Kamis, 15 September 2011
"Ndhuk... Aku weruh olehmu nangis, nganti bis ilang saka dalan ngarep terminal... Matur nuwun anakku... Saben ngeterne kowe, atiku seneng, trenyuh, muga2 Gusti Allah tansah ngayomi, paring pituduh, paring panjang umur sing barokah... Ndhuk Wi... Sholate sing apik ya!"
Sampai detik ini pun, air mataku masi sanggup mengalir dari sudut mata tiap kali buka sms bapak itu di folder save messages di ponselku. yah, cuma sms itu yg tertinggal dari kejadian seminggu yg lalu, tepatnya hari rabu, tanggal 7 september 2011, waktu aku diantar bapak ke terminal untuk balik ke perantauan. Hari itu, 3 hari sebelum hari ulang tahun bapak yg ke-46. Hari itu, aku nggak tahu kenapa aku bisa refleks nangis bombay di bus setelah bapak turun dari bus. Hari itu pun juga nggak seperti biasanya, bapak mengantarku sampai ke dalam bus. Waktu bus mulai berangkat, bapak menunggu di pinggir jalan, aku bermaksud 'say goodbye' pada bapak, tapi nggak sanggup, aku nangis duluan, sedih liat bapak.
Dan hari ini, 15 september 2011, 5 hari setelah ulang tahun bapak. Betapa bodohnya aku, aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada bapak, memang bagi sebagian orang itu nggak penting tapi aku yakin bapak pasti bahagia kalau mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari anaknya.
Nggak ada yg bisa aku ungkapkan sekarang, yg tahu gimana rasanya cuma hatiku...
Bapak, ayah juara satu seluruh dunia.
Yang Tertinggal dari Tragedi Air Mata di Bus
Kepada: Hati Itu
Dearest nathan...
Nat, apa kabar? aku tahu kamu pasti akan menjawab 'baik' dan berbalik menanyakan bagaimana kabarku, meski aku tak yakin kamu benar-benar ingin tahu kabarku atau sekedar berbasa-basi. Dan aku tak pernah tahu, apakah keadaanmu yg sebenarnya sebaik jawaban 'baik' yg kamu lontarkan itu. seringkali aku tak yakin Nat, aku tak yakin kamu baik-baik saja, aku tak yakin kamu menjawab sesuai kenyataan, aku sering menduga kamu mengatakan itu hanya karna kamu tak ingin orang lain tak terkecuali aku tahu keadaanmu yang sebenarnya. Kamu menjawab begitu karna kamu ingin supaya aku tak mengkhawatirkanmu kan? Gak bisa Nat... Tahukah kamu Nat? aku lebih sering memikirkanmu daripada lelaki yg sedang menjalin hubungan denganku, aku lebih mengkhawatirkan keadaanmu daripada keadaanku sendiri. Aku cuma ingin kamu tahu kok Nat, aku gak minta balasan, gak minta perhatian.
Nat... sebentar lagi tanggal 4 november, kamu inget ada apa pada tanggal itu tahun lalu? Aku gak akan lupa nat, betapa malam itu jadi malam yang mengejutkan buatku. lewat pesan singkat itu, kamu mengutarakan maksudmu, memintaku untuk mengisi ruang kosong di hatimu, aku merasakan ketulusan yang gak pernah aku temukan sebelumnya, ketulusan seorang laki-laki diawal usia 20an pada lawan jenisnya. Aku baru mendapatkanya dari kamu, Nat. Dan tanpa ragu aku mengiyakan permintaanmu. Aku bahagia banget, perasaanku terbalas. Terimakasih Nathan.
Maaf Nat. Aku bukan bermaksud untuk membuka lagi sakit hatimu, aku ingin minta maaf. Maaf yang resmi. Atas semua perlakuanku yang aku kasih ke kamu itu. Aku menyakiti kamu, memporak porandakan kebahagiaanmu, menghancurkan semangatmu. Maafkan aku Nathan. Aku emang gak tau rasa sakit yg kamu alami karna aku. Karna mataku sudah buta kala itu, begitu juga hatiku yg sudah mati rasa. Kalau ada hal yg bisa menebus dosa besarku ke kamu, apa pun itu aku bakal berusaha untuk melakukan, mencari, mendapatkannya. Untuk kamu, Nat. Sebagai penebus dosaku.
Nathan, jujur aku pengen banget tau keadaanmu saat ini. Apa kamu baik2 aja? Apa kamu masi menjadi pecinta kopi dan rokok? Apa makanmu selalu terjamin 3x sehari? Apa tidurmu cukup? Bagaimana kuliahmu? Apa kabar IPmu? Kamu masih suka bertualang di waktu senggangmu? Siapa tempatmu berkeluh kesah sekarang? Masihkah kamu menulis puisi? Masihkah kamu suka filsafat? Siapa yg mengingatkanmu untuk merapikan rambutmu ketika sudah mulai panjang? Siapa yg sering mengucapkan selamat malam menjelang tidur sekarang? Aku rindu masa2 itu Nat... Aku merindukanmu, aku mengkhawatirkanmu... Apa kamu masih bisa bernafas seperti biasa? Apakah kamu masi berjalan seperti biasa? Kamu masih hidup kan, Nat?
Mungkin aku tak pernah mendoakanmu sehabis aku menjalankan kewajibanku padaNya, tapi tiap kali aku ingat kamu, hati ini gak pernah berhenti mendoakanmu Nathan. Aku minta Tuhan menjagamu, membimbingmu, menemanimu selalu. Aku gak mau kamu hilang arah, aku gak ingin kamu goyah.
Kamu boleh saja melupakanku, tapi jangan lupakan pemberi hidupmu, jangan lupakan Tuhanmu. Aku berterimakasih pada Tuhan, karna takdirNya aku bisa mengenalmu, Nathan.
Label: Fiksi-ku
Tak Sempat
Dia Nampak kurus dibanding sebulan yang lalu, dimana kami dipertemukan di sebuah meja antik di sudut kafe klasik itu.
“Selamat, mas.” Aku mengulurkan tangan, mas Lintang meraihnya.
“Aku lega, Zaf.” Aku tak bisa berkata-kata, kulemparkan senyum.
Yang aku khawatirkan terjadi. Mas Lintang kembali ke kota asalnya. Jauh ke ujung pulau ini. Mas Lintang pulang sementara.
Aku menerka. Mungkin, mas Lintang mengabdi di kampung halamannya sambil menunggu waktu pengukuhan gelarnya tiba.
Mendekati hari pengukuhan, mas Lintang kembali ke kota ini. Lagi-lagi tanpa mengabariku. Tentu saja, aku bukan siapa-siapa.
Hari pengukuhan. Mas Lintang resmi lulus. Butuh waktu lima tahun bagi mas Lintang untuk mendapatkan gelar ini. Aku turut bahagia.
Ingin sekali aku menyaksikan euphoria kelulusan mas Lintang, melihat senyum sumringah di sana. Tapi... siapa aku? Sangat tidak mungkin aku untuk hadir di sana. Dengan keadaan jarum infus tertusuk di pembuluh, dan selang oksigen yang sebentar-sebentar dibongkar pasang. Nekat. Malam ini aku menguatkan jemariku mengetik pesan untuk mas Lintang. Mengucapkan selamat atas kelulusannya.
Menjelang tidur, jika aku ingat mas Lintang aku selalu begini. Apakah aku akan menjadi seperti pemeran utama wanita dalam film ‘Sunny’ itu? Ah, kurasa tidak mungkin. Aku sudah berlebihan.
Esok hari. Aku tahu hari ini mas Lintang pergi. Bukan Cuma sementara, bukan juga selamanya, tapi mas Lintang benar-benar pergi dari kota ini. Dan hampa. Tidak ada lagi seorang Lintang Mahawira di kota ini. Aku berlebihan perihal rasa ini. Rasanya memang ada yang hilang.
Mas Lintang masih hidup. Nomor ponselnya masih kusimpan. Akun facebooknya masih aktif. Tapi kenapa rasanya jauh sekali? Kalau memang kangen, aku bisa saja mengirim pesan singkat padanya, atau kalau kurang bisa menelepon. Tapi sayang, ketakutanku begitu kuat, mengalahkan segalanya. Tak berani bertindak layaknya orang yang benar-benar merasakan rindu.
Aku hanya menguntit mas Lintang dari akun facebooknya. Setiap hari kutengok, memastikan keadaanya baik-baik saja. Tanpa imbal balik. Aku tahu ini sia-sia, memikirkan sesuatu yang tak jelas, semu. Diam berkelanjutan. Dan mungkin akan tiba saatnya ini akan menjadi sakit. Tapi aku menikmatinya. Menikmati hingar binger perasaan terpendam. Merasakan keindahan diam.
Hari ulang tahunku. Dua bulan setelah perpisahan dengan mas Lintang. Kurayakan di ranjang rumah sakit. Tergolek lemah. Tahun lalu aku tiup lilin ditemani mas Lintang. Hanya mas Lintang, tidak dengan orang tuaku, maupun teman-temanku. Aku mengingat-ingat lagi. Sepulang dari tiup lilin tiba-tiba aku menerima sms dari teman dekat mas Lintang. ‘apa Lintang istimewa?’ begitu isinya. Ah mas Lintang... apa kabar mas disana? Di perantauan, mengadu nasib dengan dunia baru, lingkungan baru. Ingat aku ya, mas Lintang.
“Dik... cepet sehat donk, rumah sepi banget kalo kamu gak ada.” Kata mama sambil mengelus kepalaku. Aku tersenyum.
Ponselku berdering. Ada telepon. Kak Hilmi yang mengangkat telepon, dan keluar dari kamar tanpa aku tahu siapa yang menelepon. Padahal itu pasti telepon untukku. Agak lama Kak Hilmi berbincang. Kemudian Kak Hilmi masuk dan menyodorkan ponsel ke depan mataku. Satu pesan. Aku kenal betul nama pengirimnya.
From: Mas Lintang
‘kurang dari 24 jam, aku pastikan aku ada di hadapan Zaf. Dan Zaf bisa ungkap semuanya’
Aku menatap Kak Hilmi penuh Tanya.
“Ini nyata, Zaf. Kakak tau semuanya, sayang.” Oh Tuhaan... aku malu.
Kak Hilmi membelai rambutku, air mukanya berubah.
“Zaf, janji ya sama kakak... kamu harus jadi pemenang untuk hidupmu.”
Aku tersenyum semampuku. Tiba-tiba aku merasa trenyuh melihat kak Hilmi. Tidak biasanya kak Hilmi berekspresi seperti itu. Dan malam ini, aku hanya ingin tidur. Tidur sedamai-damainya. Semoga mala mini menjadi malam terakhir aku merasakan sakit.
Mama, papa, kak Hilmi... Zaf janji, Zaf gak akan merepotkan kalian lagi. Zaf pasti kuat.
Rasanya aku tak perlu mengungkapkan apa-apa jika besok mas Lintang benar-benar ada di hadapanku. Karna kurasa semua sudah jelas.
***
Di tempat lain...
Di bagian dalam kereta, di salah satu gerbong, di dekat jendela. Lintang Mahawira duduk di sana. Termenung. Kereta terus melaju. Membawa Lintang menuju kota itu, kota tempat tinggal Zaf.
Sebenarnya bukan semata-mata untuk Zaf dia pergi. Lintang bermaksud menghadiri pernikahan Alif, kawannya. Lintang menelepon Zaf bermaksud sekedar mengabari bahwa ia akan datang ke kota itu. Siapa tahu dia bisa bertemu Zaf dan melepas rindunya. Mendengar bukan Zaf sendiri yang mengangkat telepon darinya, Lintang sempat ragu. Namun tak lama berselang, lidahnya berubah kelu.
Zafina. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang. Bukan lagi pernikahan Alif, bukan pula teman-temannya. Hilmi telah menguak semuanya pada Lintang. Pernikahan Alif bukan lagi tujuan utamanya. Tapi untuk Zaf. Untuk Zaf dia pergi.
Sekitar empat jam lagi Lintang akan sampai di kota itu. Ponsel bordering. Ada pesan. Segera Lintang membukanya.
From: Zaf
‘Lintang, Zafina sudah dipanggil oleh Tuhan. Maafkan salah dan khilaf Zaf selama hidup, ikhlaskan dia. (Hilmi)’
Kaget. Lintang lemas. Pikirannya kalut, lidahnya kelu, hatinya bergetar.
Dalam kekalutannya, akhirnya air mata pun mengalir. Beberapa pasang mata pun memperhatikannya. Lintang tak peduli. Lintang tenggelam dalam duka kepergian Zaf.
Tiba-tiba kereta terasa berguncang, disusul suara ledakkan. Guncangan hebat mengagetkan seisi kereta.teriakan bergemuruh. Ricuh. Kacai. Dan hancur.
Beberapa waktu kemudian. Hampir semua media elektronik menyiarkan berita yang sama: kecelakaan KA * jurusan kota * - *. Lintang disana.
Korban kecelakaan KA *
....
24. LINTANG MAHAWIRA
...
“...kau tak sempat tanyakan aku, cintakah aku padamu?...”
Label: Fiksi-ku
Kerang Ungu
KERANG UNGU
“woii... wooiii...!! Jam kosooongg woiii....!!!” Ardi berteriak bagai dapat harta karun dari kapal karam di laut jawa ketika tahu bahwa jam pelajaran terakhir hari ini kosong.
Anak-anak di kelas ricuh, gembira. Maklum lah, anak-anak kelas social, heboh banget kalau udah denger yang namanya jam kosong. Secara ini langka banget terjadi akhir-akhir ini. Tapi kegirangan itu tak berlangsung lama. Tyo, sang ketua kelas datang, membawa secarik kertas berisi ultimatum.
“Ada tugas woiii...!!!” Teriakannya tak kalah kencang dengan Ardi.
Dan semua pun menggumam sebal. Tyo lalu membacakan tugas yang diberikan Bu Arum, guru akuntansi kelas ini. 80 persen dari kami tidak mempeerhatikan. Malah ada yang menghambur keluar kelas sebelum Tyo usai member pengumuman. Itu sudah adat istiadat, tak usah heran. Cirri khas anak-anak kelas social di sekolah yang sering disebut-sebut sekolah favorit nomor dua di kota ini. Beginilah kenyataanya, siswa tidak betah berlama-lama di kelas, ketika jam pelajaran berganti dan guru meninggalkan kelas, mereka menghambur keluar kelas, dan baru kembali ke kelas ketika guru mata pelajaran selanjutnya datang. Hobi mereka ngobrol, membuat gaduh, nongkrong di kantin, main futsal, basket, bahkan voli di sembarang tempat, dan tentunya membuat para guru geleng-geleng kepala setiap hari. Tapi bukan berarti semua anak berlaku seperti itu, itu hanya sebagian anak, bukan mayoritas memang, tapi cukup berpengaruh dalam pencitraan kelas social.
Dan seperti saat ini, Tugas sudah dibacakan Tyo di depan kelas, tapi mungkin hanya sekitar separo yang menanggapinya kemudain mengeluarkan buku, membolak-balik halaman mencari tugas yang dimaksud. setengah penghuni kelas sudah lenyap begitu saja. Dan kini hanya ada sekitar 20an anak yang berada di kelas, termasuk aku. 20an yang berada di kelas, tapi bukan berarti mereka semua mengerjakan tugas. Ada segerombol besar anak-anak yang mengerjakan tugas bersama, aku ikut di dalamnya. Ini kelompok manusia social yang sedikit mewarisi jiwa eksak, patuh, doyan mengerjakan tugas. Ada segerombol yang hanya duduk-duduk sambil mengobrol. Ada yang diam sambil membaca buku. Dan dari 20an anak yang berada di kelas itu, kulihat hanya ada segelintir kaum adam di sana. Termasuk Nathan. Dia diam di bangkunya, serius membaca sesuatu di ponselnya.
Setelah berdiskusi sebentar dengan kelompok, aku kembali ke bangku tempatku duduk mencoba mengerjakan sendiri setelah memperoleh penjelasan dari beberapa pakar akuntansi di kelas ini. Seperti biasa, kalau ada yang tidak menegrti akau akan kembali ke gerombolan itu. Aku mulai asik menulis deretan angka di kolom-kolom yang kubuat di buku akuntansiku, dan sebentar-sebentar aku serius memncet kalkulator, menghitung. Tiba-tiba bangku di sebelahku berdecit, sesosok laki-laki sambil tersenyum telah duduk disana, Nathan. Aku sedikit kaget. Kubalas senyumnya dan kulanjutkan menggarap tugas ini.
“Udah sampai mana Kin ngerjainya?” Tanya Nathan memecah keheningan antara kami berdua.
“Baru mulai Than, kamu?”
“Males ah, ntar aja nyontek punya kamu. Hehe...”
“Hem... nyari enaknya aja kamu.”
Kami tertawa. Garing. Dan sepi kembali. Aku asik dengan tugas ini, kulirik Nathan sedang memerhatikan aku yang sedang menulis dengan serius. Lama.
Nathan melepaskan pandanganya dariku, kemudian dia meraih block noteku di depannya. Dia mulai membuka-buka block note yang bkugunakan untuk mencatat bermacam pengumuman atau hal-hal penting yang kudapat, sering pula kugunakan untuk menghitung ketika sedang mengerjakan tugas matematika atau akuntansi atau ekonomi. Kulirik Nathan lagi, terlihat serius membaca suatu halaman dalam block note. Oh God, aku lupa kalau ada beberapa tulisan isengku dalam block note itu, ada beberapa puisi pula disana. Itukah yang dibaca Nathan?
“Serius amat Than?” Perhatianku beralih pada Nathan.
“Kamu suka nulis ya?” Tanya Nathan balik.
“Nggak kok.”
“Oh...”
Nathan diam. Begitu pula aku. Sebenarnya aku malu tulisanku yang gak jelas itu dibaca seorang Nathan, tapi ya sudahlah terlanjur basah. Aku tak mau terkesan malu atau manja atau bisa jadi genit kalau harus merebut block note itu dari tangan Nathan.
“Kin, aku kemarin ke pantai lho...” Sepertinya Nathan ingin bercerita sesuatu. Aku menghentikan tanganku yang asik menulis. Dan menoleh ke arahnya. Kata-kata pantai menarik perhatianku, aku suka pantai.
“O ya? Sama siapa?”
“Sendiri.”
Aku terdiam. Nathan, selalu begitu. Sering membuatku merasa ngeh dengan tindakan-tindakan nya yang bisa dibilang jarang dilakukan teman-teman seusiaku. Dia pergi ke pantai sendirian, masa iya? padahal kota ini jauh dari pantai, harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan untuk mencapai pantai terdekat.
“Serius?” Tanyaku masih tak yakin.
“Iyalah.”
“Trus ngapain kesana sendirian? Jauh lagi.”
“Yaaaa main.”
Nathan mengambil sesuatu dari saku celana abu-abunya.
“Nih Kin, aku bawa kerang.” Kata Nathan sambil meletakan beberapa kerang di meja.
“Ini oleh-oleh dari pantai?” Aku mengambil satu kerang yang menarik perhatianku.
“Aku punya banyak lagi.”
“Mana?”
“Di rumah.”
Satu per satu kupegang dan kuamati kerang yang dibawa Nathan. Bagus. Ada satu kerang yang berwarna menarik, ungu. Kecil dan bersih. Kuamati kerang itu baik-baik.
“Kamu mau Kin?”
“Apa Than?”
“Kalo kamu mau pilih aja.”
“Yang ungu ini ya?”
“Ada ungu yang lebih bagus lho Kin.”
“Cukup ini aja deh Than.”
“Aku janji kapan-kapan aku bawain kerang itu buat kamu.”
“Nggak usah kali Than...”
Nathan hanya tersenyum penuh tanda Tanya buatku. Kemudian dia berlalu begitu saja, dari hadapanku. Baru kali ini kulihat Nathan bicara seperti itu, meski tak jarang dia juga bersikap aneh. Apa maksudnya menawariku kerang dan berjanji membawakannya untukku? Mungkin ini memang suatu yang biasa, tapi bagiku ini janggal. Janggal untukku yang sedang dirundung perasaan aneh, entah apa itu, perasaan khusus pada Nathan. Memiliki kerang ungu itu, rasanya seperti menemukan harta karun yang tak ternilai harganya. Kerang ungu dari Nathan, lelaki sejuta Tanya.
Label: Fiksi-ku
Letter to Af
Dear mas Af,
Mas Af, apa kabar? Semoga Allah slalu melindungi mas. Amin.
Jakarta gimana mas? Enak tinggal disana? Kerjaan mas gimana? Temen-temen mas baik-baik kan orangnya? Maaf ya mas, aku banyak tanya, soalnya aku pengen tahu banyak sih... Kan semenjak mas Af di Jakarta, mas belum pernah cerita-cerita ke aku. Kalo aku duluan yang tanya, aku takut aku ganggu mas, nggak berani, hihii
Mas Af, aku pengen ngobrol banyaaaakk banget ke mas. Semester ini aku bisa nempuh full lagi, alhamdulillah, nggak ada nilai c mas. Masuk tahun ajaran baru, aku sekarang uda smester 5, semester tengah, masi cukup lama untuk menyandang gelar sarjana kaya mas, tapi kudu tetep smangat! kudu kuliah yang bener biar bisa cepet-cepet nyusul mas Af jadi sarjana.
Mas Af, kemarin aku jalan-jalan muterin kota. Lewat jembatan kembar malem-malem, masih sama kaya 6 bulan yang lalu, waktu kita lewat sana sehabis mas traktir aku di hari ulang tahun mas. Aku juga sempat lewat depan resto perahu. Hihiihi, jadi inget pertama makan di tempat itu. Oh iya mas, bangunan besar yang mas bilang mau dijadiin hotel itu sekarang udah jadi lho mas, keren banget mas. Mewah.
Mas Af, sebentar lagi tanggal 12 oktober, mas Af tau nggak itu tanggal apa? oke lah, mas nggak perlu susah-susah untuk mengingatnya. Tapi mas inget kan pertama kali mas makan di Angkringan Mie Setahun yg lalu? Tau nggak mas? Sampai sekarang, aku mas inget rasa mie yg aku makan pas bareng sama mas, dan sampai sekarang mie itu jadi menu favoritku kalo dateng kesana. Hihii... tahun ini... Uda pasti aku gak bisa ngulang kejadian yang sama kaya tahun lalu. Gak bisa makan mie lagi sama mas Af, gak bisa ngobrol di teras kosan lagi sama mas Af. Mas jauh di Jakarta sih... Hehee dan aku masi di Jember, entah kapan aku keluar dari kota ini. Yang pasti aku harus memanfaatkan waktuku di kota ini sebaik2nya, sebenci apapun aku pada kota ini tanpa ada mas Af, suatu saat aku pasti rindu kota ini.
Ah, baru sebentar mas pergi, tapi rasanya kota ini kehilangan warna dimataku. sekarang aku cuma bisa berandai2... Seandainya jakarta-jember seperti kampus fisip-ft, seandainya aku bisa kaya jinny yg bsa dengan mudah berpindah tempat hanya dengan berkedip, seandainya tempatku berbaring sekarang cuma berbatas tirai dengan tempat mas berbaring, seandainya bicara dengan mas seperti bicara dengan adikku, seandainya... Dan seandainya... Sayangnya... Aku takut, takut buat sms mas sekedar tanya kabar, takut menelepon mas sekedar ingin mendengar suara mas, takut menerima kenyataan terperih yg akan aku terima dari mas kalau aku jujur dengan perasaan ini. karna aku rapuh mas... Dan makin rapuh sepeninggalmu dari kota ini.
Mas Af, aku minta maaf, atas kelancanganku menulis surat ini. Entah surat ini sampai ke tangan mas atau nggak, entah alamat yg dituju salah atau benar. Aku minta maaf atas tragedi terakhir kita bertemu di festival itu, mungkin mas merasa gak ada yg salah, tapi aku merasa itu kekonyolan paling parah mas. Aku sedih kenapa harus bertemu mas ketika aku sedang bersamanya? Dan aku minta maaf untuk kelancanganku mengungkapkan berbagai hal aneh mengatasnamakan mas di jejaring sosial. Aku kangen mas Af...
Mas Af, baik-baik ya di kota orang... Merinding aku menulis surat ini, membayangkan kehidupan mas di kota sekeras Jakarta. Jaga kesehatan ya mas, ingat Allah selalu. Semoga mas bisa meraih kesuksesan disana, hidup makmur, dan tetap bersahaja, seperti mas Afin yang aku kenal. sudah ya mas, lain kali kalo aku kangen mas, aku pasti akan tulis surat lagi.
Teriring doa dari hati...
Semoga Allah selalu menemanimu...
Al
Label: Fiksi-ku
A Spectacular Night with Them
Sebenernya masi banyak cerita dari acara Buber SODA kemarin, tapi belum sempet nulis dan posting... jadi yaa share foto-foto gila sehabis Buber aja dulu kali yaa... ^^
jadi, singkat cerita sebagian dari kita *sayang gak semua, mutusin untuk hang out, dan tempat yg pewe buat jalan bareng adalah alon-alon, rame boookk... segorombolan anak manusia masuk pasar malem,
ini kita, di dalem area pasar malem, ada Deppe, Budi, Sica, Pencok, Yuda Toyib, Yuwi, Joice, Vicky, Koko, dan yg baju kotak2 pake jilbab itu.. akuu *narsis
selanjutnya, masi di area pasar malam...
naaaahh ini die... si Koko dan pacarnyah, mas cakep *sumpah, aku ngakak baca komen mreka soal foto ini di facebook
habis jalan di dalem area pasar malem, kita-kita keluar dari sono dan mutusin untuk nongkrong, you know where kita nongkrong akirnya?? di depan Gedung pemkab Ponorogo, tepat di depan tulisanya, yg notabene adalah tempat kita take gambar buat album kenangan SMA, 2 tahun lalu... oemji, inget jadul deh, panas2 mesti berdiri berjajar di tempat ini, bedaknya luntuurr jek... haha
disitu kita ngobrol, becanda, poto-poto narsis, gak pduli orang lewat ngeliatin, yg ngatain, yg ngetawain ato apa lah... ini kita gitu...
kata novian ini trio kwek2, soalnya heboh banget... *masa sih? lebih tepatnya yg heboh tuh si Yuwi dan solmet kentelnya, si Joice tuh... kalo yg tengah mah alim banget ituh *mwahahhahaa cuma badak idiot yg bilang saya alim
dan ini yg dinanti-nantikan,
tarrraaaaaaa...... couple of the year nya SODA, Yuda toyib dan Karlina joice
jadi ya mereka itu sepasang manusia yg emang ditakdirkan bersama bok, dulu waktu SMA mereka tuh suka heboh gilak, e ternyata setelah lulus mereka ada something, hahaha...
dan malem itu mereka jadi peran utama, jadi lakon pokoknya, runtang runtung berdua, mesra banget dah pokonya... *ah bikin ngiri aja
perhatikan ketiga makhluk ini... mengautiskan diri, hapean mulu, tapi tahukah kalian? ini rekayasa, hahahha bukan fotonya yg direkayasa, tapi posenya, emang sengaja tuh pose kaya gituh... hahaha
this is it, Vendi Catur Prasetyo a.k.a Pencok alias Edric. die ituh kepala suku kelas IPS 2 dulu sodara-sodara, dua tahun dipercaya memimpin makluk-makluk ajaib... haha tuh liat, fokuskan penglihatan ke sekitar mulut, Edric banget kan?? ahahhaa *piss
jeng jeeengg... mas-mas nya ini unyuu bangett siih?? wajahnya bleaching dimana kalo boleh tau? *buakakkakakaka
nih, dua manusia yg slalu hebring dimanapun ketemu, joice dan yuwi....
dan ini adalah Vicky Wahyu Wibarma *si mas cakep tuh hihii, 3 tahun di SMA aku ditakdirin sekelas sama mas Pikok ini, manusia super dahsyat, bocor, cotbrah, rame gilaaakk... hhahahah
astaga! ini apa ya?? owalaahh... mas Vicky mau nganter nyonya ke pengajian ya?? wah, keluarga harmonis bener dah *hahhaha gilaak
dan yaii, kita beranjak dari tempat itu, ganti tempat bok, sebelum pergi, foto duyuu...
singkat cerita *lagi lagi, habis dari situ kita meluncur ke distro baru di sekitar jalan jaksa agung, tanpa novian, coz dia mesti pulang, dan tanpa sepasang sejoli Toyib dan Joice. Kita masuk ke distro khusus cowo. keluar dari situ, kita ke Lesoeng, keluar dari Lesoeng Budi sama Deppe pamit pulang, dan kita kehilangan Koko, oh ya, dimana dia??
dan kita- aku, yuwi, vicky, pencok, sica- menuju ke Gogo fc, makan lagi mereka..
di Gogo kita adalah 5 besar pengunjung terakhir yg dateng, dan jadi juara pengunjung terakhir yg pulang, kalo pegawainya gak ngasi isyarat halus kalo mereka mau tutup, mungkin kita bakal disitu sampe pagi *dasarrr
yah, dan perjalanan kita hari itu sampai disitu, kita pulang. aku pribadi pulang dengan perasaan campuraduk, antara seneng bisa ngabisin waktu sama mereka sampe lupa daratan, lega bisa ketemu mereka yg lama uda gak kuliat wajahnya secara live, sedih karna harus pisah dan gak tau kapan lagi akan ketemu dan bisa menggila kaya gitu lagi, dan takut kalo aku gak bisa lagi ketemu mereka, takut kehilangan mereka, takut gak bisa dapetin temen yg kaya mereka *lebay dikit yak.
yah begitulah kehidupan, seperti pepatah klasik, ada pertemuan ada perpisahan, karna gak ada yg abadi di dunia ini. dan yg namanya sahabat, gimana pun keadaan kita nantinya, bakal jadi orang seperti apa kita nanti, percaya deh, kita bakal ngerasain yg namanya RINDU. I'll miss you all, soda... thanks thanks thanks, terimakasi sudah membuatku merasa diinginkan, membuatku tak kesepian, membuatku jadi manusia yg lebih bermanfaat, bersyukur aku punya kalian...
ah, cukup deh mellow2nyaa, aku gak bisa bikin penutup *seperti yang biasanya,
pokoknya thanks a lot untuk kalian teman-teman ajaibkuu.... YOU'RE MY PRECIOUS TREASURE, thanks for colouring my day.... ^^
thanks for looking the photos,
thanks for reading this article :)
Breakfasting together with SODA
Tarrrraaaaaa.... tiwi ngeksis lagi membawa cerita baru, meski tokohnya tokoh lama...
Oke, kali ini aku bawa cerita panjang dari acara Buka Bersama Soda Smadapo ’09. FYI, soda smadapo ’09 ituh singkatan dari Sosial Dua SMA 2 Ponorogo angkatan 2009 *thanks buat Ficky koko ayam untuk nama ini. Jadi beginih, kemarin, tanggal 27 Agustus 2011, anak-anak manusia yang tergabung dalam suatu komunitas, yang dulunya disatukan di suatu kelas bernama Kelas IPS 2 SMADAPO, ngadain yang namanya Buka Bersama. Yaa, namanya juga bulan Ramadhan, acara kaya gini uda pasti jadi langganan, jadi acara favorit. Dan Alhamdulillah, Buka bersama anak-anak soda yang notabene rencana dan persiapanya mendadak ini bisa ter-realisasikan.
Now, langsung saja ke pokok cerita. Jadi, Buber kali ini diadain di salah satu resto lesehan di jalan juanda Ponorogo, namanya Istana Lesehan *piss, gak usa bayar royalty yak* Kita janjian jam 5 uda standby di tempat. Kita tinggal dateng aja, smua uda di handle sama si Koko. Tapi yaa namanya orang Indonesia, gak ada taste kalo gak nelat datengnya, haha. Dan yak, kebanyakan dari kita dateng di luar jam, alias ngareeet. Termasuk saya sodara-sodara. Berhubung rumah saya di luar kota, maka saya diminta menginap di ruma Eka Susanti alias Yuwi alias Kasus alias Madubala *thanks boo atas akomodasinya, mwah! Haha* Aku berangkat dari rumah Yuwi sekitar jam 5 an, waktu itu aku nebeng si Yuda toyib, Si Yuwi sama Vendy alias Pencok alias Edric (kepala sukunya Soda) dan diiringi Novi O.
Jerengjeenggg.... sampe disana uda banyak yg dateng, mereka nunggu di depan resto, di parkiranya. Omaigod... sumringah langsung deh mukaku ngeliat mereka, teman-teman ajaibkuuu... bagiku ini emang hal langka, ya secara rumahku jauh di luar kota Ponorogo, Kuliah juga pada jauh-jauh, pisah, kontek2an Cuma lewat sms, facebook... jadi yaa SENENG BANGET bisa liat muka merekaaa secara live lagi... haha. Singkat cerita kita pada salaman, Tanya kabar, terus berhubung waktu buka uda deket, kita langsung masuk ke area makan.
Dari 40an mantan penghuni IPS 2, yg dateng sekitar 20an lebih, yaa lebih dari separo laah. Menu uda tersedia di meja, kita segera ambil tempat. Aku duduk di sebelah Yuwi dan solmetnya, Karlina alias Danik alias Joice. HEBOH. Cuma itu yg bisa menggambarkan suasana menjelang buka saat itu. Aku piker-pikir kok gak mirip acara buka bersama yak? Malah mirip acara arisan panci deh, kalo orang jawa bilang ‘kemriyek’ ribut gilak. Tau sendiri lahh, kita-kita kan terkenal dengan mulut rusaknya alias cocot bubrah. Ngomong asal, bocor abis, rame, dan satu lagi, kita-kita adalah lansia gila kamera. Haha. Tanpa ada komando, segala kamera keluar dan jepret! Foto sana, foto sini, pose ini, pose itu. Itu sebelum makan.
Dan Adzan pun bergema, saatnya membatalkan puasa. Hening kah? Oo tidaak, tetep kaya tadi, rameee. Makan pun lanjuut, gak perlu waktu lama untuk bikin gelas jadi kosong dan piring jadi bersih dari makanan, lima menit juga kelar, haha tau apa yang lama? Ngobrolnyaaa... dan dengan singkat, sesi makan-makan uda selese. Meja uda amburadul sama piring kotor dan gelas minuman anak-anak. Dan kita masih tetap tenggelam dalam euphoria kebersamaan, ngobrol, bercanda, mbacot, berantem, eh gak ding. Seru deh pokoknya. Jepret sana-sini, dengan segala pose dan gaya gila masing-masing, entah setan apa yg merasuki, atau emang takdir ato bawaan orok aku juga gak tau kenapa makhluk-makhluk soda ini narsisnya audubileeh... seneng abis kalo disuruh foto, haha. Mungkin ada sekitar satu jam kita ngabisin waktu khusus sesi pemotretan disitu. Yaa kalo hasilnya bagus kaya hasil jepretan photographer professional sih gak masalah, lha ini, boro-boro bagus, bisa diliat bentuknya aja udah syukur Alhamdulillah.
Oiya lupa, uda cerita ngelantur amburadul sampe jabalekat, eh aku belum certain siapa aja yang dateng malem itu. Di kubu kaum adam, ada si penggagas acara, si Koko. Trus si kepala suku dan solmetnya, Vendy Pencok dan Vicky Pikok, ada Ketua Rohis dan sobat sebangkunya juga si Adib ma Arif. Trus si ketua ambalan, Khoirul. Kekasih hatinya Joice, si Yuda toyib. Si nyentrik Jangkung juga dateng *asli, saya suka gayanya Jangkung* yg dibilang Joice kaya tukang foto. Firman situk, Andriyan sijek, Pebri gabri, juga turut meramaikan, oia ada Didik si tukang emut ujung pulpen *kebiasaan jaman sekolah dulu* the last is si Greg. Ituh dari kubu Adam. Berarti yang gak dateng ada O’on, Jatu, Dwieko, Hero, Suron, dan Sutan Bolang.
Dari kubu hawa, ada Deviana telo yg dalam kesempatan ini menjabat sebagai renteniir. Trus ada Mahasti budi berduet dengan Devinur Deppe. Tentu saja ada si Eva pardo juga. Diramaikan pula dengan kehadiran Novian, Risty, dan Novia yg tergabung dalam trio macannya Soda. En den, ada Novi O juga. Yang gak kalah hebring adalah dua sahabat gila, Eka si Yuwi dan Karlina si Joice. Sumpah mereka berdua berhasil bikin aku ikut gila. Dab tarraaaa... ada Apik si pengantin baru, dia temen sebangkuku, dan terakhir... aku. Yang jauh-jauh dateng dari kota sebelah demi buber ini *Thanks to Yuwi ma Joice yg suda membujukku matimatian, haha* dan kaum hawa soda yg gak dateng malem itu adalah E’en, Farida jemprit, Ita ituk, Rila, Arum, Anjas, Pera, Dhila kuchink, and the fenomenal Harin sesepuuh.
And yaaa, hari suda makin larut, kita bubar dari tempat itu. Tapi bukan berarti acara selesai. Habis itu kita rencana hang out *ceileh bahasanya* pokoknya pergi bareeng. Gini deh kalo udah ngumpul, keasyikan sampe lupa daratan, lupa kalo ini bulan puasa. Bukannya pada tarawih tapi malah kluyuran. Maaf ya Allah, malam itu kami melupakanMU.
Acara buka bersama selesai, tapi cerita gak berakhir sampai sini, ada yang lebih spektakuler di cerita selanjutnya... oke bebeh, to be continued ^^
BUS
“Halo...” Ah, suara di seberang itu masih sama, aku hafal betul siapa pemilik suara berat itu.
“Iya Nat, ada apa?” Tanyaku canggung pada orang di seberang itu, kami berbicara via telepon. Kami memang tidak berhadapan secara langsung, tapi entah kenapa rasa canggung itu selalu mencul dari dalam diriku, dan aku pikir tidak begitu dengannya.
“Kamu kapan balik ke Jember?” Tanyanya
“Insyaallah besok Nat, ada apa ya?”
“Bener besok?”
“Iya, kan senin aku mesti kuliah.”
“Kira-kira jam berapa dari situ?”
“Biasanya jam 6 pagi aku berangkat dari rumah.”
“Oke deh kalo gitu.”
“Kenapa sih Nat emangnya?” Aku penasaran, ini kesekian kalinya dia bersikap begitu. Selalu membuat penasaran.
“Ah gak papa, udah dulu ya say. Asalamu’alaikum.”
Tuut tuut tuutt... belum sampai aku menjawab salam, dia sudah memutuskan telepon. Tunggu, dia panggil aku apa? Say? Ah, sudahlah. Itu tak penting, mungkin cuma perasaanku saja karna terlalu senang mendapat telepon dari Nathan. Ya, orang di seberang yang berbicara denganku di telepon barusan adalah Nathan. Dia teman sekelasku ketika aku duduk di bangku SMA. Nathan itu cukup mempesona bagiku. Bukan karna dia pria tampan nan keren juga popular di sekolah. Bukan juga pria kaya yang royal bak pangeran di dalam negeri dongeng. Bukan, Nathan bukan tipikal manusia seperti itu. Nathan yang kukenal itu seorang yang apa adanya. Dia suka berpetualang, tak banyak bicara, dan bijak. Meski bukan murid berprestasi yang rajin ikut olimpiade ini itu, lomba sana sini, bukan murid yang langganan memboyong piala karena menang di berbagai lomba mata pelajaran, tapi aku tahu dia pintar. Ah Nathan, sudah hampir setahun aku tidak bertemu dengannya semenjak pertemuan terakhir di gerbang sekolah ketika ada sebuah acara yang diadakan organisasi ekstrakulikuler yang melibatkan aku dan dia ketika kami masih SMA dulu.
***
Hari minggu. Waktunya aku kembali ke Jember, kota di Jawa Timur yang terletak hampir diujung timur pulau Jawa, bersebelahan dengan Banyuwangi. Entah demi apa aku memutuskan untuk kuliah disana, di salah satu perguruan tinggi negeri yang tak begitu terkenal. Universitas negeri paling timur di jawa. Jember berada di Jawa Timur bagian timur, sedangkan aku berasal dari kota yang berada di Jawa Timur bagian barat. Terlebih lagi rumahku terletak di sebuah desa yang bisa dibilang terpencil, susah diakses dari manapun. Dari pusat kota kabupatenku jauh, dari kota tetangga juga lumayan jauh. Sarana transportasi umum pun juga jarang dan sulit didapatkan. Karena terletak di daerah pegunungan, maka jalanan naik turun, tikungan tajam, tanjakkan curam, sudah biasa bagiku. Jauh, setidaknya aku harus menempuh perjalanan selama 12 jam untuk sampai ke kota perantauan itu. Tapi itu sudah biasa, setahun di sana dan pulang kampung tiap bulan membuatku kebal dengan perjalanan jauh, sudah akrab dengan berbagai macam bus. Meski awalnya aku sempat merasa lelah, bosan, tidak kuat tapi itu dulu, sekarang aku menikmatinya. 12 jam berada diatas bus, melewati banyak kota, bertemu bermacam tipe manusia.
Pukul 6 aku meninggalkan rumah beranjak menuju kota sebelah, ke terminal bus. Aku diantar oleh Bapak, orang paling setia di dunia, setia padaku. Melindungi putri sulungnya. Seperti yang kuceritakan, sulit mendapatkan angkutan umum, maka aku harus diantar ke terminal oleh Bapak. Itu pun bukan terminal kotaku, tapi kota tetangga, karena perjalanan akan semakin lama jika aku lewat terminal kotaku.
Satu setengah jam kemudian aku sampai di terminal Seloaji, kota reog. Tak berapa lama aku sudah mendapatkan bus, aku tak terlalu ambil pusing memilih bus pagi ini, ekonomi pun ayo. Aku mengambil tempat di barisan tengah di sebelah kiri, dekat jendela, itu favoritku. Bus berjalan, kulihat dari dalam bus Bapak masih berada di pinggir jalan menunggu bus yang kutumpangi berangkat. Kulambaikan tangan pada Bapak, Bapak membalasnya dengan senyuman. Ah, trenyuh rasanya melihat Bapak, aku tak bisa berkata apa-apa.
Masih banyak bangku kosong di bus ini. Kursi di sebelahku pun masih kosong, memang begini kalau hari minggu biasa, penumpang tak begitu ramai. Coba kalau musim libur panjang, libur anak sekolah atau libur mahasiswa, bisa dipastikan dari terminal pemberangkatan awal bus sudah penuh. Meski sekarang banyak orang yang lebih memilih menggunakan kendaraann pribadi, dan terlebih lagi semakin menjamurnya sepeda motor, tapi bus antar kota seperti ini tetap saja eksis.
Bus sudah berjalan beberapa kilometer, kondektur mulai berjalan menarik ongkos pada penumpang. Karena tujuan pertamaku adalah Terminal Purabaya, aku dikenakan tariff Rp. 22.000,- . Ada penumpang naik, salah seorang ibu paruh baya memandang kursi di sebelahku dan memutuskan duduk di sampingku. Sebelumnya ibu itu sempat tersenyum padaku.
“Permisi ya mbak ya.” Kata Ibu itu ramah.
“Iya bu, silakan.” Balasku.
Ibu itu mengingatkan aku pada mbah uti, bukan karna mbah uti-ku mirip dengan ibu itu. Sering sekali mbah uti berpesan padaku, kata beliau kalau memilih tempat duduk di bus, aku diminta hati-hati, aku diminta untuk memilih duduk di samping ibu-ibu yang sudah paruh baya, atau minimal perempuan lah. Kata beliau kalau duduk dengan wanita paruh baya pasti aman. Untuk jaga diri, karena aku seorang perempuan, masih muda pula. Resikonya besar kalau pergi sendiri. Selain Ibu, mbah uti lah yang paling repot dan paling cerewet tentang masalah seperti ini.
“Mau kemana mbak?” Tanya ibu paruh baya di sampingku.
“Mau ke Jember bu. Ibu sendiri?”
“Cuma ke Nganjuk situ.”
“Oh...”
“Di Jember kerja apa sekolah?”
“Kuliah bu.”
“Kok jauh sekali kuliahnya.”
“Ya rejekinya disana bu.” Kujawab seadanya.
Ibu ini ramah. Kami mengobrol di sepanjang perjalanan. Meski sesekali diam. Aku suka suasana seperti ini, bertemu ibu paruh baya yang ramah. Meski kelihatan jauh lebih muda dari mbah uti, ternyata ibu ini sudah punya cucu. Beliau bercerita, cucu ketiganya yang tinggal di Nganjuk sedang sakit dan beliau diminta datang kesana. Karna dari keempat cucunya, cucu yang sakit itulah yang paling dekat dengan beliau.
Ponselku bergetar, ada sms. Itu dari Nathan. Oh Tuhan, aku lupa kalau Nathan memintaku mengabarinya kalau aku berangkat ke Jember.
“Kin, jadi balik k Jmber kan?”
Begitu bunyi pesan singkat dari Nathan. Langsung kubalas.
“iya Nat, ini sampe saradan.”
Beberapa menit kemudian Nathan membalas.
“Ntar qta ktemu di terminal sby, bsa kan?”
Deg! Aku sedikit kaget membaca sms Nathan yang mengatakan dia ingin mengajak bertemu hari ini di terminal Surabaya. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba begini? Aku kembali membalas smsnya.
“bisa sih, tpi ada apa ya Nat?”
Tiga menit, 10 menit, tak ada balasan lagi dari Nathan. Oh Tuhaan, selalu begini. Nathan membuatku bingung lagi, ini sudah ke sekian kalinya Nathan bersikap misterius. Dulu, ketika kami masih SMA, dia sering bicara hal-hal aneh padaku, spontan. Tapi tak jarang pula dia diam seribu bahasa, cuek setengah mati. Tak basah diguyur hujan, tak tumbang dihempas badai. Sekarang Nathan kuliah di Surabaya, di salah satu PTS, sambil bekerja. Itu yang membuatku salut pula padanya, Nathan itu mandiri.
Aku tertidur dalam bus, ketika bangun orang yang duduk disampingku sudah berganti seorang wanita berumur 30an, seusia tanteku. Sudah lewat Nganjuk ternyata, Ibu itu sudah turun pastinya. Kulihat bus ini mulai penuh penumpang, bangku-bangku di depanku sudah hampir terisi penuh, begitu pula di belakang, ramai. Dan berhubung ini bus ekonomi non-ac maka aku mulai merasakan panas. Ah sudah biasa, beginilah sensasi naik bus ekonomi, angkutan rakyat. Pedagang asongan naik-turun bus, menjajakan dagangan mereka, demi meneruskan hidup. Pengamen-pengamen dengan bermacam style melompat, berlari dari bus satu ke yang lainnya, ada yang sendiri ada yang berombongan. Lagu yang mereka bawakan pun bermacam, ada yang membawakan lagu nostalgia, campursari, dangdut, koplo, pop dan bahkan lagu-lagu ciptaan ‘musisi jalanan’ yang liriknya pun seringkali menyindir keadaan sekitar, menyindir penumpang. Tapi bagaimana pun mereka, mereka seperti kita, demi menyambung hidup.
Sudah sampai wilayah Jombang. Ponselku bergetar lagi. Ada pesan masuk. Itu dari Nathan.
“Kin, nyampe mana?”
Kubalas secepatnya.
“smpe jombang Nat.”
Balasan datang dengan cepat.
“Ok deh, ati2 ya, kalo uda deket sms y?”
Kudiamkan, tidak ku balas.
Sekitar 20 menit kemudian, Nathan kembali mengirim pesan. Kali ini isinya membuatku makin bingung dengan apa yang sebenarnya ada di pikiran Nathan.
“Kin, apa kmu gak bertanya2 knpa tiba2 ak ajak kmu ktemu?”
Tanpa pikir panjang aku langsung membalasnya.
“penasaran bgt Nat, sbenernya ada apa sih? Crita donk Nat...”
Lama sekali Nathan membalas sms. Dan aku bingung sendiri, lagi-lagi aku bingung karena masalah yang sebenarnya tak penting, lagi-lagi juga karena Nathan. Kuputuskan untuk menceritakan hal ini pada Yuna, teman akrabku semenjak SMA, dia juga sekelas dengan aku dan Nathan. Hanya Yuna yang tau tentang perasaanku pada Nathan, hanya Yuna yang selalu kurepotkan kalau aku sedang memikirkan Nathan. Kuceritakan pada Yuna tentang telepon Nathan kemarin, juga mengenai hari ini yang tiba-tiba aku diajak bertemu oleh Nathan, semuanya. Aku bimbang, ini sepele, tapi membuat pikiranku semakin tak karuan. Yuna yang pengertian, tak pernah menertawakan apa yang aku ceritakan, sebisa mungkin dia memberi solusi, membesarkan hatiku. Tapi tak pernah membuatku untuk bermimpi lebih, semua yang dikatakan Yuna selalu rasional, logis. Itulah mengapa aku merasa nyaman membagi ceritaku perihal Nathan pada Yuna.
Bus terus melaju menuju tujuan terakhir, Surabaya. Dan aku masih berada di dalamnya. Wanita usia 30an itu masih duduk di sampingku, kini ia tertidur. Penumpang masih banyak yang naik turun, masih banyak pula pedagang asongan yang keluar masuk bus. Dan aku masih berada di dalamnya, dengan pikiran tertuju pada satu makhluk ciptaan Tuhan, Gusti Pramudya Nathan. Apa yang kutunggu datang, pesan dari Nathan lagi.
“Kin, lihat nanti aja y?”
Hanya itu, itu yang dia katakan? Ah Nathan. Kamu semakin tak jelas. Aku memutuskan untuk tidak membalas smsnya itu. Tapi tak ada perasaan jengkel sama sekali pada Nathan. Padahal sudah sering aku menghadapi Nathan yang seperti ini. Aku menengok keluar jendela, jalanan ramai. Pikiranku melayang ke beberapa bulan yang lalu, ketika kami baru sekitar 4 bulan berstatus sebagai mahasiswa. Setelah acara pelepasan siswa, kami hilang kontak dan baru saling berkabar lagi 4 bulan kemudian. Kami saling berbicara di facebook, kadang dengan status, dengan chatting. Ya memang tak sering tapi intens. Bahkan kami juga saling bertukar cerita lewat sms. Itu membuatku senang, mengingat ketika SMA, Nathan benar-benar tak pernah berbicara senyaman, selepas itu padaku. Yah, kupikir karna kami tak pernah bertatap langsung makanya kami merasa nyaman berbicara. Karna aku perempuan, tentu saja aku peka dengan perubahan yang terjadi pada orang yang kuistimewakan. Dan meski sedikit, aku merasakan itu pada diri Nathan. Aku masih ingat ketika Nathan mulai memanggilku dengan panggilan ‘Kin’. Namaku Kinanti, orang-orang sekitarku memanggilku Kinan, untuk menyapa mereka hanya menyebut ‘Ki’ atau ‘Nan’ dan Nathan lah satu-satunya orang yang memanggilku ‘Kin’ disetiap pesan yang dikirimnya, di setiap komentar yang ia tulis di akun facebook. Aku juga ingat kapan dia menulis atau bicara atu mengirim pesan yang aneh-aneh yang sebenarnya jika aku mau bersikap GR, menyiratkan perasaan yang tidak biasa.
Hari makin siang, bus terus melaju. Sekarang penumpang mulai penuh sesak, hingga ada yang berdiri. Bus semakin mendekati terminal Surabaya, sekitar 30 menit lagi mungkin sampai. Pikiranku masih dibayang-bayangi Nathan, membayangkan Nathan menungguku di jalur kedatangan bus, tersenyum disana, menyambutku. Oh, betapa manisnya ilusi ini. Seperti yang biasanya kusaksikan di drama-drama televisi.
Ponselku bergetar, kali ini telepon. Oh, dari Nathan. Segera kuangkat dengan perasaan tak karuan.
“Halo...” sapaku pelan.
“Halo Kin...” suaranya berat, kenapa ini?
“Iya Nat, kenapa?”
“Kamu sampai mana?”
“Lupa nih namanya, 20 menit lagi mungkin sampe kok.”
“...” Nathan diam.
“Nat...”
“E... Kin, maaf nih sebelumnya.”
“Iya, kenapa Nat?” Perasaanku mulai tak enak.
“Kalo ketemunya diganti lain kali aja gimana?”
“Maksudnya?” Jedeerr! Aku tahu apa yang akan terjadi. Aku mengulur waktu dengan bertanya maksud.
“Gini Kin, aku di kontrakan sendirian, bentar lagi ada sodara temenku yang dateng, mendadak. Gak enak kalo di kontrakan gak ada orang, soalnya temenku masih keluar gak tahu kapan baliknya.” Nathan menceritakan alasan kenapa ini harus batal. Aku tak peduli dengan cerita barusan.
“Oh iya nggak apa-apa Nat.”
“Maaaaff banget Kin. Nih aku berusaha ngubungin temenku bla bla bla..” Telingaku rasanya tuli mendadak, tak bisa mendengar apa yang dikatakan Nathan baru saja. Aku hanya mengiyakan.
“Iya Nat, nggak masalah kok, nyantai aja.” Kataku mencoba menutupi kekecewaan dengan mencoba tersenyum menjawab telepon dari Nathan.
“Yaudah, kamu ati2 ya Kin.”
“Iya...”
Tut tuutt tuuut telepon ditutup tanpa ada kata-kata penutup.
Aku menghela napas. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Kecewa? Iya aku kecewa karna aku telalu berharap bisa benar-benar bertemu dengan Nathan dan ternyata ini yang terjadi. Memang, bukan aku yang minta Nathan untuk menemuiku, tapi... ah sudahlah. Aku langsung menceritakan ini pada Yuna. Yuna kaget. Tapi yaa begitulah Nathan, tak bisa disalahkan. Tidak pasti, Nathan bisa dikategorikan sebagai salah satu dari sekian laki-laki yang tidak pasti. Oh Tuhaan, apa aku sudah kehilangan akal sehat? Kenapa perasaanku menjadi kalut begini? Hanya karna kata-kata tak pasti yang diucapkan oleh lelaki tak pasti seperti Nathan? Aku sudah tau bagaimana Nathan, harusnya aku tak terlalu berharap agar aku tak merasakan sakit ketika harapan itu tak terkabul.
Karena kekalutanku, aku tak sadar ketika bus mulai memasuki terminal Purabaya. Memasuki jalur kedatangan penumpang. Puing-puing harapanku yang tadinya hancur kukumpulkan kembali, mencoba menghibur diri, kembali berharap setengah mengkhayal. Mataku melihat sekeliling, kalau-kalau Nathan sudah menungguku di salah satu sudut terminal, dan berharap apa yang dikatakan Nathan di telepon tadi hanya bohong belaka untuk memberi kejutan padaku. Ya, otakku masih dipenuhi cerita drama. Tidak ada. Aku berjalan pelan menuju peron, membayar retribusi kemudian masuk ke ruang tunggu. Aku menuju toilet. Kunyalakan keran air disana, aku diam, menyandarkan diri ke tembok. Aku menangis. Tuhaaan... ada apa denganku? Aku terisak, pelan menyebut namanya... Nathan. Sudah Kinan! Kamu berlebihan. Aku menyadarkan diriku, segera kucuci mukaku, dan keluar dari toilet. Tidak bisa dibohongi, hatiku rasanya mengkomandoi semua anggota tubuhku untuk mencari kembali sosok Nathan. Biasanya, aku langsung menuju jalur 2 untuk segera mencari bus, melanjutkan perjalanan ke Jember. Tapi tidak untuk hari ini, kakiku seperti diarahkan untuk menuju ke tempat duduk di ruang tunggu. Aku duduk di sana. Dengan harapan sebesar butiran debu aku mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat untuk kukirimkan pada Nathan.
“Nat, gimana?” aku merasa bodoh mengirim pesan seperti itu pada Nathan.
Beberapa menit kemudian balasan dari Nathan kuterima.
“Maaf banget Kin, ga bsa.” Oh Kinan bodoh...
Kukumpulkan ketegaranku, kubalas smsnya.
“ok, kalo gtu aku berangkat dulu ya. Bye”
Kumatikan ponsel setelah membalas sms dari Nathan. Kumasukkan ke dalam tas. Aku beranjak dari kursi. Menatap bus yang berjajar di jalur keberangkatan. Aku berjalan kesana dengan mantap, meneruskan perjalanan ke Jember. Aku menuju jalur 2, tempat bus jurusan Jember berada. Kali ini aku ingin menenangkan diri, aku memutuskan naik bus patas. Memang ongkosnya hampir 2x lipat bus ekonomi, tapi biarlah. Aku butuh ketenangan, karena besok akan menjadi hari panjang. Di bus ini aku bisa sedikit lebih nyaman. Aku naik kedalam bus, masih lengang, mungkin 15 menit lagi berangkat. Kuambil tempat di deretan nomor 4 dari depan, di sisi kanan, dekat jendela. Bus sudah hampir penuh, kursi di sebelahku juga sudah terisi, seorang ibu paruh baya lagi, syukurlah. Ibu ini dandannya nyentrik, glamour. Tapi belum Nampak keramahannya.
Bus berangkat. Meninggalkan terminal purabaya. Beranjak menuju Jember. Sedari tadi pandanganku terus mengarah keluar jendela, diam seribu bahasa. Sampai akhirnya ibu itu buka suara.
“Kok kelihatanya sedih dik.” Kata ibu itu menyadarkanku dari lamunan.
“Oh, ah nggak bu.” Jawabku sekenanya.
“Ah masa? Kelihatan lho, itu matanya sembab.”
“Nggak kok bu...” Aku tersenyum.
“Ibu juga punya anak cewek lho, jadi ibu tahu.”
“Yah, anak muda bu.”
Ibu itu tertawa. Ramah.
“Ibu mau kemana?” Tanyaku.
“Mau ke Probolinggo, kamu?”
“Jember bu...”
“Kuliah ya?”
“Iya Bu. Ada perlu apa ke Probolinggo bu?”
Dan bla bla bla. Ibu itu mulai bercerita banyak hal. Perihal keperluanya ke Probolinggo yang ternyata adalah perjalanan dinas. Beliau pegawai pemkab. Tak hanya itu, beliau juga menceritakan keluarganya, pekerjaanya, bahkan masa mudanya. Tak jarang beliau menyelipkan guyonan ditengah-tengah cerita yang disampaikan. Aku cukup terhibur, ya aku seakan lupa dengan kejadian tadi dengan kehadiran ibu ini. Terimakasih ya Allah. Sepertinya skenariomu hari ini indah sekali, tertata rapi. Perjalanan Surabaya-Probolinggo memakan waktu sekitar 3 jam, cukup lama. Ibu itu pun mengakhiri ceritanya, dan tak lama tertidur, begitu pula aku.
Aku terbangun ketika awak bus berteriak mengisyaratkan bahwa sebentar lagi bus akan memasuki terminal. Ibu itu pun bersiap-siap.
“Ibu turun dulu ya, Nak. Sudah, jangan nangis lagi, nanti ibumu sedih lho.”
“Hehe, iya bu.” Aku tersenyum.
“Ya sudah, hati-hati ya...”
“Iya bu...”
Bus memasukki terminal Bayu Angga, Probolinggo, dan ibu itu pun turun dengan penumpang-penumpang lain. Di terminal ini banyak penumpang yang turun, dan biasanya penumpang yang naik hanya separuh dari penumpang yang turun. Bus pun mulai lengang. Banyak kursi kosong, dan ini akan bertahan sampai Jember karena bus ini tidak menaik-turunkan penumpang di pinggir jalan. Juga tidak ada pengasong maupun pengamen yang bebas keluar masuk. Ah tenangnya. Perjalanan dilanjutkan. Sepanjang perjalanan Probolinggo-Jember kugunakan untuk tidur. Seperti orang mati suri, aku tidur dengan pulasnya. Ketika bangun, hari sudah petang, bus sudah memasuki wilayah Jember.
Pukul 6 sore lebih aku sampai di Terminal Tawangalun Jember, turun dari bus aku menuju parkiran Angkot, memilih Agkot line D menuju kampus. Jarak terminal ke area kampus cukup jauh, 30 menit perjalanan. Di dalam angkot aku merasa ada yang salah dengan badanku, mual, perut sakit dan gemetar. Oh iya, aku lupa tidak makan siang, padahal aku membawa bekal dari rumah. Pantas saja badanku seperti ini rasanya. Hanya karna repot memikirkan Nathan, aku sampai melupakan makan siangku, bahan air minum pun hanya kutelan sedikit sekali.
Angkot berhenti di jalan Kalimantan, aku turun. Kurasakan badanku semakin tidak karuan, gemetar, pusing. Aku masih harus menyeberang jalan dan masuk ke gang untuk sampai di tempat kostku, ah sedikit lagi sampai. Aku menyeberang jalan, begitu ramai, begitu bising, kurasakan pandanganku kabur, kakiku gemetar, dan kurasakan ada sesuatu menabrakku. Sakit. Dan gelap.
6 juli 2011
2:43 AM
Label: Fiksi-ku
Ketagihan
Aku ketagihan...
ketagihan smsmu
ketagihan kata2 sederhanamu
ketagihan ucapan2mu
ketagihan perhatianmu
ketagihan cerita2mu
ketagihan perintah2mu
ketagihan saran2mu
ketagihan lagu2 dari kamu
ketagihan panggilan2 aneh dari kamu
ketagihan sapaanmu
ketagihan cuekmu...
Kenapa kamu bikin aku jadi kaya gini??
Aku jadi lebay gara2 kamu
Aku serasa jadi manusia melankolis di planet ini, gara2 kamu.
Label: Tulisan-ku
Karena
aku pernah merasa bodoh karena kamu,
dan aku tertawa heboh karena kamu,
pernah berbunga-bunga karena kamu,
aku uring-uringan gak jelas waktu itu...
juga karena kamu,
dan aku jengkel karena kamu,
aku merasa tertipu karena kamu,
aku tau ini-itu karena kamu,
dan aku pernah sedih juga karena kamu...
Aku sedang sedih,
tapi bukan karena kamu...
But, i can feel better cause of you...,
thanks for making me smile (again)
Label: Tulisan-ku