ultahku udah 3 bulan yang lalu, tapi semuanya masi membekas sampe sekarang (halah)
ada satu hal yang lupa aku posting, padal ini wajib diposting... ucapan dari bapak dan ibu. Yes, it is a must. haha...
jadi, ceritanya, pas tanggal 28 september kemarin, tepat jam kelahiranku, aku dapet sms jek! dari bapak-ibu... gini isinya...
"Ndhuk Tiwi anakku, "SELAMAT ULANG TAHUN" semoga Allah senantiasa sayang dan memberi rohmat, sehat dan bermanfaat untuk kebaikan. Semoga menjadi KUSUMASTUTI DIAN PRATIWI, bunga yg dipuja menjadi penerang di bumi, insyaallah...
Bp, ibu, intan, dan keluarga semua selalu cinta dan sayang padamu. ....Selamat dan sukses... "
Tes, tes, tes...
Huaaaaaa.... jebol sudah bendungan air mata ini...
Bapak, Ibu, selalu saja begini, selalu berhasil membuat anak sulungnya ini terharu gila-gilaan,
Dan aku bersyukur, mereka gak ngucapin lewat telepon... Aku gak mau ketahuan mewek...
Ya Allah, aku tak bisa berucap banyak, bahagiakan mereka seperti mereka membahagiakan aku... Aku cinta mereka...
Selalu Mengharukan
Suatu hari di kelas XX
Label: Sensasi Menuntut Ilmu
Indrarinda - Ini Indra
....................................................................................................................................................
Dan sepertinya malam ini akan aku habiskan di sini, di kuta. Berjalan di seputaran kuta, melewati trotoar sempit, disuguhi pemandangan riuh ramai keceriaan kuta, tumpah ruah manusia dari berbagai ras, menikmati hingar bingar kuta mala mini. Kawasan yang tak pernah tidur. Bersama Arinda, aku terus menjejakan kakiku menyusuri jalanan pendek ini. Tak lelah aku menceritakan banyak hal tentang kuta pada gadis ini. Begitu antusiasnya dia mendengar ceritaku. Sesekali suara lugu penuh keingintahuan keluar dari mulutnya, dan tawa pun bergema, lirih terkalahkan suara kuta malam ini. Sesekali kuberanikan memandang wajah mudanya. Bagi mata pria, aku akui dia tidak termasuk dalam kategori gadis berparas ayu. Tapi bagiku, dia menarik. Mata bulatnya yang selalu bicara. Mata bulatnya yang selalu mencoba meyakinkanku. Ketika kutangkap tatapan mata bulatnya, ketika itulah mata itu selalu bicara, memberitahuku bahwa mata itu adalah mata Arinda kecil. Arinda kecil yang kini telah berusia 20 tahun.
Aku tahu, Arinda terlalu lelah hari ini untuk kuajak berjalan lagi. Tapi dua pasang kaki ini terus melangkah, hingga akhirnya menyentuh pasir pantai kuta. Dan langkah ini pun terhenti disitu. Memandang gelap di depan mata. Dan terduduk. Kami saling bercerita lagi. Sambil menunggu yang lain datang. Dan jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Belum ada tanda-tanda Farhan dan kawan-kawan tiba. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dihubungi. Arinda mulai resah, Nampak dari raut wajahnya. Dia tak bisa menyembunyikan rasa kantuknya. Kuajak Arinda beristirahat di mobil, tapi dia menolak. Baiklah. Aku menghiburnya, menyanyi. Lirih aku mengalunkanya...
Who are you now?
Are you still the same or did you change somehow?
What do you do at this very moment when i think of you?
Arinda ikut menyanyikannya bersamaku, merdu. Kami memandang satu sama lain, tersenyum. Dan meneruskan lagu ini.
And when i’m looking back...
How we were young and stupid
Do you remember that?
Dan sayup-sayup suara Arinda melemah, hilang. Dalam duduknya, matanya sudah terpejam. Lelah. Kudekatkan bahuku padanya. Dalam hitungan detik pun, kepala Arinda jatuh ke bahuku, bersandar.
No matter how i fight it, can’t deny it,
Just can’t let you go...
I still need you
I still care about you
Though everything’s been said and done
I still feel you, like i’m right beside you...
Lagu ini terus mengalun dari mulutku... pelan, mengantar Arinda ke alam mimpi.
Tak tega melihat tubuh kecilnya menyandar terpaksa pada bahuku, aku merebahkan badannya di pangkuanku. Mungkin tak senyaman pangkuan ibunya. Tapi aku ingin dia merasakan apa yang Arinda kecil dulu pernah rasakan. Maaf Arinda, aku lancang. Aku rindu Arinda kecilku. Arinda kecil yang suka sekali tidur di pangkuan Indra.
Sekitar pukul setengah dua dini hari, Farhan dan teman-temannya kembali. Menghampiriku yang masih terduduk di tepi pantai. Mereka heran melihat aku dan Arinda.
“Lho? Kok?” Farhan bingung melihat Arinda yang tertidur pulas di pangkuanku.
“Hayooo... mas Indra... ngapain itu sama Arinda?” Indah menggodaku dengan nada setengah curiga.
“Arinda nggak kenapa-napa kan mas?” Mira sepertinya khawatir.
“Nggak, dia kecapekan, makanya tidurnya pules.” Jawabku pada mereka.
“Yah, si Munyuk mesti deh, kalau udah ngantuk nggak bisa ditawar.” Farhan sepertinya sudah hafal tabiat Arinda.
“Kita pulang ke hotel sekarang?” tanyaku memastikan.
“Iya mas, balik ke hotel yuk.” Ajak Alfin.
“Bangunin dulu Arindanya.” Saran Mira.
Aku pun membangunkan Arinda. Kugoyangkan bahunya.
“Arinda.... bangun Rin...” Kubangunkan Arinda.
Diam. Tak ada reaksi. Aku menoleh pada yang lain. Kemudian kugoyangkan lagi bahunya. Tetap tak bergerak. Aku mulai khawatir.
Farhan pun ikut bertindak.
“Woe Nyuk! Bangun....!!!” Farhan mencubit pipi Arinda keras.
Tak ada reaksi. Farhan kembali mengulangi caranya membangunkan, tapi Arinda tak bereaksi, diam. Apa jangan-jangan dia pingsan? Kutepuk pipi Arinda. Tetap diam.
“Jangan jangaan... Arinda pingsan?” Prasangka Mira membuatku tak tenang.
Segera kuperiksa nafas dan detak nadinya. Tidak ada yang salah, Arinda tidak pingsan, Arinda terlalu lelap tertidur.
Farhan bermaksud membangunkan Arinda dengan mengguyurnya dengan air. Aku tak mengizinkan.
“Arinda cuma tidur kok.” Kataku memberitahu.
“Kok nggak bangun-bangun gitu?” Tanya Alfin.
“Iya, susah banget sih bangunnya.” Tambah Indah.
“Arinda emang gitu kalau kecapekan, tidurnya kaya orang pingsan.” Jawab Mira.
“Yaudah, biar aku yang bawa Arinda ke mobil.” Aku memberi solusi, kasihan jika Arinda harus dibangunkan.
“Gimana bawanya nih munyuk mas?” Tanya Farhan.
“Biar aku gendong Arinda ke mobil.” Mungkin ini lancang dan tak sopan. Tapi daripada aku mengganggu tidur perempuan ini, lebih baik aku menggendongnya. Tidak tega melihat wajah lugu Arinda yang tenang dalam tidur ini.
“Gendong?” Alfin dan Farhan heran.
“Iya.” Jawabku ringan.
“Yakin mas?” Mira meragukan.
Aku mengangguk.
“Arinda nggak kurus lho mas.” Kata Farhan.
“Udah nggak apa, yuk.” Ajakku sembari melingkarkan tangan kanan dan kiri Arinda ke bahuku. Aku menggendong Arinda menuju mobil. Kembali ke hotel.
“Mas Indra.” Panggil Mira ketika perjalanan menuju hotel.
“Apa Mir?” balasku.
“Mas Indra so sweet banget tauk pas gendong Arinda barusan.” Kata Mira tiba-tiba. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Dasar otak perempuan, tidak bisa biasa melihat kejadian seperti tadi, pasti otak mereka sudah dicekoki adegan-adegan romatis di film-film, atau bahkan mungkin sinetron.
“Maksudnya Mir?” Tanyaku.
“Ya so sweet mas, kaya adegan-adegan di drama korea lho.” Jawab Mira.
Seisi mobil tertawa. Benar apa yang kutebak.
“Dasar ceweekkk... otak kalian isinya drama mulu ya.” Kata Farhan heran.
Dan begitulah perempuan. Lebih jeli memandang sesuatu dari perasaan. Dan sepanjang perjalanan dari kuta menuju hotel, sekelompok muda-mudi ini pun tak henti mengobrolkan drama.
Kami pun tiba di hotel. Kugendong lagi Arinda menuju kamarnya. Diikuti Mira dan Indah, teman sekamar Arinda. Salah satu teman Arinda membuka pintu kamar, kaget melihat Arinda terlelap dibalik punggungku. Segera kukatakan bahwa Arinda hanya tidur, sebelum prasangka lain muncul. Aku pun segera masuk ke kamar dan merebahkan Arinda ke ranjang. Memandang wajah lugu itu dalam hitungan detik, kemudian pergi dari sana. Selamat malam, Arinda...
Label: Indrarinda
One Afternoon on the Field
Berawal dari maksud untuk berenang di sore hari, tapi apa daya kolam renangnya tutup. Dan yaaa... waktu itu aku sama partner setia ngelayapku pun akhirnya memutuskan untuk foto-foto. Yaa, kalo istilah yg biasa dipake orang-orang fotografi yg uda professional sih hunting foto. Tapi berhubung ini Cuma modal camdig jadul dan model acakadul juga tempat yg gak jelas, jadi namanya bukan hunting kali ya, tapi foto-fotoan.
Fyi, kita akhirnya foto-fotoan di lapangan depan perpustakaan unej. Lapangannya luas sih, yang sisi barat biasanya buat latihan bola, kadang ya buat main. Yang sisi selatan langsung berbatasan sama tembok pembatas kawasan kampus unej. Isinya rumput book... tapi justeru itu yang bikin keren. Bisa jadi property kita buat foto-fotoan.
Jepret sana, jepret sini, dan taraaaaa... here they are... foto2 amatir gilak, setelah melalui beberapa pengeditan aka perbikan :D
Indrarinda X - Senja yang Paling Indah
Peringatan 7 hari wafatnya mbah Harti.
Sore hari dengan diantar Farhan aku menuju rumah bude Heti. Mama sudah berada disana bersama papa, mbah uti, pakde Wid, bude Nur dan bude Yanti bersama mas Fadhil. Sejak hari wafatnya mbah Harti sampai sekarang aku belum sempat berbicara dengan mas Indra.
Sampai disana kami disambut langsung oleh mas Indra. Farhan menyalami mas Indra.
“Mas, turut berbelasungkawa ya, maaf baru bisa datang sekarang.” Kata Farhan.
“Iya han, makasih. Ayo silakan masuk.” Kata mas Indra.
Farhan masuk, bertemu papa. Aku masih mematung di teras, di depan mas Indra. Canggung. Ya semenjak kejadian di kamar rumah sakit tempo hari. Aku bingung mau berkata apa.
“Ayo Rin… “ Tiba-tiba mas Indra menarik tanganku. Pergi dari teras.
“Kemana mas?” aku tak tahu akan diajak kemana.
Mas Indra membawaku ke mobil. Tanpa pamit, tanpa tahu tujuan, aku dibawanya. Aku masih tak tau mas Indra membawaku pergi. Ini sudah sore. Matahari sudah berjalan menuju peraduan di ujung barat. Sepanjang jalan kami hanya diam. Mas Indra tak berbicara sepatah kata pun. Aku jadi takut untuk memulai pembicaraan.
Dan ternyata masa Indra membawaku ke pantai Kenjeran. Kami turun dari mobil. Mas Indra duduk begitu saja di tepi jalan. Aku ikut dengannya. Duduk di sampingnya, menghadap laut.
“ Maaf ya Rin… mungkin aku bikin kamu bingung.” Mas Indra akhirnya bersuara.
“Nggak apa-apa kok mas, aku tau pikiran mas Indra lagi kalut.” Aku memaklumi.
Hening. Sering seperti ini.
“Nggak nyangka ya, ternyata kamu beneran Arinda kecil itu.” Mas Indra membuka percakapan. Aku tahu arahnya.
“Aslinya mas Indra udah tau kan kalau Arinda yang mas kenal itu Arinda masa kecil mas Indra?”
“Dari mana kamu tau?”
“Dari ekspresi mas Indra waktu tahu nama lengkapku. Mas Indra selalu inget nama lengkapku kan?”
“Dan waktu kamu sudah tau namaku, kamu juga punya prasangka kan? Kalau aku adalah Indra yang diceritain Almarhumah Eyangku ke kamu?”
“Kamu tahu kenapa kamu dikasih nama Arinda?” tanya mas Indra.
“Kenapa mas?”
“Nama Arinda itu pemberian ibuku. Awalnya nama kamu itu cuma Fajar Pramesthi. Dan ibuku nyumbang nama Arinda.” Mas Indra bercerita.
“Artinya Arinda itu apa?”
“Adiknya Indra.”
“Kok Adiknya Indra? Aindra donk?”
“Coba utak atik susunan huruf nama kamu. Bisa dibaca Indra kan? Tapi double A.”
“Arinda, Indraa. Iya.”
Kami tertawa.
“Padahal kita bareng terus selama 3 hari di Bali. Tapi kenapa nggak ada pembicaraan kearah situ ya mas?”
“Soalnya kita sama-sama nggak yakin Rin, masa iya baru kenal langsung nge-judge yang aneh-aneh begitu.”
“Iya sih ya.”
“Kalau ada kejadian gini, pepatah dunia selebar daun kelor itu jadi berlaku ya Rin.”
“Dan kita jadi sadar, semua hal itu nggak ada yang kebetulan, semua hal, sekecil apapun itu memang sudah diatur oleh Allah.”
Hening. Dan di depan kami, terpampang senja. Senja di kota Surabaya.
“Kaya sinetron ya mas?” Kataku pada mas Indra. Memikirkan kejadian-kejadian dalam hidupku yang berhubungan dengan mas Indra beberapa bulan ini.
“Kerenan dikit kenapa?”
“Drama?”
“Boleh.”
“Yang happy ending ya?”
“Pasti.”
Kami tertawa lagi.
Langit cerah. Matahari yang beranjak pergi di ufuk barat terlihat jelas. Aku sering melihat senja di kota ini. Tapi rasanya kali ini beda. Senja hari ini indah. Lebih indah dari sebelum-sebelumya. Karna ada seorang Indra Arsyad disini.
THE END
Jember, 20-11-2011
Label: Indrarinda
Indrarinda IX - Benar Mas Indra dan Arinda kecil
2 bulan setelah perpisahan dengan mas Indra…
Aku baru keluar dari ruang ujian ketika aku menerima sms dari mama.
“Mbak Arin, mama dan papa di Sby. Sekarang perjalanan menuju kost mbak Arin. Mbah Harti sakit, dirawat di RS. Dr. sutomo.”
Ya Tuhan, mbah Harti sakit? Dirawat di Surabaya? Bukannya setelah dari rumah mbah uti, beliau kembali ke Kalimantan? Kenapa sekarang justru dirawat di kota ini? Ah entahlah. Aku segera bergegas cepat pulang ke kost. Ternyata mama dan papa lebih dulu sampai disana.
“Lama banget sih mbak?” Mama mengeluh.
“Ya namanya juga jalan kaki ma.”
“Ya sudah, ayok buruan ganti baju gih, kita ke rumah sakit, jenguk mbah Harti.” Perintah mama buru-buru.
“Lho? Arinda ikut?” Tanyaku.
“Ya iya sayaang… masa mama papa yang jauh aja jenguk, kamu yang disini malah gak jenguk.”
“Yaaah….” Aku malas.
“Pokoknya kali ini harus ikut, nggak pake alesan yang aneh.” Mama memaksa. Apa boleh buat? Aku ikut.
Setelah aku menaruh tas dan berganti pakaian, kami meluncur ke Rumah Sakit. Menurut cerita mama, mbah Harti kena stroke dan bude Heti meminta pakde Arif membawa mbah Harti ke Surabaya saja untuk mendapatkan pengobatan yang lebih terjamin. Ini kali pertama aku akan bertemu dengan keluarga mbah Harti. Dengan bude Heti yang sering diceritakan mama. Sepanjang jalan mama terus menghubungi bude Heti. Dan kami pun sampai di rumah sakit. Di lobi rumah sakit mama bertemu seseorang dan segera memeluknya. Wanita paruh baya berperawakan kecil. Berkulit sawo matang. Ternyata itu bude Heti.
Mama menunjukkanku pada bude Heti. Dengan santun aku mencium tangan bude Heti. Bude Heti tersenyum melihatku, sepertinya gembira. Dan bude Heti pun dengan sigap memelukku.
“Ya Allah… sudah besar sekali kamu Nduk…” kata bude Heti takjub.
Aku hanya tersenyum. Masih asing. Karena ini baru pertama kali.
“Ndak ngira bisa lihat kamu lagi, nduk. Sudah tumbuh jadi gadis pula…” katanya lagi, tidak bisa membendung keceriaannya. Kemudian pipiku diciumi oleh bude Heti.
Papa pun datang dari halaman parkir, kami pun segera menuju kamar tempat mbah Harti dirawat.
“Mas Arif disini juga mbak?” Tanya Papa menanyakan pakde Arif, anak pertama bude Heti.
“Ndak, cuma istrinya. Baru saja pulang kerumah, istirahat.” Jawab bude Heti.
“Yang jagain bude Harti siapa mbak?” Kali ini mama yang bertanya.
“Ganti aku yang jaga, ditemani Indra.” Jawab bude lagi.
Indra? Anaknya? Yang diceritakan itu? Heeem… mungkin hari ini aku akan tahu siapa sosok Indra itu sebenarnya.
Kami sampai di kamar tempat mbah Harti dirawat. Kami tidak masuk bersamaan, tapi bergantian. Aku duduk di kursi depan kamar bersama Bude Heti. Mama dan papa masuk, bersamaan dengan keluarnya seseorang.
Deg! Kaget aku melihat orang yang keluar dari kamar itu. Aku mengenalnya. Aku tahu siapa dia. Tidak asing dengan wajahnya. Begitu juga dia. Sepertinya dia kaget melihatku ada di depannya sekarang. Kami saling pandang. Diam. Tidak tahu harus berkata apa.
“Dra… ini Arinda nak, Arinda kecil, masih inget?” Bude Heti angkat bicara.
Aku dan dia masih diam. Kami salah tingkah. Tidak tahu harus berkata apa. Saling memandang pun tidak berani. Bude Heti bingung.
“Kok diem-dieman?” Tanya bude Heti tak mengerti apa yang sebenarnya.
Kami masih diam.
“Indra… kasih salam donk sama Arinda. Sudah 18 tahun lho kalian ndak ketemu. Sudah lupa ya?” Pinta bude Heti.
Ya. Akhirnya aku bertemu dengan Indra. Anak bude Heti. Indra yang diceritakan oleh mbah Harti. Indra yang mama bilang akan menjadi istimewa. Dan dia tak lain adalah mas Indra. Mas Indra yang aku kenal lewat kegiatan field trip 2 bulan yang lalu, mas Indra yang selama kurang lebih 4 hari bersamaku di pulau Bali. Mas Indra tour leader kami. Mas Indra yang kutabrak tempo hari di kampus. Mas Indra yang hilang begitu saja setelah urusan kami selama field trip selesai.
Seperti sudah membuat kesepakatan. Mas Indra dan aku seperti punya maksud yang sama. Kami bersalaman. Pura-pura baru pertama kali bertemu setelah sekian lama.
“Akhirnya kalian bisa ketemu lagi. Seneng sekali rasanya.” Bude Heti sumringah. “Kamu masih ingat Arinda kan Dra?”
“Masih kok Bu.” Jawab mas Indra singkat.
Benarkah mas Indra masih ingat? Tapi aku tidak. Mungkin aku terlalu kecil waktu itu, belum bisa mengingat apa yang terjadi saat itu.
“Mungkin Arinda ndak ingat ya, soalnya waktu itu Arinda masih kecil. Kalian itu waktu kecil ndak bisa pisah. Sudah seperti kakak-adik. Indra itu sayaang sekali sama Arinda. Waktu pisah sama Arinda, sedihnya Indra gak sembuh-sembuh. Indra minta adik cewek seperti Arinda. Tapi Allah ndak bisa memberi, padahal bude juga pengen punya anak lagi, pengen punya perempuan. Dan ya begini, sampai sekarang Indra sendiri, ndak punya saudara kandung.” Tutur bude Heti. Mas Indra berdiri tertunduk di samping bude Heti.
Mama dan papa keluar. Dan menyuruhku masuk, bersama mas Indra.
Kulihat mbah Harti terbujur lemah di ranjang rumah sakit, tubuh tuanya memucat. Diam, tak bergerak. Mas Indra menggandeng tanganku, membawaku mendekat pada mbah Harti.
“Eyang… ini Arinda datang.” Bisik mas Indra pelan pada neneknya.
Mbah Harti membuka mata pelan. Aku jadi merinding melihatnya. Aku mendekat, kucium tangan mbah Harti.
“Mbah Harti… ini Arinda.” Kataku pelan.
Mbah Harti tersenyum, mengarahkan pandangannya padaku. Aku ikut tersenyum. Meski dalam hati ini entah mengapa rasanya ikut bersedih melihat keadaan mbah Harti. Aku tidak berani bicara banyak. Tak berani mengajak bicara mbah Harti.
“Indra… Arinda…” Mbah Harti memanggil kami pelan sekali. Kami mendekat.
“Kenapa Eyang?” Tanya mas Indra.
Mbah Harti memandang kami bergantian.
“Kalian sudah bertemu lagi sekarang. Yang akur ya…” Mbah Harti bicara pelan, sulit sekali. Terbata.
“Eyang nggak usah khawatir, Indra pasti baik-baik sama Arinda.” Mas Indra menenangkan.
“Eyang ingin kalian jadi keluarga….” Lanjut mbah Harti.
Aku mengernyitkan dahi. Keluarga? Aku dan mas Indra saling pandang.
“Eyaang….” Kata mas Indra pelan, sembari mengelus lengan kurus mbah Harti.
“Menikahlah…” Kata mbah Harti kemudian.
Deg! Aku kaget, begitu pula mas Indra. Kami berpandangan, bingung. Tak tau harus berkata apa. Keringat dingin mengucur di wajahku. Melihat mbah Harti terbujur lemah begitu aku tak tega. Mbah Harti memandang kami, meneteskan air mata.
Hening.
“Iya Eyang… Indra akan menikah dengan Arinda.”
Apa? Apa yang dikatakan mas Indra baru saja? Aku makin tak menegerti. Mas Indra memandangku sayu. Memohon sesuatu. Aku kaget. Cepat mas Indra meraih tangan kiriku, menggenggamnya dengan tangan kanan. Erat.
Tak lama kami pun keluar. Tanpa ada kata-kata lebih lanjut dari mas Indra. Kami diam sepanjang waktu. Tapi bisa kulihat jelas apa yang dirasakan mas Indra. Bingung.
Label: Indrarinda
Indrarinda VIII - Pulau Dewata Berakhir
Hari terakhir di Bali…
Pagi ini tidak seperti kemarin. Aku tidak ke taman hotel lagi untuk melihat sun rise. Pagi ini kugunakan untuk packing. Hari ini kami harus check out dari hotel. Aku tidak ingat sampai jam berapa aku di kuta, dn jam berapa pula aku tiba di hotel? Yang jelas pagi ini aku bangun, aku masih utuh, di kamar hotel bersama Mira, Winda, dan Indah. Selesai mengemasi barang, aku bersih diri. Waktu sarapan tiba, kami segera menuju ruang makan. Sampai disana aku mengambil makanan. Menyusul Alfin dan Farhan di belakangku.
“Ehm. Siapa ya yang semalem dibopong2 dari kuta samapi kamar hotel…” Alfin menarik rambutku. Apa maksudnya?
“Siapa Fin?” Tanyaku.
“Kok malah nanya?” Balas Alfin.
“Kan aku nggak tau.”
“Ciee si munyuuk…” Farhan tak tanggung-tanggung, dia memukul kepalaku dengan sendok. Ada apa ini?
“Ehm. Mas Indra mana Rin?” Winda datang menyeletuk, tidak menanyakan mas Indra, tapi lebih ke maksud menggodaku.
Tak kupedulikan apa yang dilakukan beberapa teman ini. Aku bingung, ada apa semalam? Selesai mengambil makanan aku menuju meja di dekat jendela, menyusul Mira disana. Tak tahunya Farhan, Alfin dan Winda juga mengikutiku.
“Kamu semalem mabok ya Rin?” Todong Mira tiba-tiba.
“Mabok? Enggak…” Jawabku.
“Yakin kamu nyuk?” Farhan curiga.
“Iyalah.” Jawabku mantab.
“Kamu inget nggak jam berapa kita sampe di hotel habis dari kuta semalem?” Ganti Alfin yang bertanya.
Ada apa sih ini? Kenapa teman-teman main acara interogasi begini?
“Nggak inget. Aku ngantuk banget.” Jawabku sekenanya.
Teman-teman tertawa terbahak-bahak. Aku makin tak mengerti.
“Jelas-jelas dari kuta sampe hotel kamu tuh tidur terus, nggak bangun sama sekali, kok bisa bilang ngantuk.” Jelas Mira setelah suasana kembali normal.
“Tidur? Masa sih?” Aku masih tak mengerti.
“Malah nggak inget nih bocah, kamu kerasukan penunggunya kuta apa Rin?” Alfin meledek.
“Inget lagi deh Rin, semalam kamu ngapain aja di kuta? Sebelum pulang kamu ngapain?” Winda membantuku mengingat.
“Terakhir duduk di pinggir pantai, nungguin kalian lama banget, trus aku ngantuk… habis itu…. “ Aku mencoba mengingat. Hanya samapi itu, selebihnya aku tak ingat apapun.
“Sama siapa?” Tanya Alfin singkat.
“Mas Indra.” Jawabku enteng.
“Naaaahhhhhh….” Semua bicara serempak. Kemudian tertawa lagi.
“Kenapa?” Aku melongo melihat tingkah keempat manusia ini. Seperti orang bodoh.
“Kamu ngerti nggak sih nyuk?” Farhan bertanya.
“Apa sih, rek? Ada apa sama aku?” Aku mulai bingung.
“Eh sumpah, kebangetan ya kamu tuh kalo udah tidur nyuk. Kasihan. Tapi malu-maluin juga.” Mira membuatku semakin bingung dengan pernyataanya.
“Nyuk, tau nggak? Semalam itu kita balik ke parkiran jam setengah 2 dini hari. Pas kita balik nyari kamu, ternyata kamu tuh uda PW tidur di pangkuannya mas Indra di pinggir pantai….” Farhan memulai cerita. Apa? Ah Farhan bohong nih.
“Hah?! Ah bohong kamu Han… masa gitu?” Aku tak percaya.
“sumpah! Nih saksi hidupnya, Mira, Alfin, sama Indah. Masa aku bohong? Ya kalo tidur kamu tuh alim, lha kamu tidurnya uda kaya tidur di pangkuan emak lu gitu, PW banget dip aha mas Indra. Kasihan tau. Malu-maluin pula.” Lanjut Farhan mantab.
Kalau itu benar, oooh malunya.
“Parahnya lagi, kamu tuh nggak bisa di bangunin tau. Sampe-sampe kamu dibopong sama mas Indra masuk mobil.” Mira melanjutkan.
“Apa?! Dibopong? Digendong gitu?” Aku kaget. Sumpah ini malu-maluin.
“Ya masa diseret? Kasihan amat anaknya orang. Kata mas Indra, kasihan kalo kamu dipaksa bangun. Gitu.” Tambah Alfin.
“Cieeee…. Arinda…. “ Winda dan Mira meledekku.
Aku malu. Hanya bisa diam.
“Aku saksi terakhir. Mas Indra gendong kamu sampe kamar loh Riiin.” Winda yang tak ikut ke kuta malam itu pun tahu. Ternyata aku juga diantar sampai ke kamar. Oh Tuhaan.
“Aduh Reeeekk, malu tauuu…” Kalut.
Mereka malah tertawa.
“Makanya nyuk, tidur tuh liat-liat tempat. Liat-liat suasana. Heran deh aku sama kamu, nggak berubah dari dulu. Kaya koala.” Farhan menasehati.
“Ya mana aku tahu Han??” Ah sudahlah, sudah berakhir.
“Eh mas Indra, mas Indra tuh, panggil… panggil…” Kata Mira tiba-tiba.
Terlihat mas Indra menuju ke meja saji. Pasti bakal melewati meja kami. Oh jangaaann. Please. Aku malu.
“Jangan… jangan… pliss… jangan lah rek. Aku maluu…” Aku memohon kasihan.
“Mas Indraaa…!” Alfin benar benar memanggilnya. Oh no! aku tak berani melihat kearah mas Indra. Mukaku merah, menahan malu.
“Wueeee… liatin, mukanya Arinda merah…” Shit. Winda tahu perubahan air mukaku.
Mereka tertawa lagi. Aku beranikan melihat kearah mas Indra. Dia hanya tersenyum melihat kami, dan segera pergi dari situ, tidak menghampiri kami. Syukurlah, aku lega. Setidaknya mereka gagal menjadikanku bahan guyonan lebih lanjut.
Ini hari terakhir kami di Bali. Pagi hari setelah sarapan kami check out dari hotel. Tapi kami masih mengunjungi beberapa objek lagi. Hari ini aku menjauhi mas Indra. Aku malu dengan apa yang terjadi semalam. Tapi mas Indra sepertinya cuek saja. Ya mungkin karna dia sudah biasa menghadapi customer yang merepotkan seperti aku. Di dalam bus aku melamun terus. Entah apa yang kulamunkan.
“Nyuk, knapa kamu? Ngelamun apa sih?” Tanya Farhan.
“Nggak kok.”
“Marah sama aku?”
“Nggak lah.”
“Ngelamunin mas Indra yaaa?”
“Nggak Farhaan…”
Farhan tertawa.
“Cerita semalem itu beneran lho Nyuk. Aku nggak bohong.”
“Aduuh… aku malu tauk Han.”
“Ya kamu, kebiasaan, tidur nggak tau aturan.”
“Ya aku udah capek banget semalem, ngantuk berat. Mana tau kalo jadi kaya gitu ceritanya.”
“Bukan masalah ngantuk atau tidurnya Rin, yang bikin kita heran tuh kamunya yang gak bisa dibangunin. Kita sempet panic, dikira kamu pingsan. Ternyata tidur.”
“Kalian kurang kenceng banguninya.”
“Niat kita mau gitu, tapi mas Indra nglarang. Katanya kasihan kamunya.”
“Ah masa gitu.”
“Swear deh Rin.”
“Mas Indra gendong aku ke mobil? Trus sampe hotel juga gitu?”
“He’em.”
“Oh God… mimpi apa aku bisa kejadian kaya gitu?”
“So sweet loh Nyuk.”
“Maksud loe?”
“Iya, mas Indra sabar banget. Keren, kalo kata Mira, Indah sama Winda kalian kaya adegan-adegan di drama korea. Hahahhaa.”
Farhan tertawa terbahak-bahak. Aku melengos. Cemberut.
Kami makan siang di Bedugul, di pinggir danau. Sehabis itu aku diajak Farhan naik boat berkeliling danau bersama Mira, Winda, Indah dan Alfin. Aku tak melihat sosok mas Indra selama di Bedugul. Kemana dia? Ah mungkin ada urusan lain. Kuabaikan.
Sehabis dari Bedugul, kami melanjutkan perjalanan menuju objek wisata terakhir, Tanah Lot, lagi lagi disana kami akan melihat matahari terbenam, menghabiskan senja terakhir di Bali. Sampai disana suasana ramai sekali, tidak sperti dahulu ketika siang hari aku kemari. Apa mungkin mereka juga mau menikmati keindahan sunset di tanah lot?. Aku berjalan membuntuti Farhan dan Winda, takut hilang. Belum sampai ke area pantai, aku dikejutkan dengan seseorang berkalung ular phyton raksasa di pinggir jalan. Memamerkan ular itu. Aku kaget, takut melihat ular, berteriak dan gelap.
Saat aku sadar, aku sudah di dalam bus. Terbaring di kursi. Ada Farhan, Winda, dan mas Indra. Aku bingung, kenapa denganku?
“Riin…” panggil Winda pelan, sambil memegang tanganku.
“Aku tadi kenapa Win?” Tanyaku. Aku beranjak duduk. Mas Indra menyanggaku.
“Kamu pingsan Nyuuuk. Kali ini pingsan beneran, nggak tidur.” Kata Farhan.
“Pingsan?” Benarkah aku pingsan?
“Iya Arinda… tadi kamu liat ular, trus kaget, jatuh pingsan deh.” Terang Winda.
“Oh… maaf ya ngerepotin lagi.” Kataku meminta maaf.
Semua mengangguk, tersenyum. Aku berulah lagi. Tak lama kemudian Farhan dan Winda meluncur ke pantai, menyusul yang lainnya. Aku tak mau masuk. Akhirnya mas Indra yang menemaniku di bus. Aku dan mas Indra keluar dari bus, duduk di bangku di tempat parkir. Melihat jajaran bus pariwisata. Mas Indra memberiku minuman hangat. Menenangkan aku yang shock karena melihat ular. Aku pobia ular. Mas Indra tak banyak bicara kali ini. Hanya tiap beberapa menit dia pasti menanyakan apa yang kurasakan.
“Mas Indra…” Panggilku.
“Ya Rin?”
“Maaf ya soal di kuta semalam.” Aku memberanikan diri mengungkapnya.
“Kenapa?”
“Yaa… uda ngerepotin mas Indra, nyusahin orang. Makasih ya mas.”
“Oh, nggak apa-apa kali, Rin.”
“Tapi aku tetep ngerasa nggak enak sama mas Indra. Harusnya mas Indra bangunin aku waktu aku tidur itu.”
“Aku yang minta maaf Rin, uda lancang main gendong anak perempuan orang.”
“Yah, gara-gara aku tidurnya kaya kebo sih mas. Hehe.”
Kami tertawa.
“Makasih ya Rin.” Kata mas Indra tiba-tiba.
“Makasih untuk apa?”
“Selama di Bali ini, selama kenal kamu beberapa hari ini, aku jadi kaya nemuin adik kecilku dulu.”
“Adik? Katanya mas Indra nggak punya adik?”
“Iya, aku emang anak tunggal. Tapi waktu kecil aku punya adik.”
“Trus adik mas Indra itu kemana?”
“Nggak tahu. Pisah.”
“Oh. Emang dia kaya aku ya mas? Hehe.”
“Mungkin kalau gede ya kaya kamu itu, tapi aku pisahnya waktu masih kecil sih, jadi nggak tau.”
“Oh gitu….”
Obrolan berhenti. Hari sudah gelap. Matahari pasti sudah tenggelam. Sedihnya aku tak bisa melihat matahari tenggelam di sini. Aku jadi mengutuk diriku sendiri, kenapa aku pobia ular? Kenapa aku harus melihat ular itu?.
Rombongan datang. Dan perjalanan pun dilanjutkan, kembali ke tanah jawa. Sesudah makan malam, aku tidak melihat mas Indra. Dia menghilang entah kemana. Pindah bus atau kemana. Ketika pagi, kami sampai di Surabaya pun aku tak melihat sosok mas Indra. Ketika kru dari travel agent mengucapkan salam perpisahan pun, mas Indra juga tidak kelihatan. Jujur, aku mencarinya. Tak ada no.ponsel yang bisa dihubungi. Tak ada kata perpisahan. Ucapan selamat tinggal pun tidak. Aku kehilangan jejak mas Indra.
Label: Indrarinda
Indrarinda VII - Pulau Dewata II
Hari kedua di pulau dewata
Kami habisakan hari ini dengan mengunjungi beberapa objek wisata dan pusat belanja. Aku bangun pagi hari sekali. Sekitar kamar masih sepi, teman-teman banyak yang belum bangun. Aku keluar kamar. Menuju halaman belakang hotel, di sana ada kolam renang dan lapangan tennis dan badminton. Di dekatnya ad ataman dan beberapa gazebo. Setelah cuci muka dan shalat subuh aku menuju kesana. Ternyata sudah ada Farhan dan mas Indra berlari-lari kecil mengelilingi taman. Padahal hari masih gelap.
“Kok sudah bangun, Rin?” Mas Indra menghampiriku di gazebo, disusul Farhan.
“Die kan kaya ayam mas, bagunnya dini hari.” Farhan menyeletuk.
“Lha kamu knapa jam segini udah lari-lari. Sok rajiiin, mentang-mentang sama anak-anak…” Balasku meledek.
Lagi-lagi mas Indra hanya bisa tersenyum dan seringkali tertawa melihat aku dan Farhan, padahal ini biasa saja.
“Kata emaknye, si munyuk ini lahirnya pas subuh mas. Makanya pagi-pagi mesti uda berkokok. Cuma karna kita lagi acara bareng aja, makanya dia bisa diem, gak ribut pagi-pagi.” Farhan masih saja meledekku.
“Daripada kamu, lahir pas habis dhuha, sebelum duhur, rejekimu dipatok ayam tuh.” Balasku asal.
“Ah kalian ini, gak pernah akur ya. Seru kali ya kalau punya adik kaya kalian?” mas Indra berkomentar.
“Kalau adiknya ma situ aku, pasti seru, tapi kalo Arinda, jangan deh. Gak enak pasti. Kasihan yang jadi kakaknya.” Tuh kan, Farhan gak berhenti mojokkin aku.
“Aku justru pengen punya adik perempuan.” Celetuk mas Indra.
“Emang mas Indra nggak punya adik?” Tanyaku.
“Nggak punya, dan nggak mungkin punya.” Jawab mas Indra. Membuat aku penasaran. Mungkin Farhan juga.
“Kenapa mas?” Tanya Farhan.
“Waktu aku SD, Ibuku kena kanker yg bikin rahimnya diangkat. Jadi yaa… nggak mungkin kan aku punya adik. Padahal aku pengen punya adik. Sampai sekarang.” Mas Indra bercerita singkat.
Aku dan Farhan diam, berpandangan.
“Tapi kalo mau ngadopsi adik, jangan ngadopsi Arinda ya mas.” Kata Farhan mencairkan.
“Kenapa emang? Ya kan itu hak mas Indra, lagian aku kan nggak punya kakak.” Tanggapku.
“Iya, kenapa Han?” Tanya mas Indra.
“Soalnya Arinda tuh udah kebanyakan abang mas, punya kakak sepupu 5 biji, laki semua. Gitu kok masih mengajukan diri jadi kandidat adiknya mas Indra. Biar genep setengah lusin gitu?” Heem…Farhan. Mesti deh, seneng banget buka rahasia keluargaku.
“O ya? Kamu sendiri yang cewek Rin?” Tanya mas Indra kemudian.
“Iya. Cucu mbahku ada 8 mas, yang 7 laki-laki, aku sendiri yang perempuan.” Jawabku.
Air muka mas Indra berubah, aku bisa melihatnya. Ia mengernyitkan dahi. Apa yang salah? Deg. Apa jangan-jangan… ah tidak mungkin. Mas Indra tidak menunjukkan apa-apa.
Kami lanjutkan mengobrol, membahas acara hari ini. Sampai tak terasa matahari semakin tinggi. Hari makin terang.
“Eh nyuk, kamu ntar kalo lagi di objek buntutin mas Indra aja, biar gak ilang kaya kemarin. Kasihan mas Indra kemarin diomelin bu Merli gara-gara kamu ilang tauk.” Saran Farhan ketika kami membahas objek wisata.
“Masa? Emang iya mas?” Aku memandang mas Indra.
Mas Indra hanya tersenyum.
“Tapi kan Haaan…” Aku bermaksud menolak.
“Apa? Mau ikutin aku? Gak boleh.” Timpal Farhan sewot.
“Yaah…” Aku melengos.
Dan kedua laki-laki dua generasi itu pun pergi dari hadapanku. Meneruskan olahraga kecil mereka. Aku kembali ke kamar, bersih diri.
***
Dan benar, tanpa sadar aku mengikuti saran Farhan. Sampai di objek wisata yang dituju, tanpa sadar aku mengikuti mas Indra, kenapa ini? Kalau berpisah dari gerombolan teman-teman pasti yang kucari pertama adalah mas Indra, membuntuti kesana-kemari. Aku takut hilang. Apalagi ini tempat yang tak pernah ku kunjungi. Memang benar kata Farhan, aku itu sering hilang tanpa jejak.
Pantai kuta menjadi objek kunjungan terakhir di hari kedua ini. Lagi lagi melihat senja. Dan aku suka. Lebih suka dibanding fajar.
“Nyuk, kita di kuta bakal liat sunset lagi. Awas ya kalo sampe ilang lagi. Gak bakal kita cariin kamu.” Ancam Farhan ketika kami menaiki Shuttle bus menuju kuta.
“Nggak, aku mau nyemplung. Nggak mau liat sunset lagi.” Jawabku.
“Halah, jangan nyemplung, kebawa ombak kamu ntar nyuk!”
“Ish! Sirik aja sih.” Aku mencubit perut buncit Farhan.
Kami pun tiba di kuta, semua berhamburan berlari ke pantai. Menikmati lembutnya pasir kuta. Langit cerah, pasti senja kali ini indah. Aku mengikuti teman-teman mendekati bibir pantai. Menjejakkan kakiku menyentuh air laut. Bersalaman dengan ombak tenang pantai kuta. Langit sudah mulai memerah, senja datang. Aku menepi, menjauh dari gerombolan teman-teman yang bermain diantara ombak. Mundur perlahan. Di belakangku, mas Indra sudah berdiri santai. Tersenyum kearahku.
“Mau lihat senja lagi?” Tanya mas Indra. Seperti sudah tahu apa yang ada di benakku.
“He hem.” Aku mengangguk mantap.
Aku pun langsung terduduk di samping mas Indra berdiri, diatas pasir kering pantai itu. Mas Indra ikut duduk denganku.
“Sekarang biar aku tunggu disini. Biar nggak ilang lagi.” Kata mas Indra.
“Dan biar mas Indra gak diomelin bu Merli.”
Kami tertawa. Kemudian hening.
Senja di kuta memang indah, aku menikmatinya. Kali ini tidak sendiri, ada mas Indra di sampingku. Entah dia juga menikmati sepertiku, atau hanya sekedar menemaniku supaya aku tak tertinggal rombongan lagi seperti kemarin. Sepanjang senja, kami hanya saling diam. Hanya sesekali bicara, itupun sedikit. Kadang aku pun menanggapi teriakan, panggilan, dan candaan teman-teamn yang melihatku duduk berdua bersama mas Indra di tepi pantai. Aku tak peduli, bukan hal luar biasa, pikirku.
Matahari belum benar-benar tenggelam. Tapi ketua rombongan sudah menyuruh kami kembali. Padahal aku belum puas menikmati senja kuta. Tapi apa boleh buat, hari sudah mulai gelap, diburu acara selanjutnya.
“Masih pengen di sini?” Tanya mas Indra. Lagi-lagi seperti tahu apa yang ada di benakku.
“Sebentar lagi napa mas? Sebentar lagi juga tenggelam beneran mataharinya.”
“Kita nggak sendiri Rin, tuh mereka uda kumpul.”
“Nggak boleh pulang belakangan ya? Nanti pulang sendiri ke hotel.”
“Kamu bisa?”
“Hehhe, nggak tahu.”
“Yaudah makanya ayo balik sekarang.”
Aku pun berdiri. Beranjak meninggalkan senja yang baru matang. Meninggalkan kuta. Farhan datang memanggil.
“Nyuuk… kamu nggak berniat ketinggalan lagi kan?” Katanya meledek.
“Mau sih tapi gak boleh.” Aku cemberut.
“Jaaaahhh… dasar. Ngapain coba? Mau nyari bule kamu?” Farhan masih terus meledek.
“Arinda lagi sedih Han, jangan diledek mulu.” Mas Indra membela.
“Kenapa kamu Nyuk?” tanya Farhan.
“Mataharinya belum tenggelam, tapi udah diajakin balik.” Mas Indra yang menjawab.
“Alaaaahh, gitu doank? Dasar manusia senja… hahhahaha” Farhan tertawa menang.
Gontai akhirnya aku kembali bersama rombongan, meninggalkan matahari sebelum dia tenggelam. Kali ini tidak ketinggalan.
Malam kedua di Bali…
Sesudah makan malam, aku tidak beranjak dari tempat. Mira, salah ssatu temanku menghampiri. Disusul Farhan.
“Rin, kamu nggak pengen keluar?” Tanya Mira.
“Kemana Mir?” aku balik tanya.
“Ya kemana kek, masa 3 hari di Bali nggak tau suasana Bali malem hari.”
“Aku takut ngantuk, Mir.”
“Halaah, kamu nih ya, kalo malem tiduuurr mulu, pantes bangunnya dini hari. Dasar ayam.” Farhan nimbrung. Rusuh semuanya.
“Keluar yuk Rin.” Ajak Mira.
“Sama siapa donk?” Tanyaku.
“Ya bareng-bareng lah.” Jawab Mira.
“Naik apa?” Aku masih bingung.
“Naik becak.” Jawab Farhan.
“Becak? Emang di Bali ada becak?” Aku makin tak paham.
“Kita kan disediain mobil dari hotel Ariiiinn…” Mira menjelaskan.
“Oww gitu ya?” aku baru mengerti. Ah dodol.
Kami masih berdiskusi. Mas Indra datang.
“Mas, kalo mau pake mobil Hotel gimana ya?” tanya Farhan.
“Kalian mau keluar?” Tanya mas Indra balik.
“Iya…” Kami bertiga menjawab serempak.
“Yaudah tunggu disini atau siap-siap gih, biar aku yang urus.” Mas Indra memberi solusi.
“Bener mas?” Tanya Mira meyakinkan.
“Iya, oke?” Mas Indra meyakinkan.
Kami berdecak gembira.
20 menit kemudian kami sudah berada di mobil. Menuju ke kuta. Menikmati hingar bingar kuta malam itu. Aku pergi bersama Farhan, mas Indra, Mira, Alfin dan Indah. Wilayah kuta, makin malam makin ramai, macet, lalu lintas padat merayap. Ramai. Mobil berhasil diparkir, kami turun. Dalam hitungan detik, Farhan sudah menghilang dari hadapanku bersama yang lain. Hanya tinggal aku dan mas Indra di tempat parkir.
“Nah kan aku ditinggal lagi.” Aku mengeluh ditinggal teman-teman. “Selalu gini, huuft.” Lanjutku. Apa kau terlalu lambat, atau mereka yang terlalu cepat ya?.
“Kita nyusul mereka atau gimana enaknya?” Mas Indra membei pilihan.
“Mereka udah ilang gitu mas.”
“Jadi?”
“I trust you.” Aku mengangkat bahu.
“Kita jalan sendiri aja yuk.” Ajak mas Indra.
“Oke…” Kami pun berjalan berdampingan, mengelilingi beberapa sudut di kuta. Ramai. Tempat ini sepertinya tak pernah tidur. Aku jadi lebih tau banyak mengenai seluk beluk kuta karna mas Indra. Sepanjang jalan mas Indra banyak bercerita tentang Kuta. Aku pun senang mendengar ceritanya sekaligus pengalaman-pengalaman mas Indra. Kurasakan kakiku mulai lelah. Ternyata cukup jauh kami berjalan malam ini. Mas Indra pun mengajakku ke pinggir pantai, duduk melepas lelah sambil menunggu yang lain kembali. Kami terus mengobrol disana. Asik. Aku merasa nyaman bertukar cerita dengan mas Indra.
“Sekarang udah jam berapa mas?” tanyaku. Aku mulai merasakan mataku lelah. Mengantuk.
“Jam 1 Rin…”
“Kok anak-anak pada belum balik sih?”
“Biasa Rin, sudah larut sama hingar binger kuta.”
“Di sms juga nggak bales. Ditelpon nggak diangkat. Ah.”
“Capek Rin?”
“Ngantuk mas.”
“Ke mobil ta?”
“Nggak ah, disini aja.”
Kurasakan mataku benar-benar lengket. Kemudian rasa kantuk yang amat sangat ini makin menggila. Masih kudengar sayup sayup suara mas Indra menyanyi. Merdu. Diiringi rasa kantuk ini aku ikut bergumam, mendendangkan suatu lirik. Lirih bersama mas Indra, beradu dengan suara ombak. Malam ini benar-benar dramatis.
….
Who are you now?
Are you still the same or did you change somehow?
What do you do?
At this very moment when I think of you
….
Dan suara itu makin menghilang, aku berhenti menyanyi dan setelah itu aku tak tahu apa lagi yang terjadi.
Label: Indrarinda
Indrarinda VI - Pulau Dewata I
Pagi hari kami sampai di pulau Bali. Acara dimulai dari makan pagi di daerah Tabanan, dilanjutkan ke Denpasar untuk check in di hotel, selanjutnya acara kunjung mengunjungi beberapa objek wisata pun dilaksanakan.
Hari itu kami mengunjungi beberapa lembaga sebagai acara pokok kegiatan ini. Menjelang sore kami mengunjungi pantai Dreamland, sebagai tujuan terakhir kami di hari pertama. Di sana, teman-teman larut dalam euphoria senja. Mengabadikan momen-momen ceria itu lewat kamera. Berbagai gaya, bermacam ekspresi. Aku hanya mengabadikan beberapa, selebihnya aku memilih duduk di atas pasir, diam. Menikmati senja. Memang benar, pantai ini indah. Aku suka senja. Meski aku dilahirkan ketika fajar. Senja itu ibarat ajakan untuk instropeksi, penghujung hari, apa saja yang sudah kita lakukan hari ini.
Matahari di ujung penglihatanku kini benar-benar sudah lenyap. Aku tidak sadar, aku ditinggal rombongan. Ini gara-gara aku begitu menikmati senja. Oh God… aku segera beranjak pergi menyusul rombongan, lumayan panik. Sampai akhirnya kulihat Farhan berjalan beriringan bersama mas tour leader, wajah mereka panic sepertiku. Sepertinya mereka mencariku.
“Farhaaannn!!” Aku berteriak memanggil Farhan.
Farhan menoleh ke asal suaraku, aku melambaikan tangan. Air mukanya berubah, kesal. Ma situ tersenyum. Aku segera berlari kearah mereka.
“Munyuuuukk! Aku kira kamu diculik bule tauk!” Farhan mengacak-acak rambutku. Aku Cuma bisa nyengir.
“I’m so sorry for making trouble…” Innocent aku meminta maaf.
“Sorry, sorry, nggak cukup. Bayar pajak pencarian ke aku!” Farhan kesal.
“Yaudah, ayo ke bus, sudah ditunggu itu.” Mas itu menggiring kami ke bus.
“Kamu tadi kemana sih? Bisa bisanya makhluk segede kamu ilang gitu, ketinggalan rombongan, ha?” Farhan mulai menginterogasi.
“Duduk di bawah tebing. Liat sunset.” Jawabku enteng.
“Ngapain coba? Itu bukan goa kali Riin… sodara kamu gak disana.”
“Ya tempatnya asik Han….”
“Ya tapi masa kamu gak liat kiat-kita pada balik ke bus apa?””
“Aku nggak liat, aku kan liat sunset.”
“Mata kamu nggak jereng apa liat matahari terus?”
“Enggak.”
“Dasar mata kuda.”
“Kok kamu gitu sih Han? Katanya kamu pawangku?”
“Ya emang kalo pawang trus aku mesti jagain kamu terus gitu, piaraan gak pengertian kamu tuh…”
“Sudah sudah Han, kasihan mbaknya, jangan di marahin terus…” Mas itu menghentikan adu mulut kami. Menyelamatkanku dari omelan Farhan.
Ya begitulah aku dan Farhan, kami sudah jadi teman sejak SMA. Dan tak tahunya ketika kuliah kami jadi satu jurusan lagi. Farhan sudah seperti kakakku. Mama-Papa juga sudah mengenal baik. Dan ternyata jika ditelusuri, Farhan dan aku masih ada hubungan saudara.
“Orang kaya Arinda mah harus digituin mas, bahaya kalo sendirian, suka ilang.” Farhan belum berhenti ternyata.
“Farhan… udah deh.” Aku memonyongkan bibir.
Mas itu akhirnya tertawa. Kami masuk ke bus. Mengakhiri petualangan hari ini, kembali ke hotel untuk beristirahat.
Malam pertama di Bali....
Kuhabiskan malam itu di atap hotel. Disana ada beberapa macam tanaman yang ditanam dalam pot, berjajar rapi, dan sebuah gazebo. Banyak teman yang sudah tidur, banyak pula yang menggunakan free time ini untuk keluar hotel, keliling kota Denpasar, atau ke suatu tempat, sekedar keluar hotel. Aku memilih atap hotel untuk menikmati malam ini. Melihat gemerlap kota Denpasar malam ini.
“Kok malah disini? Nggak tidur, Arinda?” Suatu suara mengagetkanku. Mas itu. Sampai detik ini aku tidak tahu namanya. Tak pernah aku mendengar teman ada yg memanggilnya, tak terkecuali Farhan.
“Eh?” aku terhenyak.
“Bener kan nama kamu Arinda?” Tanya mas itu memastikan.
Aku tersenyum. Mas yang belum terdeteksi namanya itu pun berjalan kearahku. Lalu duduk di gazebo di samping aku duduk.
“Kok nggak tidur? Atau ikut temen-temen yang keluar?” tanya mas itu.
“Nggak ah.”
“Kenapa?”
“Takut pulangnya kemaleman.”
“Nggak biasa pulang malem ya?”
“Iya, takut ngantuk pas jalan-jalan. Ntar ilang lagi kaya tadi.”
Kami tertawa. Kemudian hening.
“Mas ngapain disini?”
“Cari angin.”
“Nggak ikut keluar?”
“Nggak ah. Hemat energy. Besok kan masih banyak kegiatan. Ya kan?”
“Iya sih.”
Lagi-lagi hening.
“Nama mas ini siapa sih? Boleh Arinda tau?” Kuberanikan diri bertanya akhirnya.
“Indra.” Deg. Indra? Spontan aku mengingat mbah Harti dan cucunya yang bernama Indra. Anak bude Heti.
“Lengkapnya?”
“Indra Arsyad.” Aku ingat betul. Tempo hari mbah Harti menyebut nama itu.
“Asli?” Kali ini aku yang tak percaya.
“Asli lah.”
“Yakin?”
“Mau lihat KTP ta?” Mas itu mengulangi kalimatku ketika dia bertanya hal yang sama padaku.
Kami tertawa mengingatnya. Dan terlepas dari cerita mbah Harti, tentang Indra, cucunya. Terlepas dari candaan mama tentang mas Indra. Terlepas dari alibi-alibi aneh ataupun prasangka tak biasa. Aku berkenalan dengan orang bernama Indra. Dan kini, kupanggil dia mas Indra. Karna memang begitu sepantasnya.
Label: Indrarinda
Indrarinda V - Field Trip has begun
Hari yang dinanti tiba. Field trip. Tujuan field trip kami adalah pulau dewata, Bali. Yang kata banyak orang, pulau sejuta pesona. Kami berangkat dari Surabaya malam hari. Waktu aku tiba, 3 bus pariwisata sudah berjajar di halaman kampusku yang luas. Aku bergabung dengan teman-teman lainnya, sampai Farhan –si ketua panitia- memanggilku. Dia berdiri bersama seorang laki-laki di dekat bagasi bus 1. Ow, itu kan mas yang kutabrak waktu itu. Jadi kami memakai jasa travel agent mas itu to?. Yah berhubung aku tidak ikut voting waktu itu, jadi aku tidak tahu.
“Ariiinndaaaa… absen duluu! Bawa koper kamu kesini!” Teriak Farhan memanggilku.
Aku berjalan menarik koper besarku, menghampirinya.
“Aku di bus ini?” Tanyaku.
“Iya, kamu di bus ini sama aku, jatah di belakang jagain pintu sama aku.” Jelas Farhan.
“Hah? Yang bener Han?” Aku masih belum nyambung.
“Iya nyuuuukk, gimana sih? Kan uda dari kmarin-kmarin seat nya dibagi. Katanya kamu iya iya aja duduk dimanapun sama aku.” Jelas Farhan lagi. Setengah jengkel karena kelakuanku yang suka lupa.
“Hehe, iya iya, oke bos.” Aku meringis.
“Yaudah aku absen yg lain dulu.” Farhan pergi.
Aku ditinggalkan bersama mas itu. Mas yang tak kuketahui namanya. Yang kutabrak tempo hari. Mas dengan kemeja dark-brown.
“Sini mbak kopernya.” Pinta mas itu. Dia mengeluarkan name tag untuk dipasang di koperku.
“Namanya?” tanya mas itu. Siap menuliskan namaku di name tag.
“Arinda.” Jawabku singkat.
Mas itu diam. Tidak segera menuliskan namaku.
“Lengkapnya?” tanyanya lagi.
“Fajar Arinda Pramesthi.” Jawabku lagi.
Mas itu menoleh kearahku, memandangku dengan pertanyaan.
“Asli?” tanyanya seperti tak percaya.
“Ya asli lah.”
“Yakin itu nama kamu?” Tanyanya lagi. Seperti orang curiga. Kenapa dengan mas ini?
“Mau lihat KTP ta?” balasku meyakinkan, siap mengeluarkan KTP.
“Oh nggak kok, percaya deh.” Mas itu tersenyum. Masih penuh tanya.
Setelah menuliskan identitasku di name tag. Dia memasangkanya ke koper. Seperti orang nerveous. Lama sekali dia memasangkan. Grogi. Ah mas ini aneh.
Aku berada di bus 1. Di seat belakang dekat pintu bersama Farhan. Dan oh! Bertemu mas itu lagi. Dia menjadi tour leader di bus kami. Sebelum berangkat Farhan memimpin doa, dan mas itu membagikan jadwal kunjungan tanpa berkenalan terlebih dahulu. Kemudian dia berjalan dari depan ke belakang, mengecek keadaan para peserta. Sampai di dekat kursiku dia berhenti. Aku masih duduk sendiri, Farhan masih diinterogasi oleh Bu Winda, dosen kami.
“Kamu duduk di sini?” Tanya masitu.
“Iya.”
“Sama Farhan?”
“Iya. Kenapa mas?”
Farhan datang.
“Dia gak bisa duduk sama sembarang orang mas, bahaya. Pawangnya aku soalnya.” Kata Farhan menyambung.
“Iya mas, Farhan itu bodyguardku.” Kataku menambahi.
“Pawang nyuk, bukan bodyguard. Ogah ah jadi bodyguardmu.”
Mas itu tertawa mendengar kami. Kemudian pergi ke kursi depan. Bus pun berangkat.
Label: Indrarinda