Siang itu
matahari bersinar cukup kuat, panasnya menyengat. Yul sedang menikmati es teh
di beranda belakang rumahnya bersama adiknya, Nev. Ini hari minggu, waktunya
Yul untuk bermalas-malasan setelah 6 hari sebelumnya tenaga dan pikiranya
terkuras di tempat kerja. Sedang asyiknya bersantai, ibunya memanggil. Suara
beliau menggema dari ruang tengah, semakin jelas, mendekat ke telinganya. Yul
segera bergegas menghampiri sumber suara.
“Dicari temenmu
itu lho, Yul.” Kata ibunya.
“Siapa bu?”
“Tuh liat aja.”
Ibunya lalu melenggang ke dapur untuk membuatkan minum.
Yul melongok
kearah teras, seorang laki-laki tengah duduk di kursi teras depan. Itu Fath,
teman semasa SMA nya. Yul kaget. Segera dia merapikan penampilanya dan ke depan
menemui Fath.
“Fath?” sapa Yul.
“Hai Yul. Sibuk?”
Tanya Fath.
“Ah enggak kok,
sesuatu banget kamu tiba-tiba dateng kesini Fath.”
Mereka pun
mengobrol sedikit, obrolan khas anter teman setelah kurang lebih setahun tak
bertemu. Menanyakan kabar, kegiatan sehari-hari, sampai menceritakan teman yang
lain. Sampai akhirnya Fath mengutarakan sesuatu, tujuan utamanya.
“Kamu masih
sering komunikasi sama Al, Yul?” Tanya Fath pada Yul, menanyakan tentang Al,
teman mereka, sekaligus mantan kekasih Fath.
“Heemh...” Yul
menghela napas.
“Kenapa Yul?”
“Itu yang aku gak
ngerti. Semenjak akun fb nya nggak aktif, twitternya dihapus, Al jadi
misterius. Disms jarang bales, ditelpon nggak diangkat, blog nya juga gak
pernah diupdate.”
“Oh...”
“Kenapa, Fath?”
“Ternyata Al kaya
gitu ya Yul.”
“Kaya gitu
gimana?”
“Banyak banget
yang dia rahasiain dari aku, Yul.”
“Rahasia?”
Dan Fath mulai
bercerita panjang lebar mengenai kisahnya dengan Al, tentang beberapa hal yang
disembunyikan Al dari Fath, dan akhirnya kini terbongkar.
“Dan kamu percaya
sama semua itu, Fath?” Tanya Yul setelah Fath mengakhiri ceritanya.
“Yaaa...”
“Apa kamu juga
tau Fath kalau Al itu suka kamu sejak SMA? Semenjak dia kenal kamu Fath?” Yul
memutus pembicaraan Fath dan melontarkan pertanyaan yang membuat Fath
tercengang.
“Bahkan sebelum
aku kenal sama Al, Al udah suka sama kamu, dia perhatiin kamu, dia naksir kamu,
Fath.” Lanjut Yul.
“Ah bull shit
itu, Yul.” Fath menyangkal, padahal wajahnya sudah jelas memperlihatkan ketidak
percayaan namun penuh Tanya.
“Kenapa kamu
bilang gitu? Kamu gak percaya?”
“Apa aku kudu
percaya?”
“Iya, harus
percaya. Karna Al gak pernah bohong sama aku.”
“Tapi Al pernah
bohong ke aku, Yul.”
“Tapi dia
bohongin kamu semata-mata demi kebaikan kalian, Fath.”
Fath terdiam.
“Kalian kenal
semenjak kelas 1 SMA kan? Karna kalian ikut ekskul yang sama, kalian saling
kenal, smenjak itulah Al ada rasa ke kamu, Al punya perasaan khususn ke kamu,
Al naksir kamu. Bahkan itu sebelum aku kenal yang namanya Al. Selama 3 tahun
dia jatuh cinta diam-diam ke kamu, tanpa ada yang tahu kecuali dia dan Tuhan.
Waktu kamu punya pacar, Al diam. Waktu kamu asik dengan dunia kamu, Al
diam-diam ikut nikmatin. Sampai akhirnya kita lulus SMA, Al sedikit demi
sedikit berani certain isi hatinya ke aku, dan semuanya tentang kamu. Dan kamu
datang ke Al, masuk ke kehidupan Al lebih dalam. Kamu tau Fath, gimana
bahagianya Al saat itu? Saat perasaanya terbalas? Mengharukan Fath. Selama 4
tahun dia diam, akhirnya itu gak sia-sia, yaaa meski akhirnya kalian harus
pisah gara-gara Al sendiri...”
“Cukup Yul, itu
udah dulu. Masa lalu.” Air muka Fath berubah, bimbang.
“Ya itu emang
dulu. Tapi sekarang, kayanya masih sama Fath. Sekarang pun, aku yakin, Al masih
sayang sama kamu.”
“Mana buktinya,
Yul? Sayang macam apa kalau dia menghilang kaya gini? Lagi pula kami udah lama
putus, itu udah berlalu dari 4 tahun lalu.”
“Memang nggak ada
bukti. Setidaknya sampai detik terakhir Al ngubungi aku sebulan lalu, Al masih
sempet bilang kalau dia masih sayang sama kamu. Dan masalah Al menghilang ini,
aku rasa dia punya alasan, Fath.”
Fath makin kalut
mendengar uraian Yul, tentang Al, mantan kekasihnya. Pikiranya kembali ke 4
tahun lalu, dimana dia mulai merasa ada yang beda pada perasaanya pada Al. Al
yang perhatian padanya, Al yang ada ketika dia sedang dilema, Al yang sabar
mendengar keluh kesahnya. Ah, Al... kenapa kisah mereka harus berakhir begitu
saja, tanpa alasan yang jelas. Tanpa sadar, Fath meneteskan air matanya, di
hadapan Yul, teman dekat Al.
“Al, dia pernah
menjalin hubungan dengan orang lain setelah dia putus sama kamu, Fath. Tapi
sia-sia, perasaanya ke kamu nggak bisa hilang, dia tersiksa sendiri. Klasik
memang, masalah cinta sampai mendominasi hidupnya, kaya nggak ada hal yang
lebih penting dari cinta. Tapi ya memang begitu realitanya...”
Fath
membungkukkan badanya, menopangkan tanganya di lutut dan menutup wajahnya
dengan telapak tangan. Masih menangis. Mungkin tidak pantas dipandang, dan
mengagetkan jika melihat lelaki yang selalu Nampak tegar seperti Fath bisa
lumpuh seketika mendengar ada perempuan menyimpan rasa padanya sebegitu lama, 9
tahun.
Hening. Yul tak
bisa bicara apa-apa melihat Fath yang hanyut dalam dukanya, merasa kehilangan
Al. Dan Al sekarang menghilang, tidak ada yang tahu keberadaan Al. Tak satupun
dari mereka, juga teman-temannya.
***
4 hari setelah
tragedy tangisan di teras rumah Yul, Fath datang kembali. Mencari Yul. Sejam
yang lalu dia menerima pesan singkat dari Ind, teman akrab Al semasa kuliah.
Dalam pesanya, Ind mengatakan bahwa Al sekarang di kampung halamanya, dia
sedang dirawat di rumah sakit. Tapi Ind tidak menyebutkan penyakit apa yang
diderita Al. Sontak Fath kaget membaca pesan itu, pulang dari tempat kerja,
Fath menuju rumah Yul bermaksud mengabari Yul perihal Al.
“Kalo kita kesana
gimana, Yul?” Fath bermaksud mengajak Yul mengunjungi Al di kotanya.
“Aku pikir emang
sebaiknya gitu, Fath.” Yul setuju.
Hari itu juga
mereka berangkat menuju kota tempat tinggal Al. Perjalanan ditempuh kurang
lebih sekitar 3 jam dari kota tempat keduanya tinggal. Menjelang senja mereka
memasuki kota. Berbekal informasi dari teman Al tentang rumah sakit tempat Al
dirawat, mereka mengelilingi kota yang tak begitu asing bagi mereka, kota
kelahiran Al. Dan mereka pun menemukan rumah sakit tempat Al dirawat. Setelah
melewati beberapa lorong akhirnya mereka menemukan ruangan tempat Al dirawat.
Tepat di depan kamar, ada seorang perempuan sebaya mereka, duduk termangu di
kursi teras kamar. Itu Ind, teman akrab Al.
“Permisi,
Mbak...” Sapa Fath.
Perempuan itu
terhenyak dari lamunannya, sadar. Dan ia langsung berdiri manyambut kedatangan
Fath dan Yul. Dia tahu, Itu Fath. Seperti yang sering digambarkan Al padanya,
hitam manis, bermata tajam.
“Fath ya?” Ind
memastikan.
“Oh iya, saya
Fath.” Mereka pun bersalaman, saling mengenalkan diri. Begitu pula dengan Yul.
Fath dan Yul tak
langsung masuk ke kamar, mereka berbincang sejenak dengan Ind.
“Baru semalam aku
sampai disini, niatku pengen kasih kejutan buat Al. Nggak taunya, malah aku
yang terkejut...” Ind membuka ceritanya, dia kemudian menceritakan sedikit hal
tentang yang terjadi sebenarnya. Kenapa Al menghilang tiba-tiba dari beberapa
teman lamanya.
“Jadiii.... itu
sebab Al menghilang dari kami, Mbak?” Fath belum percaya.
“Kita boleh lihat
Al kan?” Tanya Yul.
“Oh iya, silakan,
ada Ibu Al di dalam.” Ind kemudian membukakan pintu kamar untuk Fath dan Yul.
Di dalam, Al
terbujur lemah di ranjang, badanya kurus, matanya tertutup. Di sampingnya,
Ibunya duduk dengan Al-Qur’an di tangan. Membacakan Ayat suci untuk anak semata
wayangnya, Al. Menyadari kedatangan Fath dan Al, sang ibu kemudian menghentikan
kegiatanya dan menyambut Fath dan Yul. Mereka berdua pun kemudian menyalami Ibu
Al. Ini kedua kalinya Yul bertemu Ibu Al, tapi bagi Fath ini pertama kalinya.
Sedikit berbasa-basi, Ibu ini Nampak sangat tegar menghadapi ujian ini. Fath
dan Yul menghampiri ranjang Al. Mereka menatap sahabat karibnya ini
dalam-dalam. Sedih.
“Al cuma tidur,
tadi habis minum obat. Insyaallah, lusa Al menjalani operasi...”
“Lusa tante?”
Fath memastikan.
“Iya, Nak Fath.
Yah semoga operasinya lancar ya, dan Al sehat kembali. Doakan ya nak...” pinta
Ibu Al.
“Iya Tante, kami
harap juga begitu.” Tandas Yul.
“Yah, kalian kan
teman dekatnya Al, pasti Al juga sudah cerita tentang sakitnya pada kalian.
Kalian pasti tahu kan bagaimana kebiasaan Al waktu kuliah dulu? Bandel kalau
disuruh jaga kondisi badan, keluar-masuk rumah sakit dengan kasus yang itu-itu
saja, pasti masalah pencernaan. Yang infeksi lambung lah, infeksi usus. Rasanya
tiap semester pasti Al masuk rumah sakit karna itu. Tante sampai mau pindahin
kuliah Al ke dekat-dekat sini saja, biar dekat dengan tante, biar ada yang
mengontrol, biar Al gak sembarangan. Tapi Al tetap bertahan disana, sampai dia
lulus, dan keinginannya untuk mengajar di sekolah kejuruan tercapai. Tante
senang sekali, Al kembali ke kota ini, berkumpul sama tante lagi. Tapii...
malah begini yang terjadi, padahal kebiasaan buruknya sudah berkurang karna
dibawah pengawasan om sama tante. Tapi ternyata sekarang justru kanker yang
menyerangnya....” ibu Al bercerita panjang lebar mengenai putri satu-satunya itu.
Beliau membelai rambut Al, menatapnya tegar. Fath tercengang melihatnya, di
benaknya berkelebatan bayangan-bayangan 5 tahun lalu, dimana saat dia menjalin
hubungan dengan Al. Al tidak membalas pesanya sama sekali, menghilang begitu
saja, dan dia mulai kesal pada Al. Tanpa dia tahu ternyata Al sedang sakit dan
dirawat di rumah sakit kala itu. Betapa menyesalnya dia menyalahkan Al yang
menghilang begitu saja tanpa kabar.
Setelah
bercerita, Ibu Al pergi keluar kamar bersama Ind. Kini tinggal Fath dan Yul yang
bersama Al dikamar. Yul menangis melihat sahabat kentalnya kini terbaring lemah
di ranjang, pucat. Terakhir kali mereka bertemu tahun lalu, di pernikahan salah
satu teman mereka, waktu itu Al baru saja diwisuda, dia Nampak sehat dan ceria
sekali. Setelah itu Al kembali ke kotanya, bekerja sebagai guru di sekolah
keguruan, selama itu mereka masih saling berhubungan, entah lewat sms, telepon,
jejaring sosial. Hingga sampai akhirnya sebulan yang lalu, semua akun jejaring
sosial Al telah tidak aktif, no.ponselnya pun diganti, tidak bisa dihubungi,
Yul kehilangan kontak dengan Al. Dan ternyata ini yang terjadi pada Al. Yul
tidak bisa berkata apa-apa, takut tangisanya terdengar Al yang sedang tidur,
akhirnya dia keluar. Meninggalkan Fath dan Al berdua.
Hening, Fath
termenung memandangi keadaan Al. Ia mencoba berbicara lirik kepada Al yang
sedang tidur, entah Al bisa mendengarnya atau tidak.
“Al... “
Fath memanggil Al
lirih. Al tak bergerak.
“Al... kenapa sih
kamu sediam itu? Apa aku terlalu menakutkan buat kamu? Sampai kamu diam
sebegitu lamanya, harus nunggu sampai aku yang mulai...” Fath mengungkit masa
lalu.
“Al, aku heran
sama kamu, kamu kuat banget diem segitu lamanya, falling in love in silent.
Kamu tuh lucu tau nggak, 4 tahun diem gak berkutik sama sekali, untung aku
punya rasa yang sama kaya kamu, jadi aku yang mulai buka perasaan, kalo nggak?
Gimana jadinya ya, Al? Apa kamu bakal diem selamanya? Al... Al... status kita
emang udah berakhir dari 5 tahun lalu, tapi tau nggak Al? Perasaanku nggak lho,
masih ada sampai sekarang. Klasik ya Al, ngapain aku ngomong ini ke kamu?
Hiperbol. Tapi biarin deh, sekali-sekali hidup juga boleh disetting kaya film,
dramatis.”
Kemudian hening.
Al masih diam tak bergerak, tapi hembusan nafasnya terasa. Fath memberanikan
diri memegang tangan Al.
“Sekarang, kamu
gak bisa lari lagi Al. Yul udah cerita semua tentang kamu... semuanya. Dan itu
kejutan buat aku. Kemanapun kamu menghilang, kamu kabur, aku pasti bisa nemuin
kamu Al. Jangan ngilang lagi ya... janji sama aku ya Al, setelah kamu operasi,
kamu pulih, dan kamu sehat lagi, kamu nggak akan diem kaya yang dulu-dulu.
Bilang Al, bilang apa yang kamu rasain. Ya Al? Kamu mau kan?” Fath menggenggam
tangan Al makin erat. Sekuat-kuatnya Fath menahan diri untuk tidak menangis,
akirnya dia tumbang juga. Fath terisak, di hadapan perempuan yang diam-diam
masih ia harapkan untuk mengisi ruang hatinya kembali.
Fath mencoba
melepas genggamanya di tangan Al, tapi sontak ia terkejut, tangan kurus itu
yang kini menggeggamnya, menahan tangannya untuk tidak terlepas. Al terbangun,
matanya terbuka, pipinya telah basah oleh air mata.
“Al...” Fath
terkejut, haru melihat Al.
“Fath...” Al
terisak. Suaranya lemah.
“Kamu bangun,
Al?”
Al tersenyum.
Pucat.
“Aku denger,
Fath....” kata Al lemah.
“Jadi, kamu
tadi...”
Al mengangguk,
kemudian tersenyum. Senyumnya masih sama dengan senyum yang dilihat Fath
setahun lalu.
“Iya, aku denger
semuanya, semua yang kamu bilang barusan, Fath.”
Fath pun
tersenyum.
“Maafin aku ya,
Fath...”
“Nggak ada yang
perlu dimintakan maaf, Al...”
“Tapii...”
“Heemh... ya
mungkin akhir yang kita hadapi kemarin nggak sesuai harapan. Tapi, sekarang
semua udah jelas kan? Kita bisa memulainya lagi Al, kita masih punya waktu
untuk membuat akhir yang lebih baik, ya kan Al?”
Al mengangguk mantap.
Senyum yang dirindukan Fath selama ini bisa dia lihat lagi.
***
Satu bulan pasca
operasi. Al masih harus menjalani bermacam terapi dan masih harus check up
kerumah sakit beberapa kali. Kondisinya sudah mulai membaik, meski belum bisa
dikatakan sehat. Setidaknya dia sudah tidak lagi menghabiskan waktunya di
ranjang rumah sakit. Dan kini, ada Fath yang tiap akhir minggu mengunjunginya,
menemaninya menjalani terapi, menemaninya jalan-jalan, motivator baru untuk Al.
Terkadang Yul juga ikut datang bersama Fath, namun tidak setiap minggu seperti
Fath. Ayah dan Ibu Al sangat terbantu dengan kehadiran Fath. Calon anak
laki-laki mereka.
0 komentar:
Posting Komentar