“Halo...” Ah, suara di seberang itu masih sama, aku hafal betul siapa pemilik suara berat itu.
“Iya Nat, ada apa?” Tanyaku canggung pada orang di seberang itu, kami berbicara via telepon. Kami memang tidak berhadapan secara langsung, tapi entah kenapa rasa canggung itu selalu mencul dari dalam diriku, dan aku pikir tidak begitu dengannya.
“Kamu kapan balik ke Jember?” Tanyanya
“Insyaallah besok Nat, ada apa ya?”
“Bener besok?”
“Iya, kan senin aku mesti kuliah.”
“Kira-kira jam berapa dari situ?”
“Biasanya jam 6 pagi aku berangkat dari rumah.”
“Oke deh kalo gitu.”
“Kenapa sih Nat emangnya?” Aku penasaran, ini kesekian kalinya dia bersikap begitu. Selalu membuat penasaran.
“Ah gak papa, udah dulu ya say. Asalamu’alaikum.”
Tuut tuut tuutt... belum sampai aku menjawab salam, dia sudah memutuskan telepon. Tunggu, dia panggil aku apa? Say? Ah, sudahlah. Itu tak penting, mungkin cuma perasaanku saja karna terlalu senang mendapat telepon dari Nathan. Ya, orang di seberang yang berbicara denganku di telepon barusan adalah Nathan. Dia teman sekelasku ketika aku duduk di bangku SMA. Nathan itu cukup mempesona bagiku. Bukan karna dia pria tampan nan keren juga popular di sekolah. Bukan juga pria kaya yang royal bak pangeran di dalam negeri dongeng. Bukan, Nathan bukan tipikal manusia seperti itu. Nathan yang kukenal itu seorang yang apa adanya. Dia suka berpetualang, tak banyak bicara, dan bijak. Meski bukan murid berprestasi yang rajin ikut olimpiade ini itu, lomba sana sini, bukan murid yang langganan memboyong piala karena menang di berbagai lomba mata pelajaran, tapi aku tahu dia pintar. Ah Nathan, sudah hampir setahun aku tidak bertemu dengannya semenjak pertemuan terakhir di gerbang sekolah ketika ada sebuah acara yang diadakan organisasi ekstrakulikuler yang melibatkan aku dan dia ketika kami masih SMA dulu.
***
Hari minggu. Waktunya aku kembali ke Jember, kota di Jawa Timur yang terletak hampir diujung timur pulau Jawa, bersebelahan dengan Banyuwangi. Entah demi apa aku memutuskan untuk kuliah disana, di salah satu perguruan tinggi negeri yang tak begitu terkenal. Universitas negeri paling timur di jawa. Jember berada di Jawa Timur bagian timur, sedangkan aku berasal dari kota yang berada di Jawa Timur bagian barat. Terlebih lagi rumahku terletak di sebuah desa yang bisa dibilang terpencil, susah diakses dari manapun. Dari pusat kota kabupatenku jauh, dari kota tetangga juga lumayan jauh. Sarana transportasi umum pun juga jarang dan sulit didapatkan. Karena terletak di daerah pegunungan, maka jalanan naik turun, tikungan tajam, tanjakkan curam, sudah biasa bagiku. Jauh, setidaknya aku harus menempuh perjalanan selama 12 jam untuk sampai ke kota perantauan itu. Tapi itu sudah biasa, setahun di sana dan pulang kampung tiap bulan membuatku kebal dengan perjalanan jauh, sudah akrab dengan berbagai macam bus. Meski awalnya aku sempat merasa lelah, bosan, tidak kuat tapi itu dulu, sekarang aku menikmatinya. 12 jam berada diatas bus, melewati banyak kota, bertemu bermacam tipe manusia.
Pukul 6 aku meninggalkan rumah beranjak menuju kota sebelah, ke terminal bus. Aku diantar oleh Bapak, orang paling setia di dunia, setia padaku. Melindungi putri sulungnya. Seperti yang kuceritakan, sulit mendapatkan angkutan umum, maka aku harus diantar ke terminal oleh Bapak. Itu pun bukan terminal kotaku, tapi kota tetangga, karena perjalanan akan semakin lama jika aku lewat terminal kotaku.
Satu setengah jam kemudian aku sampai di terminal Seloaji, kota reog. Tak berapa lama aku sudah mendapatkan bus, aku tak terlalu ambil pusing memilih bus pagi ini, ekonomi pun ayo. Aku mengambil tempat di barisan tengah di sebelah kiri, dekat jendela, itu favoritku. Bus berjalan, kulihat dari dalam bus Bapak masih berada di pinggir jalan menunggu bus yang kutumpangi berangkat. Kulambaikan tangan pada Bapak, Bapak membalasnya dengan senyuman. Ah, trenyuh rasanya melihat Bapak, aku tak bisa berkata apa-apa.
Masih banyak bangku kosong di bus ini. Kursi di sebelahku pun masih kosong, memang begini kalau hari minggu biasa, penumpang tak begitu ramai. Coba kalau musim libur panjang, libur anak sekolah atau libur mahasiswa, bisa dipastikan dari terminal pemberangkatan awal bus sudah penuh. Meski sekarang banyak orang yang lebih memilih menggunakan kendaraann pribadi, dan terlebih lagi semakin menjamurnya sepeda motor, tapi bus antar kota seperti ini tetap saja eksis.
Bus sudah berjalan beberapa kilometer, kondektur mulai berjalan menarik ongkos pada penumpang. Karena tujuan pertamaku adalah Terminal Purabaya, aku dikenakan tariff Rp. 22.000,- . Ada penumpang naik, salah seorang ibu paruh baya memandang kursi di sebelahku dan memutuskan duduk di sampingku. Sebelumnya ibu itu sempat tersenyum padaku.
“Permisi ya mbak ya.” Kata Ibu itu ramah.
“Iya bu, silakan.” Balasku.
Ibu itu mengingatkan aku pada mbah uti, bukan karna mbah uti-ku mirip dengan ibu itu. Sering sekali mbah uti berpesan padaku, kata beliau kalau memilih tempat duduk di bus, aku diminta hati-hati, aku diminta untuk memilih duduk di samping ibu-ibu yang sudah paruh baya, atau minimal perempuan lah. Kata beliau kalau duduk dengan wanita paruh baya pasti aman. Untuk jaga diri, karena aku seorang perempuan, masih muda pula. Resikonya besar kalau pergi sendiri. Selain Ibu, mbah uti lah yang paling repot dan paling cerewet tentang masalah seperti ini.
“Mau kemana mbak?” Tanya ibu paruh baya di sampingku.
“Mau ke Jember bu. Ibu sendiri?”
“Cuma ke Nganjuk situ.”
“Oh...”
“Di Jember kerja apa sekolah?”
“Kuliah bu.”
“Kok jauh sekali kuliahnya.”
“Ya rejekinya disana bu.” Kujawab seadanya.
Ibu ini ramah. Kami mengobrol di sepanjang perjalanan. Meski sesekali diam. Aku suka suasana seperti ini, bertemu ibu paruh baya yang ramah. Meski kelihatan jauh lebih muda dari mbah uti, ternyata ibu ini sudah punya cucu. Beliau bercerita, cucu ketiganya yang tinggal di Nganjuk sedang sakit dan beliau diminta datang kesana. Karna dari keempat cucunya, cucu yang sakit itulah yang paling dekat dengan beliau.
Ponselku bergetar, ada sms. Itu dari Nathan. Oh Tuhan, aku lupa kalau Nathan memintaku mengabarinya kalau aku berangkat ke Jember.
“Kin, jadi balik k Jmber kan?”
Begitu bunyi pesan singkat dari Nathan. Langsung kubalas.
“iya Nat, ini sampe saradan.”
Beberapa menit kemudian Nathan membalas.
“Ntar qta ktemu di terminal sby, bsa kan?”
Deg! Aku sedikit kaget membaca sms Nathan yang mengatakan dia ingin mengajak bertemu hari ini di terminal Surabaya. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba begini? Aku kembali membalas smsnya.
“bisa sih, tpi ada apa ya Nat?”
Tiga menit, 10 menit, tak ada balasan lagi dari Nathan. Oh Tuhaan, selalu begini. Nathan membuatku bingung lagi, ini sudah ke sekian kalinya Nathan bersikap misterius. Dulu, ketika kami masih SMA, dia sering bicara hal-hal aneh padaku, spontan. Tapi tak jarang pula dia diam seribu bahasa, cuek setengah mati. Tak basah diguyur hujan, tak tumbang dihempas badai. Sekarang Nathan kuliah di Surabaya, di salah satu PTS, sambil bekerja. Itu yang membuatku salut pula padanya, Nathan itu mandiri.
Aku tertidur dalam bus, ketika bangun orang yang duduk disampingku sudah berganti seorang wanita berumur 30an, seusia tanteku. Sudah lewat Nganjuk ternyata, Ibu itu sudah turun pastinya. Kulihat bus ini mulai penuh penumpang, bangku-bangku di depanku sudah hampir terisi penuh, begitu pula di belakang, ramai. Dan berhubung ini bus ekonomi non-ac maka aku mulai merasakan panas. Ah sudah biasa, beginilah sensasi naik bus ekonomi, angkutan rakyat. Pedagang asongan naik-turun bus, menjajakan dagangan mereka, demi meneruskan hidup. Pengamen-pengamen dengan bermacam style melompat, berlari dari bus satu ke yang lainnya, ada yang sendiri ada yang berombongan. Lagu yang mereka bawakan pun bermacam, ada yang membawakan lagu nostalgia, campursari, dangdut, koplo, pop dan bahkan lagu-lagu ciptaan ‘musisi jalanan’ yang liriknya pun seringkali menyindir keadaan sekitar, menyindir penumpang. Tapi bagaimana pun mereka, mereka seperti kita, demi menyambung hidup.
Sudah sampai wilayah Jombang. Ponselku bergetar lagi. Ada pesan masuk. Itu dari Nathan.
“Kin, nyampe mana?”
Kubalas secepatnya.
“smpe jombang Nat.”
Balasan datang dengan cepat.
“Ok deh, ati2 ya, kalo uda deket sms y?”
Kudiamkan, tidak ku balas.
Sekitar 20 menit kemudian, Nathan kembali mengirim pesan. Kali ini isinya membuatku makin bingung dengan apa yang sebenarnya ada di pikiran Nathan.
“Kin, apa kmu gak bertanya2 knpa tiba2 ak ajak kmu ktemu?”
Tanpa pikir panjang aku langsung membalasnya.
“penasaran bgt Nat, sbenernya ada apa sih? Crita donk Nat...”
Lama sekali Nathan membalas sms. Dan aku bingung sendiri, lagi-lagi aku bingung karena masalah yang sebenarnya tak penting, lagi-lagi juga karena Nathan. Kuputuskan untuk menceritakan hal ini pada Yuna, teman akrabku semenjak SMA, dia juga sekelas dengan aku dan Nathan. Hanya Yuna yang tau tentang perasaanku pada Nathan, hanya Yuna yang selalu kurepotkan kalau aku sedang memikirkan Nathan. Kuceritakan pada Yuna tentang telepon Nathan kemarin, juga mengenai hari ini yang tiba-tiba aku diajak bertemu oleh Nathan, semuanya. Aku bimbang, ini sepele, tapi membuat pikiranku semakin tak karuan. Yuna yang pengertian, tak pernah menertawakan apa yang aku ceritakan, sebisa mungkin dia memberi solusi, membesarkan hatiku. Tapi tak pernah membuatku untuk bermimpi lebih, semua yang dikatakan Yuna selalu rasional, logis. Itulah mengapa aku merasa nyaman membagi ceritaku perihal Nathan pada Yuna.
Bus terus melaju menuju tujuan terakhir, Surabaya. Dan aku masih berada di dalamnya. Wanita usia 30an itu masih duduk di sampingku, kini ia tertidur. Penumpang masih banyak yang naik turun, masih banyak pula pedagang asongan yang keluar masuk bus. Dan aku masih berada di dalamnya, dengan pikiran tertuju pada satu makhluk ciptaan Tuhan, Gusti Pramudya Nathan. Apa yang kutunggu datang, pesan dari Nathan lagi.
“Kin, lihat nanti aja y?”
Hanya itu, itu yang dia katakan? Ah Nathan. Kamu semakin tak jelas. Aku memutuskan untuk tidak membalas smsnya itu. Tapi tak ada perasaan jengkel sama sekali pada Nathan. Padahal sudah sering aku menghadapi Nathan yang seperti ini. Aku menengok keluar jendela, jalanan ramai. Pikiranku melayang ke beberapa bulan yang lalu, ketika kami baru sekitar 4 bulan berstatus sebagai mahasiswa. Setelah acara pelepasan siswa, kami hilang kontak dan baru saling berkabar lagi 4 bulan kemudian. Kami saling berbicara di facebook, kadang dengan status, dengan chatting. Ya memang tak sering tapi intens. Bahkan kami juga saling bertukar cerita lewat sms. Itu membuatku senang, mengingat ketika SMA, Nathan benar-benar tak pernah berbicara senyaman, selepas itu padaku. Yah, kupikir karna kami tak pernah bertatap langsung makanya kami merasa nyaman berbicara. Karna aku perempuan, tentu saja aku peka dengan perubahan yang terjadi pada orang yang kuistimewakan. Dan meski sedikit, aku merasakan itu pada diri Nathan. Aku masih ingat ketika Nathan mulai memanggilku dengan panggilan ‘Kin’. Namaku Kinanti, orang-orang sekitarku memanggilku Kinan, untuk menyapa mereka hanya menyebut ‘Ki’ atau ‘Nan’ dan Nathan lah satu-satunya orang yang memanggilku ‘Kin’ disetiap pesan yang dikirimnya, di setiap komentar yang ia tulis di akun facebook. Aku juga ingat kapan dia menulis atau bicara atu mengirim pesan yang aneh-aneh yang sebenarnya jika aku mau bersikap GR, menyiratkan perasaan yang tidak biasa.
Hari makin siang, bus terus melaju. Sekarang penumpang mulai penuh sesak, hingga ada yang berdiri. Bus semakin mendekati terminal Surabaya, sekitar 30 menit lagi mungkin sampai. Pikiranku masih dibayang-bayangi Nathan, membayangkan Nathan menungguku di jalur kedatangan bus, tersenyum disana, menyambutku. Oh, betapa manisnya ilusi ini. Seperti yang biasanya kusaksikan di drama-drama televisi.
Ponselku bergetar, kali ini telepon. Oh, dari Nathan. Segera kuangkat dengan perasaan tak karuan.
“Halo...” sapaku pelan.
“Halo Kin...” suaranya berat, kenapa ini?
“Iya Nat, kenapa?”
“Kamu sampai mana?”
“Lupa nih namanya, 20 menit lagi mungkin sampe kok.”
“...” Nathan diam.
“Nat...”
“E... Kin, maaf nih sebelumnya.”
“Iya, kenapa Nat?” Perasaanku mulai tak enak.
“Kalo ketemunya diganti lain kali aja gimana?”
“Maksudnya?” Jedeerr! Aku tahu apa yang akan terjadi. Aku mengulur waktu dengan bertanya maksud.
“Gini Kin, aku di kontrakan sendirian, bentar lagi ada sodara temenku yang dateng, mendadak. Gak enak kalo di kontrakan gak ada orang, soalnya temenku masih keluar gak tahu kapan baliknya.” Nathan menceritakan alasan kenapa ini harus batal. Aku tak peduli dengan cerita barusan.
“Oh iya nggak apa-apa Nat.”
“Maaaaff banget Kin. Nih aku berusaha ngubungin temenku bla bla bla..” Telingaku rasanya tuli mendadak, tak bisa mendengar apa yang dikatakan Nathan baru saja. Aku hanya mengiyakan.
“Iya Nat, nggak masalah kok, nyantai aja.” Kataku mencoba menutupi kekecewaan dengan mencoba tersenyum menjawab telepon dari Nathan.
“Yaudah, kamu ati2 ya Kin.”
“Iya...”
Tut tuutt tuuut telepon ditutup tanpa ada kata-kata penutup.
Aku menghela napas. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Kecewa? Iya aku kecewa karna aku telalu berharap bisa benar-benar bertemu dengan Nathan dan ternyata ini yang terjadi. Memang, bukan aku yang minta Nathan untuk menemuiku, tapi... ah sudahlah. Aku langsung menceritakan ini pada Yuna. Yuna kaget. Tapi yaa begitulah Nathan, tak bisa disalahkan. Tidak pasti, Nathan bisa dikategorikan sebagai salah satu dari sekian laki-laki yang tidak pasti. Oh Tuhaan, apa aku sudah kehilangan akal sehat? Kenapa perasaanku menjadi kalut begini? Hanya karna kata-kata tak pasti yang diucapkan oleh lelaki tak pasti seperti Nathan? Aku sudah tau bagaimana Nathan, harusnya aku tak terlalu berharap agar aku tak merasakan sakit ketika harapan itu tak terkabul.
Karena kekalutanku, aku tak sadar ketika bus mulai memasuki terminal Purabaya. Memasuki jalur kedatangan penumpang. Puing-puing harapanku yang tadinya hancur kukumpulkan kembali, mencoba menghibur diri, kembali berharap setengah mengkhayal. Mataku melihat sekeliling, kalau-kalau Nathan sudah menungguku di salah satu sudut terminal, dan berharap apa yang dikatakan Nathan di telepon tadi hanya bohong belaka untuk memberi kejutan padaku. Ya, otakku masih dipenuhi cerita drama. Tidak ada. Aku berjalan pelan menuju peron, membayar retribusi kemudian masuk ke ruang tunggu. Aku menuju toilet. Kunyalakan keran air disana, aku diam, menyandarkan diri ke tembok. Aku menangis. Tuhaaan... ada apa denganku? Aku terisak, pelan menyebut namanya... Nathan. Sudah Kinan! Kamu berlebihan. Aku menyadarkan diriku, segera kucuci mukaku, dan keluar dari toilet. Tidak bisa dibohongi, hatiku rasanya mengkomandoi semua anggota tubuhku untuk mencari kembali sosok Nathan. Biasanya, aku langsung menuju jalur 2 untuk segera mencari bus, melanjutkan perjalanan ke Jember. Tapi tidak untuk hari ini, kakiku seperti diarahkan untuk menuju ke tempat duduk di ruang tunggu. Aku duduk di sana. Dengan harapan sebesar butiran debu aku mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat untuk kukirimkan pada Nathan.
“Nat, gimana?” aku merasa bodoh mengirim pesan seperti itu pada Nathan.
Beberapa menit kemudian balasan dari Nathan kuterima.
“Maaf banget Kin, ga bsa.” Oh Kinan bodoh...
Kukumpulkan ketegaranku, kubalas smsnya.
“ok, kalo gtu aku berangkat dulu ya. Bye”
Kumatikan ponsel setelah membalas sms dari Nathan. Kumasukkan ke dalam tas. Aku beranjak dari kursi. Menatap bus yang berjajar di jalur keberangkatan. Aku berjalan kesana dengan mantap, meneruskan perjalanan ke Jember. Aku menuju jalur 2, tempat bus jurusan Jember berada. Kali ini aku ingin menenangkan diri, aku memutuskan naik bus patas. Memang ongkosnya hampir 2x lipat bus ekonomi, tapi biarlah. Aku butuh ketenangan, karena besok akan menjadi hari panjang. Di bus ini aku bisa sedikit lebih nyaman. Aku naik kedalam bus, masih lengang, mungkin 15 menit lagi berangkat. Kuambil tempat di deretan nomor 4 dari depan, di sisi kanan, dekat jendela. Bus sudah hampir penuh, kursi di sebelahku juga sudah terisi, seorang ibu paruh baya lagi, syukurlah. Ibu ini dandannya nyentrik, glamour. Tapi belum Nampak keramahannya.
Bus berangkat. Meninggalkan terminal purabaya. Beranjak menuju Jember. Sedari tadi pandanganku terus mengarah keluar jendela, diam seribu bahasa. Sampai akhirnya ibu itu buka suara.
“Kok kelihatanya sedih dik.” Kata ibu itu menyadarkanku dari lamunan.
“Oh, ah nggak bu.” Jawabku sekenanya.
“Ah masa? Kelihatan lho, itu matanya sembab.”
“Nggak kok bu...” Aku tersenyum.
“Ibu juga punya anak cewek lho, jadi ibu tahu.”
“Yah, anak muda bu.”
Ibu itu tertawa. Ramah.
“Ibu mau kemana?” Tanyaku.
“Mau ke Probolinggo, kamu?”
“Jember bu...”
“Kuliah ya?”
“Iya Bu. Ada perlu apa ke Probolinggo bu?”
Dan bla bla bla. Ibu itu mulai bercerita banyak hal. Perihal keperluanya ke Probolinggo yang ternyata adalah perjalanan dinas. Beliau pegawai pemkab. Tak hanya itu, beliau juga menceritakan keluarganya, pekerjaanya, bahkan masa mudanya. Tak jarang beliau menyelipkan guyonan ditengah-tengah cerita yang disampaikan. Aku cukup terhibur, ya aku seakan lupa dengan kejadian tadi dengan kehadiran ibu ini. Terimakasih ya Allah. Sepertinya skenariomu hari ini indah sekali, tertata rapi. Perjalanan Surabaya-Probolinggo memakan waktu sekitar 3 jam, cukup lama. Ibu itu pun mengakhiri ceritanya, dan tak lama tertidur, begitu pula aku.
Aku terbangun ketika awak bus berteriak mengisyaratkan bahwa sebentar lagi bus akan memasuki terminal. Ibu itu pun bersiap-siap.
“Ibu turun dulu ya, Nak. Sudah, jangan nangis lagi, nanti ibumu sedih lho.”
“Hehe, iya bu.” Aku tersenyum.
“Ya sudah, hati-hati ya...”
“Iya bu...”
Bus memasukki terminal Bayu Angga, Probolinggo, dan ibu itu pun turun dengan penumpang-penumpang lain. Di terminal ini banyak penumpang yang turun, dan biasanya penumpang yang naik hanya separuh dari penumpang yang turun. Bus pun mulai lengang. Banyak kursi kosong, dan ini akan bertahan sampai Jember karena bus ini tidak menaik-turunkan penumpang di pinggir jalan. Juga tidak ada pengasong maupun pengamen yang bebas keluar masuk. Ah tenangnya. Perjalanan dilanjutkan. Sepanjang perjalanan Probolinggo-Jember kugunakan untuk tidur. Seperti orang mati suri, aku tidur dengan pulasnya. Ketika bangun, hari sudah petang, bus sudah memasuki wilayah Jember.
Pukul 6 sore lebih aku sampai di Terminal Tawangalun Jember, turun dari bus aku menuju parkiran Angkot, memilih Agkot line D menuju kampus. Jarak terminal ke area kampus cukup jauh, 30 menit perjalanan. Di dalam angkot aku merasa ada yang salah dengan badanku, mual, perut sakit dan gemetar. Oh iya, aku lupa tidak makan siang, padahal aku membawa bekal dari rumah. Pantas saja badanku seperti ini rasanya. Hanya karna repot memikirkan Nathan, aku sampai melupakan makan siangku, bahan air minum pun hanya kutelan sedikit sekali.
Angkot berhenti di jalan Kalimantan, aku turun. Kurasakan badanku semakin tidak karuan, gemetar, pusing. Aku masih harus menyeberang jalan dan masuk ke gang untuk sampai di tempat kostku, ah sedikit lagi sampai. Aku menyeberang jalan, begitu ramai, begitu bising, kurasakan pandanganku kabur, kakiku gemetar, dan kurasakan ada sesuatu menabrakku. Sakit. Dan gelap.
6 juli 2011
2:43 AM
BUS
Diposting oleh
dianpra
Sabtu, 06 Agustus 2011
Label: Fiksi-ku
0 komentar:
Posting Komentar