Indrarinda - Ini Indra

....................................................................................................................................................
Dan sepertinya malam ini akan aku habiskan di sini, di kuta. Berjalan di seputaran kuta, melewati trotoar sempit, disuguhi pemandangan riuh ramai keceriaan kuta, tumpah ruah manusia dari berbagai ras, menikmati hingar bingar kuta mala mini. Kawasan yang tak pernah tidur. Bersama Arinda, aku terus menjejakan kakiku menyusuri jalanan pendek ini. Tak lelah aku menceritakan banyak hal tentang kuta pada gadis ini. Begitu antusiasnya dia mendengar ceritaku. Sesekali suara lugu penuh keingintahuan keluar dari mulutnya, dan tawa pun bergema, lirih terkalahkan suara kuta malam ini. Sesekali kuberanikan memandang wajah mudanya. Bagi mata pria, aku akui dia tidak termasuk dalam kategori gadis berparas ayu. Tapi bagiku, dia menarik. Mata bulatnya yang selalu bicara. Mata bulatnya yang selalu mencoba meyakinkanku. Ketika kutangkap tatapan mata bulatnya, ketika itulah mata itu selalu bicara, memberitahuku bahwa mata itu adalah mata Arinda kecil. Arinda kecil yang kini telah berusia 20 tahun.
Aku tahu, Arinda terlalu lelah hari ini untuk kuajak berjalan lagi. Tapi dua pasang kaki ini terus melangkah, hingga akhirnya menyentuh pasir pantai kuta. Dan langkah ini pun terhenti disitu. Memandang gelap di depan mata. Dan terduduk. Kami saling bercerita lagi. Sambil menunggu yang lain datang. Dan jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Belum ada tanda-tanda Farhan dan kawan-kawan tiba. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dihubungi. Arinda mulai resah, Nampak dari raut wajahnya. Dia tak bisa menyembunyikan rasa kantuknya. Kuajak Arinda beristirahat di mobil, tapi dia menolak. Baiklah. Aku menghiburnya, menyanyi. Lirih aku mengalunkanya...

Who are you now?
Are you still the same or did you change somehow?
What do you do at this very moment when i think of you?


Arinda ikut menyanyikannya bersamaku, merdu. Kami memandang satu sama lain, tersenyum. Dan meneruskan lagu ini.

And when i’m looking back...
How we were young and stupid
Do you remember that?

Dan sayup-sayup suara Arinda melemah, hilang. Dalam duduknya, matanya sudah terpejam. Lelah. Kudekatkan bahuku padanya. Dalam hitungan detik pun, kepala Arinda jatuh ke bahuku, bersandar.

No matter how i fight it, can’t deny it,
Just can’t let you go...
I still need you
I still care about you
Though everything’s been said and done
I still feel you, like i’m right beside you...


Lagu ini terus mengalun dari mulutku... pelan, mengantar Arinda ke alam mimpi.
Tak tega melihat tubuh kecilnya menyandar terpaksa pada bahuku, aku merebahkan badannya di pangkuanku. Mungkin tak senyaman pangkuan ibunya. Tapi aku ingin dia merasakan apa yang Arinda kecil dulu pernah rasakan. Maaf Arinda, aku lancang. Aku rindu Arinda kecilku. Arinda kecil yang suka sekali tidur di pangkuan Indra.
Sekitar pukul setengah dua dini hari, Farhan dan teman-temannya kembali. Menghampiriku yang masih terduduk di tepi pantai. Mereka heran melihat aku dan Arinda.
“Lho? Kok?” Farhan bingung melihat Arinda yang tertidur pulas di pangkuanku.
“Hayooo... mas Indra... ngapain itu sama Arinda?” Indah menggodaku dengan nada setengah curiga.
“Arinda nggak kenapa-napa kan mas?” Mira sepertinya khawatir.
“Nggak, dia kecapekan, makanya tidurnya pules.” Jawabku pada mereka.
“Yah, si Munyuk mesti deh, kalau udah ngantuk nggak bisa ditawar.” Farhan sepertinya sudah hafal tabiat Arinda.
“Kita pulang ke hotel sekarang?” tanyaku memastikan.
“Iya mas, balik ke hotel yuk.” Ajak Alfin.
“Bangunin dulu Arindanya.” Saran Mira.
Aku pun membangunkan Arinda. Kugoyangkan bahunya.
“Arinda.... bangun Rin...” Kubangunkan Arinda.
Diam. Tak ada reaksi. Aku menoleh pada yang lain. Kemudian kugoyangkan lagi bahunya. Tetap tak bergerak. Aku mulai khawatir.
Farhan pun ikut bertindak.
“Woe Nyuk! Bangun....!!!” Farhan mencubit pipi Arinda keras.
Tak ada reaksi. Farhan kembali mengulangi caranya membangunkan, tapi Arinda tak bereaksi, diam. Apa jangan-jangan dia pingsan? Kutepuk pipi Arinda. Tetap diam.
“Jangan jangaan... Arinda pingsan?” Prasangka Mira membuatku tak tenang.
Segera kuperiksa nafas dan detak nadinya. Tidak ada yang salah, Arinda tidak pingsan, Arinda terlalu lelap tertidur.
Farhan bermaksud membangunkan Arinda dengan mengguyurnya dengan air. Aku tak mengizinkan.
“Arinda cuma tidur kok.” Kataku memberitahu.
“Kok nggak bangun-bangun gitu?” Tanya Alfin.
“Iya, susah banget sih bangunnya.” Tambah Indah.
“Arinda emang gitu kalau kecapekan, tidurnya kaya orang pingsan.” Jawab Mira.
“Yaudah, biar aku yang bawa Arinda ke mobil.” Aku memberi solusi, kasihan jika Arinda harus dibangunkan.
“Gimana bawanya nih munyuk mas?” Tanya Farhan.
“Biar aku gendong Arinda ke mobil.” Mungkin ini lancang dan tak sopan. Tapi daripada aku mengganggu tidur perempuan ini, lebih baik aku menggendongnya. Tidak tega melihat wajah lugu Arinda yang tenang dalam tidur ini.
“Gendong?” Alfin dan Farhan heran.
“Iya.” Jawabku ringan.
“Yakin mas?” Mira meragukan.
Aku mengangguk.
“Arinda nggak kurus lho mas.” Kata Farhan.
“Udah nggak apa, yuk.” Ajakku sembari melingkarkan tangan kanan dan kiri Arinda ke bahuku. Aku menggendong Arinda menuju mobil. Kembali ke hotel.
“Mas Indra.” Panggil Mira ketika perjalanan menuju hotel.
“Apa Mir?” balasku.
“Mas Indra so sweet banget tauk pas gendong Arinda barusan.” Kata Mira tiba-tiba. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Dasar otak perempuan, tidak bisa biasa melihat kejadian seperti tadi, pasti otak mereka sudah dicekoki adegan-adegan romatis di film-film, atau bahkan mungkin sinetron.
“Maksudnya Mir?” Tanyaku.
“Ya so sweet mas, kaya adegan-adegan di drama korea lho.” Jawab Mira.
Seisi mobil tertawa. Benar apa yang kutebak.
“Dasar ceweekkk... otak kalian isinya drama mulu ya.” Kata Farhan heran.
Dan begitulah perempuan. Lebih jeli memandang sesuatu dari perasaan. Dan sepanjang perjalanan dari kuta menuju hotel, sekelompok muda-mudi ini pun tak henti mengobrolkan drama.
Kami pun tiba di hotel. Kugendong lagi Arinda menuju kamarnya. Diikuti Mira dan Indah, teman sekamar Arinda. Salah satu teman Arinda membuka pintu kamar, kaget melihat Arinda terlelap dibalik punggungku. Segera kukatakan bahwa Arinda hanya tidur, sebelum prasangka lain muncul. Aku pun segera masuk ke kamar dan merebahkan Arinda ke ranjang. Memandang wajah lugu itu dalam hitungan detik, kemudian pergi dari sana. Selamat malam, Arinda...

1 komentar:

Anonim 18 Desember 2011 pukul 23.53  

i know who has inspired you...

Posting Komentar

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting