Tak Sempat


Dia Nampak kurus dibanding sebulan yang lalu, dimana kami dipertemukan di sebuah meja antik di sudut kafe klasik itu.
“Selamat, mas.” Aku mengulurkan tangan, mas Lintang meraihnya.
“Aku lega, Zaf.” Aku tak bisa berkata-kata, kulemparkan senyum.
Yang aku khawatirkan terjadi. Mas Lintang kembali ke kota asalnya. Jauh ke ujung pulau ini. Mas Lintang pulang sementara.
Aku menerka. Mungkin, mas Lintang mengabdi di kampung halamannya sambil menunggu waktu pengukuhan gelarnya tiba.
Mendekati hari pengukuhan, mas Lintang kembali ke kota ini. Lagi-lagi tanpa mengabariku. Tentu saja, aku bukan siapa-siapa.
Hari pengukuhan. Mas Lintang resmi lulus. Butuh waktu lima tahun bagi mas Lintang untuk mendapatkan gelar ini. Aku turut bahagia.
Ingin sekali aku menyaksikan euphoria kelulusan mas Lintang, melihat senyum sumringah di sana. Tapi... siapa aku? Sangat tidak mungkin aku untuk hadir di sana. Dengan keadaan jarum infus tertusuk di pembuluh, dan selang oksigen yang sebentar-sebentar dibongkar pasang. Nekat. Malam ini aku menguatkan jemariku mengetik pesan untuk mas Lintang. Mengucapkan selamat atas kelulusannya.
Menjelang tidur, jika aku ingat mas Lintang aku selalu begini. Apakah aku akan menjadi seperti pemeran utama wanita dalam film ‘Sunny’ itu? Ah, kurasa tidak mungkin. Aku sudah berlebihan.
Esok hari. Aku tahu hari ini mas Lintang pergi. Bukan Cuma sementara, bukan juga selamanya, tapi mas Lintang benar-benar pergi dari kota ini. Dan hampa. Tidak ada lagi seorang Lintang Mahawira di kota ini. Aku berlebihan perihal rasa ini. Rasanya memang ada yang hilang.
Mas Lintang masih hidup. Nomor ponselnya masih kusimpan. Akun facebooknya masih aktif. Tapi kenapa rasanya jauh sekali? Kalau memang kangen, aku bisa saja mengirim pesan singkat padanya, atau kalau kurang bisa menelepon. Tapi sayang, ketakutanku begitu kuat, mengalahkan segalanya. Tak berani bertindak layaknya orang yang benar-benar merasakan rindu.
Aku hanya menguntit mas Lintang dari akun facebooknya. Setiap hari kutengok, memastikan keadaanya baik-baik saja. Tanpa imbal balik. Aku tahu ini sia-sia, memikirkan sesuatu yang tak jelas, semu. Diam berkelanjutan. Dan mungkin akan tiba saatnya ini akan menjadi sakit. Tapi aku menikmatinya. Menikmati hingar binger perasaan terpendam. Merasakan keindahan diam.
Hari ulang tahunku. Dua bulan setelah perpisahan dengan mas Lintang. Kurayakan di ranjang rumah sakit. Tergolek lemah. Tahun lalu aku tiup lilin ditemani mas Lintang. Hanya mas Lintang, tidak dengan orang tuaku, maupun teman-temanku. Aku mengingat-ingat lagi. Sepulang dari tiup lilin tiba-tiba aku menerima sms dari teman dekat mas Lintang. ‘apa Lintang istimewa?’ begitu isinya. Ah mas Lintang... apa kabar mas disana? Di perantauan, mengadu nasib dengan dunia baru, lingkungan baru. Ingat aku ya, mas Lintang.
“Dik... cepet sehat donk, rumah sepi banget kalo kamu gak ada.” Kata mama sambil mengelus kepalaku. Aku tersenyum.
Ponselku berdering. Ada telepon. Kak Hilmi yang mengangkat telepon, dan keluar dari kamar tanpa aku tahu siapa yang menelepon. Padahal itu pasti telepon untukku. Agak lama Kak Hilmi berbincang. Kemudian Kak Hilmi masuk dan menyodorkan ponsel ke depan mataku. Satu pesan. Aku kenal betul nama pengirimnya.
From: Mas Lintang
‘kurang dari 24 jam, aku pastikan aku ada di hadapan Zaf. Dan Zaf bisa ungkap semuanya’
Aku menatap Kak Hilmi penuh Tanya.
“Ini nyata, Zaf. Kakak tau semuanya, sayang.” Oh Tuhaan... aku malu.
Kak Hilmi membelai rambutku, air mukanya berubah.
“Zaf, janji ya sama kakak... kamu harus jadi pemenang untuk hidupmu.”
Aku tersenyum semampuku. Tiba-tiba aku merasa trenyuh melihat kak Hilmi. Tidak biasanya kak Hilmi berekspresi seperti itu. Dan malam ini, aku hanya ingin tidur. Tidur sedamai-damainya. Semoga mala mini menjadi malam terakhir aku merasakan sakit.
Mama, papa, kak Hilmi... Zaf janji, Zaf gak akan merepotkan kalian lagi. Zaf pasti kuat.
Rasanya aku tak perlu mengungkapkan apa-apa jika besok mas Lintang benar-benar ada di hadapanku. Karna kurasa semua sudah jelas.
***
Di tempat lain...
Di bagian dalam kereta, di salah satu gerbong, di dekat jendela. Lintang Mahawira duduk di sana. Termenung. Kereta terus melaju. Membawa Lintang menuju kota itu, kota tempat tinggal Zaf.


Sebenarnya bukan semata-mata untuk Zaf dia pergi. Lintang bermaksud menghadiri pernikahan Alif, kawannya. Lintang menelepon Zaf bermaksud sekedar mengabari bahwa ia akan datang ke kota itu. Siapa tahu dia bisa bertemu Zaf dan melepas rindunya. Mendengar bukan Zaf sendiri yang mengangkat telepon darinya, Lintang sempat ragu. Namun tak lama berselang, lidahnya berubah kelu.
Zafina. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang. Bukan lagi pernikahan Alif, bukan pula teman-temannya. Hilmi telah menguak semuanya pada Lintang. Pernikahan Alif bukan lagi tujuan utamanya. Tapi untuk Zaf. Untuk Zaf dia pergi.
Sekitar empat jam lagi Lintang akan sampai di kota itu. Ponsel bordering. Ada pesan. Segera Lintang membukanya.
From: Zaf
‘Lintang, Zafina sudah dipanggil oleh Tuhan. Maafkan salah dan khilaf Zaf selama hidup, ikhlaskan dia. (Hilmi)’
Kaget. Lintang lemas. Pikirannya kalut, lidahnya kelu, hatinya bergetar.
Dalam kekalutannya, akhirnya air mata pun mengalir. Beberapa pasang mata pun memperhatikannya. Lintang tak peduli. Lintang tenggelam dalam duka kepergian Zaf.
Tiba-tiba kereta terasa berguncang, disusul suara ledakkan. Guncangan hebat mengagetkan seisi kereta.teriakan bergemuruh. Ricuh. Kacai. Dan hancur.
Beberapa waktu kemudian. Hampir semua media elektronik menyiarkan berita yang sama: kecelakaan KA * jurusan kota * - *. Lintang disana.
Korban kecelakaan KA *
....
24. LINTANG MAHAWIRA
...

“...kau tak sempat tanyakan aku, cintakah aku padamu?...”

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting