, mas Lintang kembali ke kota ini. Lagi-lagi tanpa mengabariku. Tentu saja, aku bukan siapa-siapa.
Hari pengukuhan. Mas Lintang resmi lulus. Butuh waktu lima tahun bagi mas Lintang untuk mendapatkan gelar ini. Aku turut bahagia.
Ingin sekali aku menyaksikan euphoria kelulusan mas Lintang, melihat senyum sumringah di sana. Tapi... siapa aku? Sangat tidak mungkin aku untuk hadir di sana. Dengan keadaan jarum infus tertusuk di pembuluh, dan selang oksigen yang sebentar-sebentar dibongkar pasang. Nekat. Malam ini aku menguatkan jemariku mengetik pesan untuk mas Lintang. Mengucapkan selamat atas kelulusannya.
Menjelang tidur, jika aku ingat mas Lintang aku selalu begini. Apakah aku akan menjadi seperti pemeran utama wanita dalam film ‘Sunny’ itu? Ah, kurasa tidak mungkin. Aku sudah berlebihan.
Esok hari. Aku tahu hari ini mas Lintang pergi. Bukan Cuma sementara, bukan juga selamanya, tapi mas Lintang benar-benar pergi dari kota ini. Dan hampa. Tidak ada lagi seorang Lintang Mahawira di kota ini. Aku berlebihan perihal rasa ini. Rasanya memang ada yang hilang.
Mas Lintang masih hidup. Nomor ponselnya masih kusimpan. Akun facebooknya masih aktif. Tapi kenapa rasanya jauh sekali? Kalau memang kangen, aku bisa saja mengirim pesan singkat padanya, atau kalau kurang bisa menelepon. Tapi sayang, ketakutanku begitu kuat, mengalahkan segalanya. Tak berani bertindak layaknya orang yang benar-benar merasakan rindu.
Aku hanya menguntit mas Lintang dari akun facebooknya. Setiap hari kutengok, memastikan keadaanya baik-baik saja. Tanpa imbal balik. Aku tahu ini sia-sia, memikirkan sesuatu yang tak jelas, semu. Diam berkelanjutan. Dan mungkin akan tiba saatnya ini akan menjadi sakit. Tapi aku menikmatinya. Menikmati hingar binger perasaan terpendam. Merasakan keindahan diam.
Hari ulang tahunku. Dua bulan setelah perpisahan dengan mas Lintang. Kurayakan di ranjang rumah sakit. Tergolek lemah. Tahun lalu aku tiup lilin ditemani mas Lintang. Hanya mas Lintang, tidak dengan orang tuaku, maupun teman-temanku. Aku mengingat-ingat lagi. Sepulang dari tiup lilin tiba-tiba aku menerima sms dari teman dekat mas Lintang. ‘apa Lintang istimewa?’ begitu isinya. Ah mas Lintang... apa kabar mas disana? Di perantauan, mengadu nasib dengan dunia baru, lingkungan baru. Ingat aku ya, mas Lintang.
“Dik... cepet sehat donk, rumah sepi banget kalo kamu gak ada.” Kata mama sambil mengelus kepalaku. Aku tersenyum.
Ponselku berdering. Ada telepon. Kak Hilmi yang mengangkat telepon, dan keluar dari kamar tanpa aku tahu siapa yang menelepon. Padahal itu pasti telepon untukku. Agak lama Kak Hilmi berbincang. Kemudian Kak Hilmi masuk dan menyodorkan ponsel ke depan mataku. Satu pesan. Aku kenal betul nama pengirimnya.
From: Mas Lintang
‘kurang dari 24 jam, aku pastikan aku ada di hadapan Zaf. Dan Zaf bisa ungkap semuanya’
Aku menatap Kak Hilmi penuh Tanya.
“Ini nyata, Zaf. Kakak tau semuanya, sayang.” Oh Tuhaan... aku malu.
Kak Hilmi membelai rambutku, air mukanya berubah.
“Zaf, janji ya sama kakak... kamu harus jadi pemenang untuk hidupmu.”
Aku tersenyum semampuku. Tiba-tiba aku merasa trenyuh melihat kak Hilmi. Tidak biasanya kak Hilmi berekspresi seperti itu. Dan malam ini, aku hanya ingin tidur. Tidur sedamai-damainya. Semoga mala mini menjadi malam terakhir aku merasakan sakit.
Mama, papa, kak Hilmi... Zaf janji, Zaf gak akan merepotkan kalian lagi. Zaf pasti kuat.
Rasanya aku tak perlu mengungkapkan apa-apa jika besok mas Lintang benar-benar ada di hadapanku. Karna kurasa semua sudah jelas.
***
Di tempat lain...
Di bagian dalam kereta, di salah satu gerbong, di dekat jendela. Lintang Mahawira duduk di sana. Termenung. Kereta terus melaju. Membawa Lintang menuju kota itu, kota tempat tinggal Zaf.


Sebenarnya bukan semata-mata untuk Zaf dia pergi. Lintang bermaksud menghadiri pernikahan Alif, kawannya. Lintang menelepon Zaf bermaksud sekedar mengabari bahwa ia akan datang ke kota itu. Siapa tahu dia bisa bertemu Zaf dan melepas rindunya. Mendengar bukan Zaf sendiri yang mengangkat telepon darinya, Lintang sempat ragu. Namun tak lama berselang, lidahnya berubah kelu.
Zafina. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang. Bukan lagi pernikahan Alif, bukan pula teman-temannya. Hilmi telah menguak semuanya pada Lintang. Pernikahan Alif bukan lagi tujuan utamanya. Tapi untuk Zaf. Untuk Zaf dia pergi.
Sekitar empat jam lagi Lintang akan sampai di kota itu. Ponsel bordering. Ada pesan. Segera Lintang membukanya.
From: Zaf
‘Lintang, Zafina sudah dipanggil oleh Tuhan. Maafkan salah dan khilaf Zaf selama hidup, ikhlaskan dia. (Hilmi)’
Kaget. Lintang lemas. Pikirannya kalut, lidahnya kelu, hatinya bergetar.
Dalam kekalutannya, akhirnya air mata pun mengalir. Beberapa pasang mata pun memperhatikannya. Lintang tak peduli. Lintang tenggelam dalam duka kepergian Zaf.
Tiba-tiba kereta terasa berguncang, disusul suara ledakkan. Guncangan hebat mengagetkan seisi kereta.teriakan bergemuruh. Ricuh. Kacai. Dan hancur.
Beberapa waktu kemudian. Hampir semua media elektronik menyiarkan berita yang sama: kecelakaan KA * jurusan kota * - *. Lintang disana.
Korban kecelakaan KA *
....
24. LINTANG MAHAWIRA
...

“...kau tak sempat tanyakan aku, cintakah aku padamu?...”

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting