Hari sudah sore,
tapi suasana di sebuah sekolah menengah atas masih terlihat agak ramai.
Serombongan manusia berbusana abu-abu dan putih keluar dari sebuah kelas, dari
warna dan tulisan badge yang mereka terpasang rapi di seragam yang mereka
kenakan bisa dipastikan mereka adalah siswa-siswi kelas XII, yang bulan depan
akan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Tawa khas anak muda yang menjelang dewasa
terlihat tetap indah sore itu meski tak dapat dipungkiri nampak jelas siluet
kelelahan di wajah-wajah mereka. Seperti yang terpancar dari wajah sesosok
gadis yang berdiri di samping gerbang sekolah itu, lelah, tapi sebisa mungkin
dia tetap menyimpulkan senyumnya pada setiap orang yang lalu lalang di
depannya, teman-teman yang menyapanya.
“Nunggu jemputan
ya?” Seorang lelaki yang berpakaian serupa dengannya datang menyapa,
membuyarkan lamunannya tiba-tiba.
“Oh, eh, i...
iya” Jawabnya sedikit terbata-bata karena kaget.
“Em... kalo gitu
aku duluan ya, asalamu’alaikum.” Kata si lelaki berpamitan dengan santunnya,
sembari meneruskan langkahnya menuju halte di seberang jalan itu.
“Oh,
wa’alaikumsalam Zakky.” Balas si gadis tak kalah santun.
Lelaki belasan
tahun yang disapa Zakky itu telah sampai di halte depan sekolah, menunggu bus
yang akan mengantarkannya kembali ke rumahnya. Sementara di seberangnya, si
gadis masih berdiri terpaku di samping gerbang sekolah, menunggu jemputan
datang. Bus yang ditunggu Zakky datang, dia pun segera masuk ke dalamnya, dan
mengambil tempat duduk di sisi kiri bus dekat jendela. Segera ia membuka
jendela bus lebar-lebar, berteriak ke arah si gadis.
“Radhiya... aku
duluan yaa...!!!” Teriaknya dari dalam bus sambil melambaikan tangan ke arah si
gadis yang diketahui bernama Radhiya.
Radhiya kembali
dikagetkan oleh suara Zakky, dia hanya mengangguk dan tersenyum ramah
menanggapi lambaian Zakky dari dalam bus tadi. Bus yang ditumpangi Zakky mulai
melaju, mata Radhiya tak henti menatap bus itu hingga hilang di kejauhan. Tanpa
disadari, seorang perempuan sebayanya telah bertengger termangu di atas motor
maticnya di samping Radhiya. Dia Karin, teman akrab Radhiya semenjak kelas X.
“Woy!!!” Karin
menepuk pundak Radhiya, menyadarkan lamunan kawannya.
“Eh! Iya!”
“Ngeliatin apa
sih? Serius amat?”
“Bukan
apa-apa...”
“Ah, gak yakin
nih...”
“Beneran kok...”
“Siapa sih?”
“Siapa apanya?”
“Kok balik nanya
sih nih bocah”
“...” Radhiya
terdiam.
“Zakky??”
“Hah?!” Radhiya
terperangah mendengar apa yang baru saja diucapkan temannya itu.
“Naah... Bener
kan? Bisa ditebak lagi Rad... ckckckkckk.” Goda Karin.
“Apa sih?” Radhiya
tersipu.
Karin hanya
geleng-geleng kepala melihat ekspresi Radhiya. Sambil tertawa kecil.
“Ya udah, pulang
yuk Rad.” Ajak Karin kemudian.
“Aku kan
dijemput Ibuku Rin, kamu duluan aja.”
“Aku anterin aja
deh, yuk...”
“Ya jangan, ntar
ibuku gimana?”
“Yaa...”
“Nah itu Ibuku
dateng.” Kata Radhiya sambil menunjuk ke arah ibunya datang.
Motor yang
dikendarai Ibu Radhiya berhenti tepat di depan Radhiya dan Karin.
“Ayo Dik, Ibu
buru-buru ini, habis ini Ibu harus ke rumah Bu Lina.” Ajak Ibu Radhiya.
“Kebetulan.”
Potong Karin tiba-tiba.
“Apanya yang
kebetulan Dik Karin?” Tanya Ibu Radhiya tak paham.
“Biar saya yang
antar Radhiya pulang Bu, Panjenengan lansung menemui Bu Lina saja.” Karin
memberi saran. Sepertinya ide yang cukup bagus.
“Oh, apa ndak
ngrepoti tho Dik Karin?” Sepertinya Ibunda Radhiya setuju.
“Iya Rin...”
“Ndak apa-apa
Bu, kan sudah lama saya ndak ngantar Radhiya pulang.”
“Beneran ndak
apa-apa?” Ibu Radhiya memastikan.
“Iya Bu, ndak
apa-apa. Dijamin aman. Hehee...” Kata Karin meyakinkan.
“Ya sudah kalau
gitu, Ibu pergi dulu ya. Makasih lho Dik Karin.” Ibu Radhiya berterimakasih.
“Iya sama-sama
Bu...” Balas Karin santun.
“Ibu pergi dulu,
hati-hati lho ya, Asalamu’alaikum.” Ibu Radhiya berpamitan.
“Wa’alaikumsalam...”
Jawab Radhiya dan Karin bersamaan.
Ibunda Radhiya
telah menghilang di kejauhan.
“Ya udah, pulang
yuk Rin...” Ajak Radhiya.
“Temenin aku
dulu bisa nggak Rad?”
“Kemana?”
“Makan, yuk...”
“Hmm... ide
bagus. Tahu aja kamu kalo aku juga laper.” Radhiya setuju.
Mereka berdua
pun segera meluncur ke sebuah restorant fastfood lokal yang tak jauh dari
sekolah mereka. Sembari menyantap makan sore, mereka mengobrol banyak hal.
“Rin...” Panggil
Radhiya tiba-tiba, suaranya tercekat, sepertinya ada suatu hal serius yang
ingin dikatakannya.
“Kenapa Rad?”
Karin membaca tanda-tanda tak biasa dari sahabatnya itu.
“Hmmm...”
Radhiya masih ragu.
“Kenapa sih?”
“Zakky...” Nama
Zakky terlontar lirih dari mulut Radhiya.
Karin tercekat,
berhenti mengunyah makanan di mulutnya.
“Barusan kamu
ngomong apa Radh?”
“...” Radhiya
tersipu.
“Zakky? Kamu
beneran?”
Radhiya hanya
mengangguk. Pertanda meng-iya-kan pertanyaan Karin.
“Ya ampuuun
Radh... sejak kapan?”
“Udah lama Rin. Sebenernya
waktu pertama kita kenal yang namanya Zakky itu...”
“Apa?!? Hampir
tiga tahun lalu?” Karin memotong pembicaraan Radhiya.
Radhiya
mengangguk.
“Kok bisa sih
Radh? Temen-temen yang lain pada tahu nggak soal ini?”
Kini Radhiya
menggeleng.
“Jadi...”
“Jadi ya baru
kamu yang tahu kalau aku suka sama Zakky.”
“Wow! Good girl,
salut Radh...”
“Apa Rin?”
“Tiga tahun...
hampir tiga tahun...”
“Apanya?”
“Ya kamu itu.”
“Maksudnya?”
“Falling in love
in silent...”
“Hah?” Radhiya
mengernyit.
“Jatuh cinta
diam-diam ke Zakky.”
Radhiya tersipu.
Diantara teman-teman akrabnya selama ini, memang Radhiya yang selalu tertutup.
Jarang sekali mengekspresikan isi hatinya. Tapi Radhiya pula lah yang paling
mengerti teman-temannya.
“Jadi gimana
nih?” Tanya Karin tiba-tiba. Piring dan gelasnya telah kosong.
“Gimana apanya?”
“Perlu bantuan
buat ngungkapin perasaan?” Karin mengedipkan matanya. Menggoda.
“Siapa yang mau
ngungkapin?”
“Aku.”
“Eh, eh, eh!
Jangan bilang kalo kamu mau bilang ke Zakky...”
“Emang iya...
hahaa....” Goda Karin. Radhiya mulai cemas.
“Heh! Jangan
gila kamu Rin...”
“Biarin,
pokoknya aku mau bilang...” Karin membuat Radhiya bingung, dia pun beranjak
dari tempat duduknya, sambil tertawa menakut-nakuti Radhiya.
“Rin, kamu
bercanda kan?” Radhiya khawatir.
“Serius lah
Radh...”
“Rin... jangan
lah...”
“Bodo...
hahahaaha....” Tawa Karin meledak.
“Kariiiiiinnnn.....!!!”
.........................................
Hari sabtu,
sekolah usai lebih awal. Pukul tiga siang suasana sudah sepi. Namun Radhiya
belum pulang. Dia baru selesai belajar kelompok dengan teman-temannya, salah
satu agenda wajib dalam rangka mempersiapkan ujian akhir.
Radhiya berdiri
mematung di depan papan informasi di samping ruang BK. Matanya terfokus pada
sebuah surat edaran yang terpampang di sana. Kop surat itu bertuliskan nama
sebuah perguruan tinggi negeri di paling ujung timur pulau jawa, berisi seluk
beluk PMDK yang diselenggarakan instansi pendidikan tersebut. Dipandangnya
surat itu lekat-lekat. Niatnya sudah bulat, dia akan melanjutkan studinya
kesana. Tak peduli apa kata orang yang memandang tempat itu sebelah mata. Ini
keputusannya, meski tidak murni keputusannya. Suara langkah kaki yang tegas
terdengar semakin jelas menuju kearah Radhiya berdiri. Tepat disamping Radhiya
langkah itu berhenti.
“Jadi lanjut ke
Jember?” Tanya orang yang menghampiri Radhiya barusan. Itu Zakky.
“Eh!” Radhiya
sedikit kaget menyadari Zakky ada di sampingnya.
Darimana dia tahu aku mau kuliah di Jember? . Pikir Radhiya dalam hati.
“Hei.” Zakky
tersenyum ramah menoleh kepada Radhiya.
“Iya.”
“Jauh ya?”
“Ya
begitulah...”
“Pasti nanti
jadi jarang pulang.”
Radhiya sedikit
bingung mendengar kalimat yang diucapkan Zakky.
“Kamu mau lanjut
kemana?” Malu-malu Radhiya ganti bertanya pada Zakky.
“Aku tetap di
kota ini.”
“Oh...” Tak ada
tanggapan yang berarti dari Radhiya.
Hening. Tak ada
suara diantara mereka berdua.
“Eh, yaudah aku
pulang dulu ya? Slamat berjuang.” Akhirnya Zakky buka mulut, mengakhiri
pembicaraan.
“Asalamu’alaikum.”
Katanya seraya menepuk pundak Radhiya.
“Eh,
wa’alaikumsalam.” Radhiya sedikit kikuk.
Zakky
menyunggingkan senyum ramahnya sambil berlari meninggalkan Radhiya. Radhiya
terpaku, memandang lurus kea rah Zakky pergi, memandangnya, sampai bayangannya
lenyap dari kedua mata Radhiya.
0 komentar:
Posting Komentar