Aku Tahu, Kamu? #2

“Aku nggak minta kamu untuk mengunjungi aku saja Nan, aku hanya memberi jalan. Diantara teman-teman seperjuangan, kamu yang paling kelihatan menghilang. Kamu nggak pernah muncul di grup, padahal hampir tiap hari kamu online. Nggak pernah menghubungi lebih dulu kalau nggak dihubungi.”
“Kamu tahu nan, kalau kamu mau ke sini. Banyak yang mau nemuin kamu. Teman-teman banyak yang berdomisili disini. Atau kita bisa mengunjungi yang lainnya, Grefi dan Wulan yang sekarang di Mojokerto, Rizal di Sidoarjo, Kita bisa lanjut ke Pasuruan untuk mengunjungi Arina, kita juga bisa main ke Malang, disana ada Yusuf, Anggi, Anwar, Mala, dan aku yakin ada banyak teman kamu lainnya disana...”
“Raka, Raka... dengerin aku, biarkan aku ngomong sekarang... semua udah berubah, kita punya kehidupan masing-masing, urusan kita udah beda-beda. Kamu nggak bisa seenaknya buat rencana seperti itu.”
“Iya, oke, aku minta maaf aku belum bisa mengunjungi kamu dan teman-teman lainnya, tapi jangan kira aku sudah melupakan kalian. Suatu saat aku pasti akan mencari dan mengunjungi kalian, tapi aku belum dapat waktunya. Pertemuan bukan jalan satu-satunya untuk tetap menjalin persahabatan, dunia sudah canggih, nggak pernah ketemu bukan berarti pertemanan putus gitu aja, lagi pula kalau Tuhan belum mentakdirkan kita untuk ketemu, kita juga nggak bisa maksa, Ka....”
Aku membela diri, aku lelah mendengar ocehan Raka yang sedikiti demi sedikit mulai memojokkanku. Aku mulai mendeteksi hal aneh pada diri Raka kali ini. Hari ini memang tidak biasa, Raka membahas diriku. Jika biasanya dia meneleponku lebih dulu untuk membahas perempuan-perempuan di sekitarnya, membicarakan tentang pekerjaannya, membicarakan tentang hobinya, membicarakan tentang kesehariannya tanpa sedikitpun bertanya bagaimana dengan diriku. Kali ini Raka membicarakanku.
“Tapi Nan...” Raka seperti mau menyangkal.
“Raka, kamu ini kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu jadi mengurusi aku? Kemana perempuan-perempuan yang selalu menemani kamu? Kenapa hari ini nggak kamu ceritain ke aku? Kamu sudah taubat? Aku pikir kamu tahu aku, Raka... ternyata Cuma sampai disini kamu tahu?”
“Harusnya aku tahu kenapa kamu menjudge aku seperti tadi, karena disetiap obrolan kita via telepon selama empat tahun ini kamu nggak pernah tanya gimana aku, kamu selalu tanya ‘nan menurutmu gimana?’ ‘nanda, tahu nggak sih’ ‘nan, aku minta pendapat’ selalu gitu kan, Ka? Coba kamu ingat-ingat, pernah nggak kamu tanya aku ‘gimana ceritanya kamu bisa bla bla bla’ ‘kamu ada rencana apa nan?’ atau sekedar ‘kamu baik-baik aja kan nan?’ nggak pernah kan, Ka? Oke, aku memang Cuma teman kamu, Ka, jadi aku nggak berhak menuntut apa-apa. Ternyata semua memang udah berubah ya, Ka... Pertemuan kita yang Cuma dua kali selama empat tahun ini nggak ada artinya ternyata, dan begitu kamu masih mau ngeyel minta aku buat nengokin kamu disana? Aku punya kerjaan lain Ka, prioritasku sekarang beda kayak dulu, aku....”
“Nanda, aku mau menikah.” Dengan tenang Raka memotong pembicaraanku yang penuh emosi. Satu kalimat, dengan suara yang merdu, tenang, aku merindukannya. Tapi... apa yang dia katakan? Menikah? Aku diam, Raka tak bersuara. Telepon masih tersambung.
Hening.
“Raka, kamu... serius?” Suaraku bergetar, memberanikan diri membuka kembali percakapan.
“Iya, Nan... aku udah menemukannya. Kamu benar, aku bertaubat.”
“Kapan?” “Awal tahun depan...”
“Well, selamat ya... akhirnya, kamu mendahuluiku, dasar berandal! Hahaaa” Aku berusaha mencairkan suasana. Melupakan perdebatan panjang dan pembelaan diri yang beberapa saat lalu terjadi padaku dan Raka.
“Hahhahaha... sorry ya, Nan...” Raka tergelak.
Oh, jadi Raka sudah menemukan belahan jiwanya? Pantas saja tidak dia ceritakan padaku. Pasti perempuan itu 180 derajat berbeda dengan perempuan-perempuan berpaham kemewahan yang dia ceritakan padaku selama ini. Semoga.
“Well, kamu serius mau ngajak aku mengunjungi teman-teman kalau aku ke Surabaya, Ka?” Kataku kemudian.
Ya, aku labil. Tak apa, sebelum Raka bergelar pria beristri. Lagi pula dia yang menawari bahkan memaksaku untuk mengunjunginya, mungkin dia punya pikiran yang sama. Bernostalgia sebelum dia menjadi suami orang.
“Of course, Nan. Jadi?”
“Seminggu sebelum puasa, siapkan semuanya. Kita hubungi teman-teman. Tunggu aku di Surabaya ya Ka.”

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting