“Aku nggak minta kamu untuk mengunjungi aku saja Nan, aku hanya memberi jalan. Diantara teman-teman seperjuangan, kamu yang paling kelihatan menghilang. Kamu nggak pernah muncul di grup, padahal hampir tiap hari kamu online. Nggak pernah menghubungi lebih dulu kalau nggak dihubungi.”
“Kamu tahu nan, kalau kamu mau ke sini. Banyak yang mau nemuin kamu. Teman-teman banyak yang berdomisili disini. Atau kita bisa mengunjungi yang lainnya, Grefi dan Wulan yang sekarang di Mojokerto, Rizal di Sidoarjo, Kita bisa lanjut ke Pasuruan untuk mengunjungi Arina, kita juga bisa main ke Malang, disana ada Yusuf, Anggi, Anwar, Mala, dan aku yakin ada banyak teman kamu lainnya disana...”
“Raka, Raka... dengerin aku, biarkan aku ngomong sekarang... semua udah berubah, kita punya kehidupan masing-masing, urusan kita udah beda-beda. Kamu nggak bisa seenaknya buat rencana seperti itu.”
“Iya, oke, aku minta maaf aku belum bisa mengunjungi kamu dan teman-teman lainnya, tapi jangan kira aku sudah melupakan kalian. Suatu saat aku pasti akan mencari dan mengunjungi kalian, tapi aku belum dapat waktunya. Pertemuan bukan jalan satu-satunya untuk tetap menjalin persahabatan, dunia sudah canggih, nggak pernah ketemu bukan berarti pertemanan putus gitu aja, lagi pula kalau Tuhan belum mentakdirkan kita untuk ketemu, kita juga nggak bisa maksa, Ka....”
Aku membela diri, aku lelah mendengar ocehan Raka yang sedikiti demi sedikit mulai memojokkanku. Aku mulai mendeteksi hal aneh pada diri Raka kali ini. Hari ini memang tidak biasa, Raka membahas diriku. Jika biasanya dia meneleponku lebih dulu untuk membahas perempuan-perempuan di sekitarnya, membicarakan tentang pekerjaannya, membicarakan tentang hobinya, membicarakan tentang kesehariannya tanpa sedikitpun bertanya bagaimana dengan diriku. Kali ini Raka membicarakanku.
“Tapi Nan...” Raka seperti mau menyangkal.
“Raka, kamu ini kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu jadi mengurusi aku? Kemana perempuan-perempuan yang selalu menemani kamu? Kenapa hari ini nggak kamu ceritain ke aku? Kamu sudah taubat? Aku pikir kamu tahu aku, Raka... ternyata Cuma sampai disini kamu tahu?”
“Harusnya aku tahu kenapa kamu menjudge aku seperti tadi, karena disetiap obrolan kita via telepon selama empat tahun ini kamu nggak pernah tanya gimana aku, kamu selalu tanya ‘nan menurutmu gimana?’ ‘nanda, tahu nggak sih’ ‘nan, aku minta pendapat’ selalu gitu kan, Ka? Coba kamu ingat-ingat, pernah nggak kamu tanya aku ‘gimana ceritanya kamu bisa bla bla bla’ ‘kamu ada rencana apa nan?’ atau sekedar ‘kamu baik-baik aja kan nan?’ nggak pernah kan, Ka? Oke, aku memang Cuma teman kamu, Ka, jadi aku nggak berhak menuntut apa-apa. Ternyata semua memang udah berubah ya, Ka... Pertemuan kita yang Cuma dua kali selama empat tahun ini nggak ada artinya ternyata, dan begitu kamu masih mau ngeyel minta aku buat nengokin kamu disana? Aku punya kerjaan lain Ka, prioritasku sekarang beda kayak dulu, aku....”
“Nanda, aku mau menikah.” Dengan tenang Raka memotong pembicaraanku yang penuh emosi. Satu kalimat, dengan suara yang merdu, tenang, aku merindukannya. Tapi... apa yang dia katakan? Menikah?
Aku diam, Raka tak bersuara. Telepon masih tersambung.
Hening.
“Raka, kamu... serius?” Suaraku bergetar, memberanikan diri membuka kembali percakapan.
“Iya, Nan... aku udah menemukannya. Kamu benar, aku bertaubat.”
“Kapan?”
“Awal tahun depan...”
“Well, selamat ya... akhirnya, kamu mendahuluiku, dasar berandal! Hahaaa” Aku berusaha mencairkan suasana. Melupakan perdebatan panjang dan pembelaan diri yang beberapa saat lalu terjadi padaku dan Raka.
“Hahhahaha... sorry ya, Nan...” Raka tergelak.
Oh, jadi Raka sudah menemukan belahan jiwanya? Pantas saja tidak dia ceritakan padaku. Pasti perempuan itu 180 derajat berbeda dengan perempuan-perempuan berpaham kemewahan yang dia ceritakan padaku selama ini. Semoga.
“Well, kamu serius mau ngajak aku mengunjungi teman-teman kalau aku ke Surabaya, Ka?” Kataku kemudian.
Ya, aku labil. Tak apa, sebelum Raka bergelar pria beristri. Lagi pula dia yang menawari bahkan memaksaku untuk mengunjunginya, mungkin dia punya pikiran yang sama. Bernostalgia sebelum dia menjadi suami orang.
“Of course, Nan. Jadi?”
“Seminggu sebelum puasa, siapkan semuanya. Kita hubungi teman-teman. Tunggu aku di Surabaya ya Ka.”
Aku Tahu, Kamu? #2
Label: Fiksi-ku
Aku Tahu, Kamu? #1
“Halo...” Aku mengangkat telepon, itu dari Raka, sahabatku. Dia sedang waras, makanya meneleponku.
“Halo, Nan... lagi ngapain?” Tanya Raka dari seberang. Suaranya renyah, benar, dia sedang waras. Sedang tidak berurusan dengan perempuan-perempuan itu.
“Nelpon.” Jawabku singkat.
“Kamu nggak tanya kabarku, Nan?” I have known, Raka. Kamu akan selalu baik-baik saja. Kecuali jika kamu tidak menghubungiku lebih dari dua bulan. Baru aku akan bertanya bagaimana kabarmu.
“Pasti baik kan? Aku juga baik kok, Ka.” Kemudian aku tertawa, sepihak. Raka diam. Is he okay?
“Ka... Raka... kenapa, hei?” Aku memanggilnya, memastikan dia baik-baik saja.
“Nan, kamu nggak kangen apa sama aku?” Deg! Haruskah aku jawab? Kalau aku boleh bohong, aku akan jawab tidak. Raka, empat tahun setelah kita berfoto bersama di halaman gedung Soetardjo dengan mengenakan toga ketika hari pengukuhan itu, kita hanya bertemu dua kali. Bagaimana mungkin aku tidak kangen? Semuanya begitu cepat brubah setelah hari itu.
“Kangen lah Ka... kenapa sih kamu?” Jawabku, akhirnya. Semoga detak jantungku yang makin cepat ini tidak terdengar oleh Raka disana.
“Hahahahaa...” Kudengar Raka tertawa. Apa-apaan dia? Kenapa dengan bocah ini?
“Nanda... Nanda... aku kangen kamu tauuukk. Kangen pakai banget nget. Balik kampung dong Nan, liburan gitu, terus tengokin aku di sini. Kamu betah banget di Bandung? Ada apa sih di sana? Jangan-jangan kamu udah dipinang orang sunda ya?...” Kalaupun aku balik kampung, apa kamu bakal datang ke kampungku yang notabene masih lima jam perjalanan dari tempatmu berada sekarang, Ka? Pikirku dalam hati.
“Ya kan kamu tahu aku di sini ngapain, Ka... kalaupun benar aku dipinang, kamu pasti jadi salah satu the big five orang yang aku kabari lebih dulu...”
Raka memotong pembicaraan.
“Inget umur, Nan... kamu tuh harusnya sekarang udah nenteng anak kemana-mana, kesana-sini ditemenin suami, nggak kayak sekarang, melancong kemana-mana sendirian. Habis lulus tiba-tiba balik kampung nggak ada kabar, tahun depannya udah di Lombok aja, pas aku tugas di Bandung kamu malah kerja di Surabaya, sekarang pas aku udah menetap di Surabaya kamu malah ngacir ke Bandung. Pakai acara kuliah pula. Nan, sekarang teman-teman seumuran kita udah pada sibuk ngurus keluarga, eh kamu malah sibuk ngurus proyeeek mulu, ngurus kuliah mulu, kenapa nggak dari dulu aja sih kamu kuliahnya?”
Yah... If I could, Ka... aku juga maunya begitu. Kamu emang hobi amnesia deh kalo soal ceritaku.
“Duh, nggak usah bawel deh, Ka. Aku kuliah lagi gini juga ada alasannya kali, berapa lama sih kita nggak ngobrol bareng...”
Belum sampai aku mengutarakan pembelaan diri, Raka memotong lagi.
“Kamu pasti putus asa ya, Nan? Kamu bilang kamu pengen banget ambil program master di Belanda? Eh malah nyasar di Paris, Paris van Java. Hahaha... Nanda... Nanda... Eh tapi kamu belum cerita ke aku lho gimana bisa kamu ikut short course ke Aussie 4 bulan lalu Nan?...”
“Basi ah, udah lama...” Aku bersungut kesal karena perkataan Raka barusan.
“Cieee... ngambek kamu, Nan?”
“Nggak.”
“Jadi?”
“Apa?”
“Kapan kamu mau balik kampung, Nan? Sebentar lagi kan puasaan, kamu balik kan? Atau Lebaran? Habis lebaran kamu ambil cuti kerja aja Nan, sounds cool, huh? Nanti kamu ke Surabaya ya? Atau gimana kalau kita ke Jember? Reunian sama teman-teman Nan... Ya kalau teman-teman nggak bisa, kita bisa nostalgia berdua di Jember.”
Raka mulai bicara sesuatu yang tak jelas juntrungannya, kenapa dia?
“Nggak bisa kali, Ka...”
“Bisa, Nan... pasti bisa. Kamu kerja ngurusin apa sih? Rasanya sibuuuk terus, tapi sibukmu nggak beralasan Nan, bukan alasan mengejar materi, bukan alasan karir, aku tahu itu. Aku tahu paling nggak sebulan sekali kamu masih sempat keluar kota mengunjungi tempat-tempat baru yang belum kamu kunjungi, mengunjungi teman-temanmu, relasimu, dengan teman-teman baru di lingkunganmu sekarang.“
“Aku tahu, setiap akhir minggu kamu masih sempat mengunjungi perpustakaan, atau persewaan buku, atau warung kopi, atau kafe, menghabiskan waktumu disana setengah hari dengan fiksi-fiksi itu. Tapi kamu nggak pernah sedikit pun meluangkan waktu buat teman karibmu, Nan... kamu menghilang dari lingkaran teman-teman seperjuanganmu...”
Raka mengoceh tak jelas, mungkin itu sebuah omelan untukku, aku tidak tahu kenapa begitu. Tapi nada suaranya tak berubah, masih renyah, tidak terdengar ada emosi buruk disana.
“Raka... apa maksud kamu?...”
Raka kembali memotong. Tidak seperti biasanya.
Label: Fiksi-ku
Lesson from Language Laboratory Visit
Label: Sensasi Menuntut Ilmu
CCU - Game Report
Label: Sensasi Menuntut Ilmu
Hurt
Bersyukur, aku masih bisa merasakan sakit. Itu berarti aku belum mati rasa. Itu tandanya perasaanku masih bisa bekerja dengan semestinya. Tuhan masih menjaga 'hati' ku sehingga Dia memberiku rasa sakit ini. Dia tidak membiarkan hatiku terus menerus merasakan bahagia, yang pada akhirnya hanya akan membuat hati ini lemah.
Aku pernah merasakan sakit seperti ini sebelumya. Sakit. Tepatnya di kakiku, ketika aku berjalan menapakkan kaki mungilku di tanah, ketika langkah demi langkah kecil kaki mungilku menjadi sesuatu yg amat sangat menakjubkan dimata orang tuaku, ketika aku jatuh terjerembab berulang kali, ya, ketika aku kecil. Sakit. Rasanya seperti itu, tapi di tempat yg berbeda, bukan lagi di kaki, tapi di 'hati'
Ada hubungan apa antara sakit di kaki dan di hati?
Entahlah, aku sendiri juga tidak tau.
Tapi... Aku bisa belajar dari kedua rasa sakit itu. Ketika aku belajar berjalan, aku harus terjatuh, terguling, tersungkur, terjerembab dahulu sebelum aku bisa melangkahkan kakiku dengan mantap di permukaan bumi ini. Sakit memang, tapi dari rasa sakit itu aku bisa belajar, aku harus lebih berhati-hati ketika melangkah sebelum aku bisa melangkah dengan benar, dan ketika aku melangkah kembali setelah terjatuh aku harus lebih kuat dari sebelumnya, meski sakit tapi aku harus melanjutkan suatu proses yg sudah kumulai dan aku harus menyelesaikanya. Sakit memang, tapi peduli apa soal sakit, yg penting aku bisa berjalan dengan kokoh.
Sakit. Tuhan memberi rasa sakit untuk menunjukkan betapa indahnya menjadi tegar, menjadi kuat, menjadi tangguh.
Percayalah, dibalik rasa sakit itu, ada kekuatan yg luar biasa, yg membuat hati menjadi lebih kuat, lebih tahan banting dibanding sebelumnya, lebih kebal dibanding sebelumya.
"kenapa ada derita bila bahagia tercipta? karna derita menunjukkan betapa indahnya menjadi bahagia" (by: the man who loves sheila, 2012)
Label: Tulisan-ku
Selamat Bertambah Usia
The Silent Al
Label: Fiksi-ku
The Man who Loves Sheila
From Papuma with Stories
Saturday, February 4th 2012
hei, This is the man of the day
Isnani, the leader of KPMP Goes to School 2012
it seems that there is something have disturbed his mind, he is in "Galau" :D
but, it doesn't mind. everything's is ok... it must be happy ending... :)
*note:
pembaca dilarang berprasangka yang macam-macam, apabila ada kesamaan nama, karakter, wajah, baju, penampilan, percayalah... ini hanya trik belaka.