Aku Tahu, Kamu? #1

“Halo...” Aku mengangkat telepon, itu dari Raka, sahabatku. Dia sedang waras, makanya meneleponku.
“Halo, Nan... lagi ngapain?” Tanya Raka dari seberang. Suaranya renyah, benar, dia sedang waras. Sedang tidak berurusan dengan perempuan-perempuan itu.
“Nelpon.” Jawabku singkat.
“Kamu nggak tanya kabarku, Nan?” I have known, Raka. Kamu akan selalu baik-baik saja. Kecuali jika kamu tidak menghubungiku lebih dari dua bulan. Baru aku akan bertanya bagaimana kabarmu.
“Pasti baik kan? Aku juga baik kok, Ka.” Kemudian aku tertawa, sepihak. Raka diam. Is he okay?
“Ka... Raka... kenapa, hei?” Aku memanggilnya, memastikan dia baik-baik saja.
“Nan, kamu nggak kangen apa sama aku?” Deg! Haruskah aku jawab? Kalau aku boleh bohong, aku akan jawab tidak. Raka, empat tahun setelah kita berfoto bersama di halaman gedung Soetardjo dengan mengenakan toga ketika hari pengukuhan itu, kita hanya bertemu dua kali. Bagaimana mungkin aku tidak kangen? Semuanya begitu cepat brubah setelah hari itu.
“Kangen lah Ka... kenapa sih kamu?” Jawabku, akhirnya. Semoga detak jantungku yang makin cepat ini tidak terdengar oleh Raka disana.
“Hahahahaa...” Kudengar Raka tertawa. Apa-apaan dia? Kenapa dengan bocah ini?
“Nanda... Nanda... aku kangen kamu tauuukk. Kangen pakai banget nget. Balik kampung dong Nan, liburan gitu, terus tengokin aku di sini. Kamu betah banget di Bandung? Ada apa sih di sana? Jangan-jangan kamu udah dipinang orang sunda ya?...” Kalaupun aku balik kampung, apa kamu bakal datang ke kampungku yang notabene masih lima jam perjalanan dari tempatmu berada sekarang, Ka? Pikirku dalam hati.
“Ya kan kamu tahu aku di sini ngapain, Ka... kalaupun benar aku dipinang, kamu pasti jadi salah satu the big five orang yang aku kabari lebih dulu...”
Raka memotong pembicaraan.
“Inget umur, Nan... kamu tuh harusnya sekarang udah nenteng anak kemana-mana, kesana-sini ditemenin suami, nggak kayak sekarang, melancong kemana-mana sendirian. Habis lulus tiba-tiba balik kampung nggak ada kabar, tahun depannya udah di Lombok aja, pas aku tugas di Bandung kamu malah kerja di Surabaya, sekarang pas aku udah menetap di Surabaya kamu malah ngacir ke Bandung. Pakai acara kuliah pula. Nan, sekarang teman-teman seumuran kita udah pada sibuk ngurus keluarga, eh kamu malah sibuk ngurus proyeeek mulu, ngurus kuliah mulu, kenapa nggak dari dulu aja sih kamu kuliahnya?”
Yah... If I could, Ka... aku juga maunya begitu. Kamu emang hobi amnesia deh kalo soal ceritaku.
“Duh, nggak usah bawel deh, Ka. Aku kuliah lagi gini juga ada alasannya kali, berapa lama sih kita nggak ngobrol bareng...”
Belum sampai aku mengutarakan pembelaan diri, Raka memotong lagi.
“Kamu pasti putus asa ya, Nan? Kamu bilang kamu pengen banget ambil program master di Belanda? Eh malah nyasar di Paris, Paris van Java. Hahaha... Nanda... Nanda... Eh tapi kamu belum cerita ke aku lho gimana bisa kamu ikut short course ke Aussie 4 bulan lalu Nan?...”
“Basi ah, udah lama...” Aku bersungut kesal karena perkataan Raka barusan.
“Cieee... ngambek kamu, Nan?”
“Nggak.”
“Jadi?”
“Apa?”
“Kapan kamu mau balik kampung, Nan? Sebentar lagi kan puasaan, kamu balik kan? Atau Lebaran? Habis lebaran kamu ambil cuti kerja aja Nan, sounds cool, huh? Nanti kamu ke Surabaya ya? Atau gimana kalau kita ke Jember? Reunian sama teman-teman Nan... Ya kalau teman-teman nggak bisa, kita bisa nostalgia berdua di Jember.”
Raka mulai bicara sesuatu yang tak jelas juntrungannya, kenapa dia?
“Nggak bisa kali, Ka...”
“Bisa, Nan... pasti bisa. Kamu kerja ngurusin apa sih? Rasanya sibuuuk terus, tapi sibukmu nggak beralasan Nan, bukan alasan mengejar materi, bukan alasan karir, aku tahu itu. Aku tahu paling nggak sebulan sekali kamu masih sempat keluar kota mengunjungi tempat-tempat baru yang belum kamu kunjungi, mengunjungi teman-temanmu, relasimu, dengan teman-teman baru di lingkunganmu sekarang.“ “Aku tahu, setiap akhir minggu kamu masih sempat mengunjungi perpustakaan, atau persewaan buku, atau warung kopi, atau kafe, menghabiskan waktumu disana setengah hari dengan fiksi-fiksi itu. Tapi kamu nggak pernah sedikit pun meluangkan waktu buat teman karibmu, Nan... kamu menghilang dari lingkaran teman-teman seperjuanganmu...”
Raka mengoceh tak jelas, mungkin itu sebuah omelan untukku, aku tidak tahu kenapa begitu. Tapi nada suaranya tak berubah, masih renyah, tidak terdengar ada emosi buruk disana.
“Raka... apa maksud kamu?...”
Raka kembali memotong. Tidak seperti biasanya.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting