Indrarinda VI - Pulau Dewata I

Pagi hari kami sampai di pulau Bali. Acara dimulai dari makan pagi di daerah Tabanan, dilanjutkan ke Denpasar untuk check in di hotel, selanjutnya acara kunjung mengunjungi beberapa objek wisata pun dilaksanakan.
Hari itu kami mengunjungi beberapa lembaga sebagai acara pokok kegiatan ini. Menjelang sore kami mengunjungi pantai Dreamland, sebagai tujuan terakhir kami di hari pertama. Di sana, teman-teman larut dalam euphoria senja. Mengabadikan momen-momen ceria itu lewat kamera. Berbagai gaya, bermacam ekspresi. Aku hanya mengabadikan beberapa, selebihnya aku memilih duduk di atas pasir, diam. Menikmati senja. Memang benar, pantai ini indah. Aku suka senja. Meski aku dilahirkan ketika fajar. Senja itu ibarat ajakan untuk instropeksi, penghujung hari, apa saja yang sudah kita lakukan hari ini.
Matahari di ujung penglihatanku kini benar-benar sudah lenyap. Aku tidak sadar, aku ditinggal rombongan. Ini gara-gara aku begitu menikmati senja. Oh God… aku segera beranjak pergi menyusul rombongan, lumayan panik. Sampai akhirnya kulihat Farhan berjalan beriringan bersama mas tour leader, wajah mereka panic sepertiku. Sepertinya mereka mencariku.
“Farhaaannn!!” Aku berteriak memanggil Farhan.
Farhan menoleh ke asal suaraku, aku melambaikan tangan. Air mukanya berubah, kesal. Ma situ tersenyum. Aku segera berlari kearah mereka.
“Munyuuuukk! Aku kira kamu diculik bule tauk!” Farhan mengacak-acak rambutku. Aku Cuma bisa nyengir.
“I’m so sorry for making trouble…” Innocent aku meminta maaf.
“Sorry, sorry, nggak cukup. Bayar pajak pencarian ke aku!” Farhan kesal.
“Yaudah, ayo ke bus, sudah ditunggu itu.” Mas itu menggiring kami ke bus.
“Kamu tadi kemana sih? Bisa bisanya makhluk segede kamu ilang gitu, ketinggalan rombongan, ha?” Farhan mulai menginterogasi.
“Duduk di bawah tebing. Liat sunset.” Jawabku enteng.
“Ngapain coba? Itu bukan goa kali Riin… sodara kamu gak disana.”
“Ya tempatnya asik Han….”
“Ya tapi masa kamu gak liat kiat-kita pada balik ke bus apa?””
“Aku nggak liat, aku kan liat sunset.”
“Mata kamu nggak jereng apa liat matahari terus?”
“Enggak.”
“Dasar mata kuda.”
“Kok kamu gitu sih Han? Katanya kamu pawangku?”
“Ya emang kalo pawang trus aku mesti jagain kamu terus gitu, piaraan gak pengertian kamu tuh…”
“Sudah sudah Han, kasihan mbaknya, jangan di marahin terus…” Mas itu menghentikan adu mulut kami. Menyelamatkanku dari omelan Farhan.
Ya begitulah aku dan Farhan, kami sudah jadi teman sejak SMA. Dan tak tahunya ketika kuliah kami jadi satu jurusan lagi. Farhan sudah seperti kakakku. Mama-Papa juga sudah mengenal baik. Dan ternyata jika ditelusuri, Farhan dan aku masih ada hubungan saudara.
“Orang kaya Arinda mah harus digituin mas, bahaya kalo sendirian, suka ilang.” Farhan belum berhenti ternyata.
“Farhan… udah deh.” Aku memonyongkan bibir.
Mas itu akhirnya tertawa. Kami masuk ke bus. Mengakhiri petualangan hari ini, kembali ke hotel untuk beristirahat.

Malam pertama di Bali....
Kuhabiskan malam itu di atap hotel. Disana ada beberapa macam tanaman yang ditanam dalam pot, berjajar rapi, dan sebuah gazebo. Banyak teman yang sudah tidur, banyak pula yang menggunakan free time ini untuk keluar hotel, keliling kota Denpasar, atau ke suatu tempat, sekedar keluar hotel. Aku memilih atap hotel untuk menikmati malam ini. Melihat gemerlap kota Denpasar malam ini.
“Kok malah disini? Nggak tidur, Arinda?” Suatu suara mengagetkanku. Mas itu. Sampai detik ini aku tidak tahu namanya. Tak pernah aku mendengar teman ada yg memanggilnya, tak terkecuali Farhan.
“Eh?” aku terhenyak.
“Bener kan nama kamu Arinda?” Tanya mas itu memastikan.
Aku tersenyum. Mas yang belum terdeteksi namanya itu pun berjalan kearahku. Lalu duduk di gazebo di samping aku duduk.
“Kok nggak tidur? Atau ikut temen-temen yang keluar?” tanya mas itu.
“Nggak ah.”
“Kenapa?”
“Takut pulangnya kemaleman.”
“Nggak biasa pulang malem ya?”
“Iya, takut ngantuk pas jalan-jalan. Ntar ilang lagi kaya tadi.”
Kami tertawa. Kemudian hening.
“Mas ngapain disini?”
“Cari angin.”
“Nggak ikut keluar?”
“Nggak ah. Hemat energy. Besok kan masih banyak kegiatan. Ya kan?”
“Iya sih.”
Lagi-lagi hening.
“Nama mas ini siapa sih? Boleh Arinda tau?” Kuberanikan diri bertanya akhirnya.
“Indra.” Deg. Indra? Spontan aku mengingat mbah Harti dan cucunya yang bernama Indra. Anak bude Heti.
“Lengkapnya?”
“Indra Arsyad.” Aku ingat betul. Tempo hari mbah Harti menyebut nama itu.
“Asli?” Kali ini aku yang tak percaya.
“Asli lah.”
“Yakin?”
“Mau lihat KTP ta?” Mas itu mengulangi kalimatku ketika dia bertanya hal yang sama padaku.
Kami tertawa mengingatnya. Dan terlepas dari cerita mbah Harti, tentang Indra, cucunya. Terlepas dari candaan mama tentang mas Indra. Terlepas dari alibi-alibi aneh ataupun prasangka tak biasa. Aku berkenalan dengan orang bernama Indra. Dan kini, kupanggil dia mas Indra. Karna memang begitu sepantasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting