Indrarinda IV - Bertemu

“Han, aku gak izin pulang ya? Mules nih.” Aku minta izin pada Farhan, ketua panitia field trip tahun ini. Ya, semester ini prodiku mengadakan agenda rutin, field trip. Dan ini giliran angkatanku. Hari ini rencananya ada presentasi dari beberapa travel agent untuk acara field trip ini. Tapi aku tak bisa hadir, badanku sedang tidak bersahabat. Kuputuskan untuk pulang ke kost.
“Trus? Kamu gak liat presentasinya Rin?” Tanya Farhan.
“Gak usah deh, ya? Boleh kan?”
“Kalau voting?”
“Sama kaya kamu aja.” Aku tak ambil pusing.
“Bener?”
“Iya, yaudah aku pulang duluan ya. Bye Han!” Aku meninggalkan Farhan, keluar kelas.
Aku berjalan lumayan cepat keluar gedung sambil memegangi perutku yang mulai terasa perih. Sepertinya maagku kambuh. Tiba-tiba ponselku di dalam tas bergetar lama. Ada telepon. Sambil terus berjalan aku mencari ponsel di dalam tas, dan bruukk! Aku menabrak seseorang gara-gara tak melihat jalan.
“Aduhh, maaf.. maaf banget….” Kataku sambil menunduk, tanpa melihat siapa yang kutabrak.
“Iya mbak, nggak apa-apa. Mbaknya baik-baik aja?” Seorang lelaki berkulit sawo matang bersih menjawab. Tidak terlalu tinggi, mungkin selisih 15 cm denganku. Memakai kemeja berwarna dark-brown bermotif garis. Baju masuk, celana bahan, sepatu pantovel. Rapi sekali. Sepertinya mahasiswa tingkat akhir.
“Oh iya mas, nggak apa-apa kok. Sekali lagi maaf mas.” Aku meminta maaf lagi.
“Iya nggak apa-apa. Oiya, boleh tanya mbak?” Kata mas itu ketika aku bermaksud pergi.
“Iya, apa mas?”
“Ruang 23 itu sebelah mana ya?” tanya ma situ.
Ruang 23? Itu kan tempat anak-anak kumpul, kelas yang mau dipakai presentasi travel agent. Jangan-jangan mas ini salah satu travel agent yang mau present?
“Di lantai 2 gedung ini mas, pojok.” Jawabku sambil menunjukkan arah.
“Lewat sana ya mbak?” Mas itu menunjuk tangga.
“Iya, trus belok kanan aja. Maaf, mas dari travel agent yg mau present ya?” Tanyaku memberanikan diri.
“Oh iya mbak. Mbak nya salah satu peserta ya?” Tanya mas itu.
“Iya mas, silakan langsung masuk saja mas, sudah ditunggu teman-teman. Maaf, saya buru-buru.” Kataku beramah-tamah. Perutku makin perih.
“Oh baik mbak, makasih mbak. Maaf mengganggu.” Aku keburu ngeloyor pergi sebelum mas itu menyelesaikan kalimatnya.

Indrarinda III - Suatu Pagi

2 bulan setelah ulang tahun mbah Uti…
Hari ini mama dan papa bertandang ke Surabaya, menghadiri pernikahan junior Papa di kantor. Mereka pun menyempatkan mampir ke tempat kostku dan menginap semalam disini.
“Mbak, mama sama papa rencananya mau nyari bude Heti lho. Kamu mau ikut ndak?” Tanya mama pagi itu, ketika aku baru bangun.
“Bude Heti? Anaknya mbah Harti itu ma?” tanyaku balik.
“Iya, Ibunya mas Indra tuh mbak. Kan mereka tinggal di Surabaya.”
“Oh.” Jawabku sekenanya.
“Kok Cuma oh? Ikut yuk.” Ajak Papa kemudian.
Malas. Aku tak berminat.
“Ayo ikut aja yuk mbak, ketemu mas Indra lho.” Dukung mama.
Kenapa bahasanya jadi ke orang yg namanya Indra sih? Pikirku.
“Apa hubungannya sama Arinda?” Aku menghindar.
“Ya tunjuk muka ke mas Indra, mbak. Waktu kalian pisah kan masih sama-sama kecil.”
Jawab mama diplomatis. Ah mama.
“Kok mama gak pernah cerita sih soal mas Indra itu?” Aku mulai menyelidik lagi.
“Ya mbak Arin ndak pernah tanya.” Mama ngeles. Selalu.
“Ya mana Arinda tau maa… Arinda kan waktu itu masih kecil.”
“Masa ndak inget sama sekali mbak?”
Aku menggeleng. Mama duduk di hadapanku, memegang bahuku.
“Pokoknya yang namanya mas Indra itu pasti akan jadi istimewa.” Mama tersenyum penuh tanya. Apa juga maksudnya istimewa?
“Maksudnya ma?”
“Percaya sama mama, pokoknya istimewa.”
“Iya istimewanya kenapa?”
“Makanya ayo ikut, mbak…”
“Nggak ah.”
“Heh, diajak silaturahmi kok.”
“Ya mama kayanya ada maksud lain gitu.”
“Maksud lain gimana…”
“He… kok jadi pada ngeyel tho? Ayo Rin, ikut nyari alamatnya bude Heti.” Papa terjun menengahi adu mulutku dan mama.
“Nggak ah Pa. Arinda mau ikut seminar hari ini.”
“Bener mau ikut seminar? Ndak Cuma alasan kan?” Mama menyelidik, tak percaya.
“Iya mama… swear deh.”
“Ya sudah, awas lho ntar kalau nyesel gak jadi ikut. Gak ketemu mas Indra.” Mama kambuh deh lebay nya. Plis mama… jangan lebay. Kayanya mama nih yang ngebet ketemu makhluk bernama Indra itu.
“Gak akan mamaaaa….” Aku jengkel.
Mama melenggang ke kamar mandi. Papa hanya tersenyum melihatku dan Mama.

Indrarinda II - Dongeng

Malam ini aku menginap di rumah mbah Uti, karna memang aku dan keluarga tinggal di luar kota. Malam sudah larut, sebagian penghuni rumah sudah tidur. Tapi mbah Uti dan mbah Harti masih bercengkerama di ruang makan, terlihat bahagia sekali. Mereka memang sahabat karib yang terpisahkan oleh bermacam hal, dan kini mereka kembali dipertemukan dalam keadaan yg sudah berbeda, sudah banyak berubah. Aku menuju ruang makan, ingin lebih tahu tentang kedua wanita berusia senja itu, ingin mendengar apa saja yang mereka bicarakan sampai selarut ini. Aku menampakkan diri di depan mereka, mbah Uti menyambutku.
“Lhaaa ini, cucu perempuanku…” Mbah Uti memperkenalkanku pada mbah Harti untuk kesekian kalinya.
“Ini yang lahirnya pas adzan subuh itu kan?” Tanya mbah Harti.
Mbah Harti menarikku, dan merangkulku, kemudian aku duduk di sampingnya.
“Waktu kamu lahir, ya mbah Harti ini yang ngurusi kamu nduk. Mbah Uti sama mbah Kung lagi ke Malang nengok Galang-Galih.” Mbah Uti membuka cerita.
“Lahirmu itu pas hari sabtu, pas sekali bersamaan dengan adzan subuh. Dari semalamnya, mbah ini yang nemani mamamu tidur.” Lanjut mbah Harti.
“Kamu ndak lahir di rumah sakit lho nduk.” Kata mbah Uti.
“Terus mbah?” Aku penasaran.
“Anak mbah Harti yang kedua itu bidan, namanya Heti, ya bude Heti itu yang menolong kelahiranmu. Pas mbah Uti pulang, semua sudah beres, kamu sudah di dunia, sehat wal afiat.” Lanjut mbah Uti.
“Kelahiranmu itu benar-benar anugerah untuk kami lho nduk. Dikiranya kamu itu lahir laki-laki, seperti cucu-cucu mbah utimu yang lainnya. Ternyata kamu perempuan, pertama di keluarga mbah utimu. Wes pokoknya semua nyambut gembira kelahiranmu. Termasuk mbah ini. E ndak ngira juga kalau kamu jadi satu-satunya cucu perempuan mbah utimu.” Kali ini mbah Harti yang cerita.
Aku tak menyangka, sebegitu istimewanya kelahiranku dulu. Dinanti-nantikan banyak orang. Aku, Fajar Arinda Pramesthi. Cucu perempuan pertama dan satu-satunya di keluarga ini.
“Waktu kecil kamu jadi kesayangan nduk, mbah Harti sampai nganggap kamu seperti cucunya sendiri. Kamu sering diajak nginep di rumah mbah Harti lho, diajak kesana-kemari sama bude Heti, pernah juga kamu diaku anaknya bude Heti. “ Mbah Uti terus bercerita.
“Kenapa begitu mbah?” Tanyaku.
“Karna mbah juga ndak punya cucu perempuan. Waktu itu cucu mbah sudah ada dua, laki-laki semua. Yang satu Ardi, anaknya pakde Arif yang dikalimantan, tempat mbah tinggal. Yang satu ya anaknya bude Heti itu, namanya Indra. Padahal mbah pengeen sekali punya cucu perempuan. Sampai-sampai kamu itu disebut cucu bersama lho.” Mbah Harti menjawab panjang lebar.
“Yang namanya Indra itu yang selalu buat kami kewalahan. Dia itu sayaaangg sekali sama kamu, nduk. Soalnya dia pengen sekali punya adik perempuan. Kalau sudah main ke rumah ini dan ada kamu, pasti susah diajak pulang. Dia minta bobo sama adek bayi katanya. Dan kalau kamu diajak ke rumah mbah ya begitu, kamu ndak boleh dibawa pulang. Pokoknya setiap hari kalian bertemu, Indra ndak mau main sama yang lainya, maunya nemenin kamu terus waktu kamu bayi itu. Sampai waktu umur kamu 2 tahun dan Indra umur 5 tahun, Indra pindah ke Surabaya ikut Ayahnya. Indra minta kamu dibawa ke Surabaya sekalian. Indra benar-benar ndak mau pisah sama kamu. Dia pikir kamu itu memang adiknya.” Mbah Harti menceritakan cucunya yang bernama Indra. Siapa lagi ini? Pikirku. Kenapa ada anak kecil seperti itu. Seperti orang yang bernama Indra. Tapi kenapa Mama, Papa, atau mbah Uti tidak pernah menceritakan padaku perihal hal ini, tentang Indra.
“Kamu masih inget nduk siapa Indra?” Mbah Uti bertanya.
Aku hanya menggeleng.
“Wajar kalau kamu ndak ingat, lha wong kamu masih kecil sekali. Kemarin mbah mau ajak Indra kesini, tapi dia ndak mau, malu ketemu kamu katanya.” Kata mbah Harti.
Lagi-lagi aku tersenyum. Ah, siapa sih manusia benama Indra itu? Apa dia benar-benar ada?
“Sekarang Mas Indra itu dimana mbah?” Aku mulai merasakan adanya rasa penasaran.
“Di Surabaya…” Deg. Aku kuliah di Surabaya. Orang bernama Indra itu juga tinggal di Surabaya.
“Arinda ini juga kuliah di Surabaya lho.” Mbah Uti memberitahu Mbah Harti perihal kuliahku.
“Lho? Iya tho nduk? Indra juga kuliah di Surabaya, dan baru saja wisuda minggu kemarin. Aduh, mbah lupa apa nama tempat Indra kuliah.” Mbah Harti menuturkan.
Wisuda minggu lalu? Kampusku juga menggelar wisuda minggu lalu. Apa mungkin Indra itu juga disana? Ah, sudah Arinda, kamu berlebihan. Di Surabaya kan banyak sekali Tempat kuliah. Mungkin saja institusi lain. Tuhaan, aku mulai aneh. Hanya karna cerita seorang sahabat lama mbah Utiku aku jadi punya rasa penasaran sebesar ini. Berlebihan.
“Nduk, malam ini bobo sama mbah yuk. “ Lho? Tiba-tiba Mbah Harti mengajakku untuk tidur menemaninya.
“Ayo sana Rin, temani mbah Harti tidur.” Mbah Uti juga menyuruhku.
Apa boleh buat. Aku mengiyakan. Malam itu aku tidur bersama mbah Harti, sahabat karib mbah Uti, tamu istimewa keluarga ini. Orang yang bisa dibilang baru saja kukenal. Tapi serasa sudah dekat.
Mbah Harti seperti mbah Uti. Sebelum tidur, bercerita tentang banyak hal, seperti kembali ke masa kecil. Menjelang tidur, mama membacakan cerita untukku. Kali ini beda, bukan cerita fiktif yang kudengar, tapi kisah nyata mbah Harti. Usiaku tidak lagi muda, tapi 20 tahun. Dan bukan mama yang bercerita, tapi mbah Harti. Mbah Harti, nenek dari Indra Arsyad.

Indrarinda I - Mbah Harti

"Mbah Harti ini dulu rumahnya depan situ nduk, waktu kamu bayi, uti sering ajak kamu kesitu. Mbah Harti juga sering nggendong kamu, momong kamu dulu." Kata mbah uti panjang lebar, memperkenalkan mbah Harti padaku.
Hari ini memang hari spesial untuk mbah Uti, ini ulang tahunnya ke 74. Kami, anak-cucunya berkumpul di kediaman mbah uti untuk merayakannya. Ada kejutan untuk mbah Uti, mbah Uti kedatangan tamu spesial. Mbah Harti, begitu kami -anak cucu mbah Uti- memanggilnya. Beliau adalah teman akrab mbah uti, beliau juga tetangga dekat mbah uti, keluarga ini sudah menganggapnya seperti keluarga, begitu kata mbah Uti. Tapi aku sendiri tidak paham, sebenarnya siapa itu mbah Harti.
"Waktu mbah pergi, kamu bisa dibilang masih bayi, eee... Sekarang sudah jadi gadis begini. Mbah ndak ngira, bisa lihat kamu lagi nduk" Kata mbah Harti seraya merangkulku.
Aku hanya tersenyum. Mbah Harti sepertinya memang begitu dekat dengan keluarga ini. Mama, Papa, Pakde Wid, Bude Nur, Pakde Syam, Bude Yanti, Om Yusuf, Tante Is, semuanya mengenal baik mbah Harti, tapi tak satupun yang mau menceritakann secara jelas siapa mbah Harti itu kepadaku. Tak terkecuali Mamaku. Sepupu2ku yg lebih tua dariku juga mengenal Mbah Harti. Cuma aku yg masih bingung. Tapi mbah Harti begitu mengenalku, tahu siapa diriku. Dan aku, sekedar mengenal Mbah Harti sebagai bekas tetangga dekat mbah Uti dulu. Setelah ditinggal oleh suaminya, mbah Harti diboyong keluar jawa oleh anak pertamanya. Hanya itu yg kutahu. Selebihnya, entahlah. Tidak ada yang mau bercerita kepadaku.
"Mas Galang kenal sama mbah Harti?" Tanyaku pada mas Galang, cucu tertua mbah Uti.
“Kenal lah, kenapa Rin?”
“Emang mbah Harti itu siapa sih mas? Kok kayanya istimewa banget gitu dimata mbah Uti…” Aku menyelidik.
“Ya tanya langsung lah sama mbah Uti, kok malah tanya ke aku.” Jawab mas Galang sembari pergi meninggalkanku.
Kulihat ada mas Galih –saudara kembar mas Galang- di ruang keluarga, menonton tv bersama mas Fadhil, mas Akbar, dan mas Naufal. Aku bergabung bersama mereka, bermaksud menyelidiki.
“Sebenernya mbah Harti itu siapa sih?” Tanyaku pada mereka.
“Kenapa tanya begitu Rin?” Balas mas Galih.
“Iya mbak, mbah Harti itu siapa sih?” Mas Naufal ternyata juga tidak tahu siapa mbah Harti. Aku punya pendukung.
Semua diam.
Aku menyenggol siku mas Akbar, memintanya menjawab.
“Apa sih Rin?” Kata mas Akbar tak paham.
“Mbah Harti itu siapa?” Aku menegaskan keingintahuanku.
“Mana gue tahu, tanya yg tua-tua tuh.” Jawab mas Akbar.
“Beneran gak tau?” Aku meyakinkan.
“Sumpah Rin, gak tahu.” Mas Akbar mengacungkan dua jarinya.
“Mas Fadhil?” Kualihkan pandanganku pada mas Fadhil.
“Intinya, mbah Harti itu dulu rumahnya di depan situ tuh, tetangga deketnya mbah Uti, sekaligus teman akrabnya mbah Uti dari kecil.” Mas Fadhil akhirnya menjawab.
“Trus?” Ganti mas Naufal yg penasaran.
“Mbah Harti itu orangnya baiikk banget, uda kaya keluarga sendiri deh pokoknya, uda kaya mbah kita sendiri lho.” Kali ini mas Galih yang menjelaskan.
“Mas Galih kenal?” Tanyaku
“Kenal lah.” Jawabnya singkat.
“Mas Fadhil?” aku bertanya pada mas Fadhil.
Mas Fadhil mengangguk mantap.
“Mas Akbar?” Kualihkan pandangan pada mas Akbar.
“Enggak.” Jawabnya enteng.
“Aku juga enggak, mas Naufal juga nggak kenal. Kok bisa?”
“Jelas bisa. Waktu kamu sama Akbar masih bayi, mbah Harti pindah ke Kalimantan, ikut anaknya gitu.” Jelas mas Galih.
“Berhubung waktu mbah Harti pergi pas Aku, mas Galih, sama mas Galang uda rada gede, jadi kita inget. “ Tambah mas Fadhil.
Oooo… ya aku tahu sekarang.

Balada Krtinggalan Bus

balada ketinggalan bus

jumat 4 november 2011
sudah 2 bulan aku gak pulang kampung ke pacitan. dan hari itu, tepatnya tanggal 4 november 2011, aku memutuskan untuk pulang kampung, sengaja aku pulang kampung tanggal ini, soalnya bertepatan sama momen idul adha.
paginya, mulai jam set.6 aku ada ujian makul PK, oke ujian ini lancar banget. habis itu masih ada kuliah sociolinguistics, oke ini lancar juga. dan tarraaaaaa... habis itu aku masih menghadapi yang namanya ujian psycholinguistics. dan yaaa, ujian ini lancar juga.
dan hap hap hap, akirnya aku berangkat dari jember bareng Dwi temenku sekitar jam 11 siang, perjalanan ke tawangalun seperti biasa, macet lah gara-gara hari jumat, disamping jarak kampus ke tawangalun emang jauh, kita cuma naik angkot, itu pula yang bikin lama. dan yak, aku naik bus bareng dwi dan satu adik angkatanku yg mau pulkam ke ngawi.
kita naik bus sekitar jam 12 siang, yaa kalo diitung perjalanan normal, masi bisa lah nyampe surabaya jam 5 dan naik aneka jaya, secara aneka jaya jam sore berangkat dari surabaya jam 17.53, dan biasanya emang tepat waktu. Jadi aku tenang, tanpa mikir kalo ini weekend dan bertepatan momen idul adha.
Oemjii, kita salah naik bus, bus nya Cuma sampe Probolinggo *plis deh tiwi, uda semester 5 kok ya masih bisa ketipu sama bus?? Helllooo* yasudahlah, wong tadi dapet murah. Akirnya kita oper bus di terminal bayuangga, dan kita memutuskan naik patas dari situ, tanpa piker panjang, hap hap hap kita naik ke bus. Uda dapet posisi wenak, sambil ngobrol sana-sini sama dwi, kita disuguhi lagu-lagu evie tamala feat om.pallapa, mantab dah sampe aku gak sadar kalo busnya gak berangkat2. Tau gak? Bus nya take off *ini bus tiw, bukan pesawat* jam 3 sore. Asli, h2c gue jek! Harap-harap cemas, bisa nyampe Surabaya sebelum jam setengah enam gak yaa??
Dan bus mulai berjalan, aku takut liat jam, sumpah. Wussh wuussh.... lumayan cepet sih, tapi ada trouble pas nyampe Japanan, maceettt... khawatir? Jelas, tapi dibawa calm saja. Dan yang super khawatir justru Dwi, bukan aku. Pacarnya yang nunggu dia di terminal dia jadiin informan, liatin aneka jaya. Bus yg aku tumpangin baru masuk tol, dan menurut berita dari sang informan yg diutus dwi, bus yang namanya aneka jaya, bus satu-satunya yang berangkat ke pacitan pada jam itu sudah penuh. Jleng! Aku baru ngeh, kalo ini weekend dan pas momen idul adha. Jadi kesimpulannya, itu bus pasti penuh sama orang-orang pacitan yang mau balik kampung. Dan info selanjutnya dateng, ini yang bikin aku shock. Busnya uda berangkat, jediarr! Speechless jek, tapi tetep calm down. Masih ada bus selanjutnya, tapi... masih jam 22.40 ntar. Ah dan akhirnya kurelakan aneka jaya petang pergi meninggalkanku... huhuu
Kita sampe di terminal Purabaya atau lebih keren disebut Bungurasih sekitar jam setengah enam petang. Aku masih linglung gara-gara ditinggal si bus. Aku lari ke arah tempat bus biasa mangkal, gak ada. Ke jalur 3, gak ada juga. Dan ya, emang bener, si bus uda berangkat. Huaaaaa ibuukk...
Aku pun akirnya duduk di kursi tunggu ditemenin Dwi dan pacarnya. Ceritanya nenangin diri sambil cari jalan keluar gitu. Dwi ikut bingung, padahal aslinya ini bukan masalah besar, tapi dasar aku yg heboh, jadi kelihatan gede aja nih masalah.
Oke, aku mulai cari jalan keluar. Pertama aku nelpon ibuk. Kata Bapak, aku disuruh naik bus Ponorogo an trus dijemput disana. Ini bukan ide bagus, kasian bapak, jauh lho, malem lagi. Ibu ngasih saran nginep aja di tempat temen yang di situ. Gak mau juga ah, ngrepotin aja. Endingnya ibu bilang, kalo mau nunggu bus yang selanjutnya, aku kudu ada temenya. Nah lho, siapa coba?
Kedua aku ngubungin Bulek Yani. Bulek ngasih saran, naik travel aja ya? Aku dikirimin sederet no telepon travel ke pacitan. Tapii... sama aja kalo naik travel, take off dari Surabaya nya juga sekitar jam 11 an, belum lagi kira-kira uda gak ada tempat kosong kalo pesenya jam segini. Oemjii.... yasudah aku putusin nunggu aneka jaya yang selanjutnya aja, jam 22.00. it means, aku harus nunggu sekitar 4 jam disini.


suasana genting masi sempat foto2? ya itu saya... haha



Dwi sama pacarnya masi disampingku, nemenin. Duh, jadi gak enak sama mereka, gara-gara aku, mereka merelakan acara kencan mereka batal, demi nemenin aku *ndog, nal, thanks thanks so much yaa atas bantuanya... big thanks pokoknya* dan ya, aku punya rencana lain, gak mungkin kan kalo dwi dan pacarnya nungguin aku sampe jam 10an, akirnya aku sms salah satu teman di Surabaya. Yaaa harap2 dia mau nyamperin aku gitu di terminal terus nemenin sampe aku dapet bus nanti. Sumpah, logikaku gak jalan rasanya. Tau endingnya?? Dia gak bisa nemenin, entah gak bisa ato gak mau, pokoknya misi *geje* ku gagal. Ini yang paling gila, moodku berubah buruk dalam hitungan detik, aku diem, speechless, kaya orang linglung. Gara-gara sms balesan dari seorang temen itu aku jadi kaya gini? Kaya mati rasa, tapi aku masih bisa ngerasain sakit. Sampe-sampe aku kalut, Dwi dan pacarnya jadi tambah bingung ngeliat aku kaya orang bego kehilangan hati gitu *so sorry for making trouble yaa ndog* aku masih gak ngerti kenapa aku bisa kaya gini ya? Belum sadar.
Dan akirnya Dwi sama pacarnya pun pulang, aku relakan mereka, pokoknya makasi banget atas waktunya, dan maaf banget uda merepotkan mereka. Mereka pergi, aku masih duduk diem gak jelas. Antara bego, sakit, dan malu. Kenapa sih?? Dan ini aib, aku pergi ke toilet, nangis disana. Hahahha sumpah ini malu-maluin banget, ngapain coba? Aku pengen shalat, curhat ke Allah, tapi lagi gak bisa. Duh sumpah! nyesek banget. Ini nyata atau nggak sih? Kok kaya sinetron begini ya? Eh atau ini drama? Atau film? Entahlah, tapi setelah ngluarin air mata, otak normalku jadi jalan lagi. Jadi pengen ketawa sendiri, kenapa aku bisa dramatis melankolis hiperbola gitu ya? Sumpah bego banget. Malu aku pake acara sms temen itu segala.


Dan aku keliling jalan-jalan sambil nunggu bus datang. Jam 9 aku jalan ke parkiran, tempat bus aneka jaya tercinta biasa mangkal. Banyak banget yang nunggu disitu, jangan-jangan mereka mau naik aneka jaya juga. Mana cukup?? Akirnya aku Tanya-tanya ke beberapa orang disitu, ternyata gak banyak yang mau ke pacitan. Aku setia nunggu disitu. Duduk, berdiri, ngesot, ndlosor, nongkrong, segala macam pose deh. Dan makin malam makin rame tuh terminal. Uda kaya mau lebaran syawal aja lho, rame banget, sampe2 tempat parker bus isinya manusia. Mereka udah gak sabar nunggu bus di jalur lagi, takut gak kebagian tempat, sampe-sampe petugas kewalahan ngatur calon penumpang itu.


Dan taraaaaaa... jam 10 malem, bus yang aku tunggu-tunggu, aneka jaya, dateng. Tapi... what??? Kok di dalem uda banyak penumpangnya gitu?? Wes gak tau lagi deh nasibku gimana kalo gak dapet tempat duduk. Bus berhenti, pintu dibuka, penumpang nyerbu keroyokan, aku gak mau kalah, hap hap yak! Aku bisa masuk. Penuh. Gak ada tempat duduk tersisa, yg keliatan kosng ternyata uda dipesen. Sampe akirnya aku dipanggil sama bapak-bapak paruh baya disuruh duduk di kursinya, bapak itu pindah duduk sama temenya di depan. Alhamdulillah, masih ada orang baik ke aku *meski aku habis jahat ke orang* finally, aku bisa duduk, dan perjalanan ke kampung halaman pun berlanjut. Alhamdulillahirabbila’alamin

Yang Tertinggal dari Tragedi Air Mata di Bus

Kamis, 15 September 2011

"Ndhuk... Aku weruh olehmu nangis, nganti bis ilang saka dalan ngarep terminal... Matur nuwun anakku... Saben ngeterne kowe, atiku seneng, trenyuh, muga2 Gusti Allah tansah ngayomi, paring pituduh, paring panjang umur sing barokah... Ndhuk Wi... Sholate sing apik ya!"

Sampai detik ini pun, air mataku masi sanggup mengalir dari sudut mata tiap kali buka sms bapak itu di folder save messages di ponselku. yah, cuma sms itu yg tertinggal dari kejadian seminggu yg lalu, tepatnya hari rabu, tanggal 7 september 2011, waktu aku diantar bapak ke terminal untuk balik ke perantauan. Hari itu, 3 hari sebelum hari ulang tahun bapak yg ke-46. Hari itu, aku nggak tahu kenapa aku bisa refleks nangis bombay di bus setelah bapak turun dari bus. Hari itu pun juga nggak seperti biasanya, bapak mengantarku sampai ke dalam bus. Waktu bus mulai berangkat, bapak menunggu di pinggir jalan, aku bermaksud 'say goodbye' pada bapak, tapi nggak sanggup, aku nangis duluan, sedih liat bapak.
Dan hari ini, 15 september 2011, 5 hari setelah ulang tahun bapak. Betapa bodohnya aku, aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada bapak, memang bagi sebagian orang itu nggak penting tapi aku yakin bapak pasti bahagia kalau mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari anaknya.
Nggak ada yg bisa aku ungkapkan sekarang, yg tahu gimana rasanya cuma hatiku...
Bapak, ayah juara satu seluruh dunia.

Kepada: Hati Itu

Dearest nathan...
Nat, apa kabar? aku tahu kamu pasti akan menjawab 'baik' dan berbalik menanyakan bagaimana kabarku, meski aku tak yakin kamu benar-benar ingin tahu kabarku atau sekedar berbasa-basi. Dan aku tak pernah tahu, apakah keadaanmu yg sebenarnya sebaik jawaban 'baik' yg kamu lontarkan itu. seringkali aku tak yakin Nat, aku tak yakin kamu baik-baik saja, aku tak yakin kamu menjawab sesuai kenyataan, aku sering menduga kamu mengatakan itu hanya karna kamu tak ingin orang lain tak terkecuali aku tahu keadaanmu yang sebenarnya. Kamu menjawab begitu karna kamu ingin supaya aku tak mengkhawatirkanmu kan? Gak bisa Nat... Tahukah kamu Nat? aku lebih sering memikirkanmu daripada lelaki yg sedang menjalin hubungan denganku, aku lebih mengkhawatirkan keadaanmu daripada keadaanku sendiri. Aku cuma ingin kamu tahu kok Nat, aku gak minta balasan, gak minta perhatian.
Nat... sebentar lagi tanggal 4 november, kamu inget ada apa pada tanggal itu tahun lalu? Aku gak akan lupa nat, betapa malam itu jadi malam yang mengejutkan buatku. lewat pesan singkat itu, kamu mengutarakan maksudmu, memintaku untuk mengisi ruang kosong di hatimu, aku merasakan ketulusan yang gak pernah aku temukan sebelumnya, ketulusan seorang laki-laki diawal usia 20an pada lawan jenisnya. Aku baru mendapatkanya dari kamu, Nat. Dan tanpa ragu aku mengiyakan permintaanmu. Aku bahagia banget, perasaanku terbalas. Terimakasih Nathan.
Maaf Nat. Aku bukan bermaksud untuk membuka lagi sakit hatimu, aku ingin minta maaf. Maaf yang resmi. Atas semua perlakuanku yang aku kasih ke kamu itu. Aku menyakiti kamu, memporak porandakan kebahagiaanmu, menghancurkan semangatmu. Maafkan aku Nathan. Aku emang gak tau rasa sakit yg kamu alami karna aku. Karna mataku sudah buta kala itu, begitu juga hatiku yg sudah mati rasa. Kalau ada hal yg bisa menebus dosa besarku ke kamu, apa pun itu aku bakal berusaha untuk melakukan, mencari, mendapatkannya. Untuk kamu, Nat. Sebagai penebus dosaku.
Nathan, jujur aku pengen banget tau keadaanmu saat ini. Apa kamu baik2 aja? Apa kamu masi menjadi pecinta kopi dan rokok? Apa makanmu selalu terjamin 3x sehari? Apa tidurmu cukup? Bagaimana kuliahmu? Apa kabar IPmu? Kamu masih suka bertualang di waktu senggangmu? Siapa tempatmu berkeluh kesah sekarang? Masihkah kamu menulis puisi? Masihkah kamu suka filsafat? Siapa yg mengingatkanmu untuk merapikan rambutmu ketika sudah mulai panjang? Siapa yg sering mengucapkan selamat malam menjelang tidur sekarang? Aku rindu masa2 itu Nat... Aku merindukanmu, aku mengkhawatirkanmu... Apa kamu masih bisa bernafas seperti biasa? Apakah kamu masi berjalan seperti biasa? Kamu masih hidup kan, Nat?
Mungkin aku tak pernah mendoakanmu sehabis aku menjalankan kewajibanku padaNya, tapi tiap kali aku ingat kamu, hati ini gak pernah berhenti mendoakanmu Nathan. Aku minta Tuhan menjagamu, membimbingmu, menemanimu selalu. Aku gak mau kamu hilang arah, aku gak ingin kamu goyah.
Kamu boleh saja melupakanku, tapi jangan lupakan pemberi hidupmu, jangan lupakan Tuhanmu. Aku berterimakasih pada Tuhan, karna takdirNya aku bisa mengenalmu, Nathan.

Tak Sempat


Dia Nampak kurus dibanding sebulan yang lalu, dimana kami dipertemukan di sebuah meja antik di sudut kafe klasik itu.
“Selamat, mas.” Aku mengulurkan tangan, mas Lintang meraihnya.
“Aku lega, Zaf.” Aku tak bisa berkata-kata, kulemparkan senyum.
Yang aku khawatirkan terjadi. Mas Lintang kembali ke kota asalnya. Jauh ke ujung pulau ini. Mas Lintang pulang sementara.
Aku menerka. Mungkin, mas Lintang mengabdi di kampung halamannya sambil menunggu waktu pengukuhan gelarnya tiba.
Mendekati hari pengukuhan, mas Lintang kembali ke kota ini. Lagi-lagi tanpa mengabariku. Tentu saja, aku bukan siapa-siapa.
Hari pengukuhan. Mas Lintang resmi lulus. Butuh waktu lima tahun bagi mas Lintang untuk mendapatkan gelar ini. Aku turut bahagia.
Ingin sekali aku menyaksikan euphoria kelulusan mas Lintang, melihat senyum sumringah di sana. Tapi... siapa aku? Sangat tidak mungkin aku untuk hadir di sana. Dengan keadaan jarum infus tertusuk di pembuluh, dan selang oksigen yang sebentar-sebentar dibongkar pasang. Nekat. Malam ini aku menguatkan jemariku mengetik pesan untuk mas Lintang. Mengucapkan selamat atas kelulusannya.
Menjelang tidur, jika aku ingat mas Lintang aku selalu begini. Apakah aku akan menjadi seperti pemeran utama wanita dalam film ‘Sunny’ itu? Ah, kurasa tidak mungkin. Aku sudah berlebihan.
Esok hari. Aku tahu hari ini mas Lintang pergi. Bukan Cuma sementara, bukan juga selamanya, tapi mas Lintang benar-benar pergi dari kota ini. Dan hampa. Tidak ada lagi seorang Lintang Mahawira di kota ini. Aku berlebihan perihal rasa ini. Rasanya memang ada yang hilang.
Mas Lintang masih hidup. Nomor ponselnya masih kusimpan. Akun facebooknya masih aktif. Tapi kenapa rasanya jauh sekali? Kalau memang kangen, aku bisa saja mengirim pesan singkat padanya, atau kalau kurang bisa menelepon. Tapi sayang, ketakutanku begitu kuat, mengalahkan segalanya. Tak berani bertindak layaknya orang yang benar-benar merasakan rindu.
Aku hanya menguntit mas Lintang dari akun facebooknya. Setiap hari kutengok, memastikan keadaanya baik-baik saja. Tanpa imbal balik. Aku tahu ini sia-sia, memikirkan sesuatu yang tak jelas, semu. Diam berkelanjutan. Dan mungkin akan tiba saatnya ini akan menjadi sakit. Tapi aku menikmatinya. Menikmati hingar binger perasaan terpendam. Merasakan keindahan diam.
Hari ulang tahunku. Dua bulan setelah perpisahan dengan mas Lintang. Kurayakan di ranjang rumah sakit. Tergolek lemah. Tahun lalu aku tiup lilin ditemani mas Lintang. Hanya mas Lintang, tidak dengan orang tuaku, maupun teman-temanku. Aku mengingat-ingat lagi. Sepulang dari tiup lilin tiba-tiba aku menerima sms dari teman dekat mas Lintang. ‘apa Lintang istimewa?’ begitu isinya. Ah mas Lintang... apa kabar mas disana? Di perantauan, mengadu nasib dengan dunia baru, lingkungan baru. Ingat aku ya, mas Lintang.
“Dik... cepet sehat donk, rumah sepi banget kalo kamu gak ada.” Kata mama sambil mengelus kepalaku. Aku tersenyum.
Ponselku berdering. Ada telepon. Kak Hilmi yang mengangkat telepon, dan keluar dari kamar tanpa aku tahu siapa yang menelepon. Padahal itu pasti telepon untukku. Agak lama Kak Hilmi berbincang. Kemudian Kak Hilmi masuk dan menyodorkan ponsel ke depan mataku. Satu pesan. Aku kenal betul nama pengirimnya.
From: Mas Lintang
‘kurang dari 24 jam, aku pastikan aku ada di hadapan Zaf. Dan Zaf bisa ungkap semuanya’
Aku menatap Kak Hilmi penuh Tanya.
“Ini nyata, Zaf. Kakak tau semuanya, sayang.” Oh Tuhaan... aku malu.
Kak Hilmi membelai rambutku, air mukanya berubah.
“Zaf, janji ya sama kakak... kamu harus jadi pemenang untuk hidupmu.”
Aku tersenyum semampuku. Tiba-tiba aku merasa trenyuh melihat kak Hilmi. Tidak biasanya kak Hilmi berekspresi seperti itu. Dan malam ini, aku hanya ingin tidur. Tidur sedamai-damainya. Semoga mala mini menjadi malam terakhir aku merasakan sakit.
Mama, papa, kak Hilmi... Zaf janji, Zaf gak akan merepotkan kalian lagi. Zaf pasti kuat.
Rasanya aku tak perlu mengungkapkan apa-apa jika besok mas Lintang benar-benar ada di hadapanku. Karna kurasa semua sudah jelas.
***
Di tempat lain...
Di bagian dalam kereta, di salah satu gerbong, di dekat jendela. Lintang Mahawira duduk di sana. Termenung. Kereta terus melaju. Membawa Lintang menuju kota itu, kota tempat tinggal Zaf.


Sebenarnya bukan semata-mata untuk Zaf dia pergi. Lintang bermaksud menghadiri pernikahan Alif, kawannya. Lintang menelepon Zaf bermaksud sekedar mengabari bahwa ia akan datang ke kota itu. Siapa tahu dia bisa bertemu Zaf dan melepas rindunya. Mendengar bukan Zaf sendiri yang mengangkat telepon darinya, Lintang sempat ragu. Namun tak lama berselang, lidahnya berubah kelu.
Zafina. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang. Bukan lagi pernikahan Alif, bukan pula teman-temannya. Hilmi telah menguak semuanya pada Lintang. Pernikahan Alif bukan lagi tujuan utamanya. Tapi untuk Zaf. Untuk Zaf dia pergi.
Sekitar empat jam lagi Lintang akan sampai di kota itu. Ponsel bordering. Ada pesan. Segera Lintang membukanya.
From: Zaf
‘Lintang, Zafina sudah dipanggil oleh Tuhan. Maafkan salah dan khilaf Zaf selama hidup, ikhlaskan dia. (Hilmi)’
Kaget. Lintang lemas. Pikirannya kalut, lidahnya kelu, hatinya bergetar.
Dalam kekalutannya, akhirnya air mata pun mengalir. Beberapa pasang mata pun memperhatikannya. Lintang tak peduli. Lintang tenggelam dalam duka kepergian Zaf.
Tiba-tiba kereta terasa berguncang, disusul suara ledakkan. Guncangan hebat mengagetkan seisi kereta.teriakan bergemuruh. Ricuh. Kacai. Dan hancur.
Beberapa waktu kemudian. Hampir semua media elektronik menyiarkan berita yang sama: kecelakaan KA * jurusan kota * - *. Lintang disana.
Korban kecelakaan KA *
....
24. LINTANG MAHAWIRA
...

“...kau tak sempat tanyakan aku, cintakah aku padamu?...”

Kerang Ungu

KERANG UNGU

“woii... wooiii...!! Jam kosooongg woiii....!!!” Ardi berteriak bagai dapat harta karun dari kapal karam di laut jawa ketika tahu bahwa jam pelajaran terakhir hari ini kosong.
Anak-anak di kelas ricuh, gembira. Maklum lah, anak-anak kelas social, heboh banget kalau udah denger yang namanya jam kosong. Secara ini langka banget terjadi akhir-akhir ini. Tapi kegirangan itu tak berlangsung lama. Tyo, sang ketua kelas datang, membawa secarik kertas berisi ultimatum.
“Ada tugas woiii...!!!” Teriakannya tak kalah kencang dengan Ardi.
Dan semua pun menggumam sebal. Tyo lalu membacakan tugas yang diberikan Bu Arum, guru akuntansi kelas ini. 80 persen dari kami tidak mempeerhatikan. Malah ada yang menghambur keluar kelas sebelum Tyo usai member pengumuman. Itu sudah adat istiadat, tak usah heran. Cirri khas anak-anak kelas social di sekolah yang sering disebut-sebut sekolah favorit nomor dua di kota ini. Beginilah kenyataanya, siswa tidak betah berlama-lama di kelas, ketika jam pelajaran berganti dan guru meninggalkan kelas, mereka menghambur keluar kelas, dan baru kembali ke kelas ketika guru mata pelajaran selanjutnya datang. Hobi mereka ngobrol, membuat gaduh, nongkrong di kantin, main futsal, basket, bahkan voli di sembarang tempat, dan tentunya membuat para guru geleng-geleng kepala setiap hari. Tapi bukan berarti semua anak berlaku seperti itu, itu hanya sebagian anak, bukan mayoritas memang, tapi cukup berpengaruh dalam pencitraan kelas social.
Dan seperti saat ini, Tugas sudah dibacakan Tyo di depan kelas, tapi mungkin hanya sekitar separo yang menanggapinya kemudain mengeluarkan buku, membolak-balik halaman mencari tugas yang dimaksud. setengah penghuni kelas sudah lenyap begitu saja. Dan kini hanya ada sekitar 20an anak yang berada di kelas, termasuk aku. 20an yang berada di kelas, tapi bukan berarti mereka semua mengerjakan tugas. Ada segerombol besar anak-anak yang mengerjakan tugas bersama, aku ikut di dalamnya. Ini kelompok manusia social yang sedikit mewarisi jiwa eksak, patuh, doyan mengerjakan tugas. Ada segerombol yang hanya duduk-duduk sambil mengobrol. Ada yang diam sambil membaca buku. Dan dari 20an anak yang berada di kelas itu, kulihat hanya ada segelintir kaum adam di sana. Termasuk Nathan. Dia diam di bangkunya, serius membaca sesuatu di ponselnya.
Setelah berdiskusi sebentar dengan kelompok, aku kembali ke bangku tempatku duduk mencoba mengerjakan sendiri setelah memperoleh penjelasan dari beberapa pakar akuntansi di kelas ini. Seperti biasa, kalau ada yang tidak menegrti akau akan kembali ke gerombolan itu. Aku mulai asik menulis deretan angka di kolom-kolom yang kubuat di buku akuntansiku, dan sebentar-sebentar aku serius memncet kalkulator, menghitung. Tiba-tiba bangku di sebelahku berdecit, sesosok laki-laki sambil tersenyum telah duduk disana, Nathan. Aku sedikit kaget. Kubalas senyumnya dan kulanjutkan menggarap tugas ini.
“Udah sampai mana Kin ngerjainya?” Tanya Nathan memecah keheningan antara kami berdua.
“Baru mulai Than, kamu?”
“Males ah, ntar aja nyontek punya kamu. Hehe...”
“Hem... nyari enaknya aja kamu.”
Kami tertawa. Garing. Dan sepi kembali. Aku asik dengan tugas ini, kulirik Nathan sedang memerhatikan aku yang sedang menulis dengan serius. Lama.
Nathan melepaskan pandanganya dariku, kemudian dia meraih block noteku di depannya. Dia mulai membuka-buka block note yang bkugunakan untuk mencatat bermacam pengumuman atau hal-hal penting yang kudapat, sering pula kugunakan untuk menghitung ketika sedang mengerjakan tugas matematika atau akuntansi atau ekonomi. Kulirik Nathan lagi, terlihat serius membaca suatu halaman dalam block note. Oh God, aku lupa kalau ada beberapa tulisan isengku dalam block note itu, ada beberapa puisi pula disana. Itukah yang dibaca Nathan?
“Serius amat Than?” Perhatianku beralih pada Nathan.
“Kamu suka nulis ya?” Tanya Nathan balik.
“Nggak kok.”
“Oh...”
Nathan diam. Begitu pula aku. Sebenarnya aku malu tulisanku yang gak jelas itu dibaca seorang Nathan, tapi ya sudahlah terlanjur basah. Aku tak mau terkesan malu atau manja atau bisa jadi genit kalau harus merebut block note itu dari tangan Nathan.
“Kin, aku kemarin ke pantai lho...” Sepertinya Nathan ingin bercerita sesuatu. Aku menghentikan tanganku yang asik menulis. Dan menoleh ke arahnya. Kata-kata pantai menarik perhatianku, aku suka pantai.
“O ya? Sama siapa?”
“Sendiri.”
Aku terdiam. Nathan, selalu begitu. Sering membuatku merasa ngeh dengan tindakan-tindakan nya yang bisa dibilang jarang dilakukan teman-teman seusiaku. Dia pergi ke pantai sendirian, masa iya? padahal kota ini jauh dari pantai, harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan untuk mencapai pantai terdekat.
“Serius?” Tanyaku masih tak yakin.
“Iyalah.”
“Trus ngapain kesana sendirian? Jauh lagi.”
“Yaaaa main.”
Nathan mengambil sesuatu dari saku celana abu-abunya.
“Nih Kin, aku bawa kerang.” Kata Nathan sambil meletakan beberapa kerang di meja.
“Ini oleh-oleh dari pantai?” Aku mengambil satu kerang yang menarik perhatianku.
“Aku punya banyak lagi.”
“Mana?”
“Di rumah.”
Satu per satu kupegang dan kuamati kerang yang dibawa Nathan. Bagus. Ada satu kerang yang berwarna menarik, ungu. Kecil dan bersih. Kuamati kerang itu baik-baik.
“Kamu mau Kin?”
“Apa Than?”
“Kalo kamu mau pilih aja.”
“Yang ungu ini ya?”
“Ada ungu yang lebih bagus lho Kin.”
“Cukup ini aja deh Than.”
“Aku janji kapan-kapan aku bawain kerang itu buat kamu.”
“Nggak usah kali Than...”
Nathan hanya tersenyum penuh tanda Tanya buatku. Kemudian dia berlalu begitu saja, dari hadapanku. Baru kali ini kulihat Nathan bicara seperti itu, meski tak jarang dia juga bersikap aneh. Apa maksudnya menawariku kerang dan berjanji membawakannya untukku? Mungkin ini memang suatu yang biasa, tapi bagiku ini janggal. Janggal untukku yang sedang dirundung perasaan aneh, entah apa itu, perasaan khusus pada Nathan. Memiliki kerang ungu itu, rasanya seperti menemukan harta karun yang tak ternilai harganya. Kerang ungu dari Nathan, lelaki sejuta Tanya.

Letter to Af


Dear mas Af,
Mas Af, apa kabar? Semoga Allah slalu melindungi mas. Amin.
Jakarta gimana mas? Enak tinggal disana? Kerjaan mas gimana? Temen-temen mas baik-baik kan orangnya? Maaf ya mas, aku banyak tanya, soalnya aku pengen tahu banyak sih... Kan semenjak mas Af di Jakarta, mas belum pernah cerita-cerita ke aku. Kalo aku duluan yang tanya, aku takut aku ganggu mas, nggak berani, hihii
Mas Af, aku pengen ngobrol banyaaaakk banget ke mas. Semester ini aku bisa nempuh full lagi, alhamdulillah, nggak ada nilai c mas. Masuk tahun ajaran baru, aku sekarang uda smester 5, semester tengah, masi cukup lama untuk menyandang gelar sarjana kaya mas, tapi kudu tetep smangat! kudu kuliah yang bener biar bisa cepet-cepet nyusul mas Af jadi sarjana.
Mas Af, kemarin aku jalan-jalan muterin kota. Lewat jembatan kembar malem-malem, masih sama kaya 6 bulan yang lalu, waktu kita lewat sana sehabis mas traktir aku di hari ulang tahun mas. Aku juga sempat lewat depan resto perahu. Hihiihi, jadi inget pertama makan di tempat itu. Oh iya mas, bangunan besar yang mas bilang mau dijadiin hotel itu sekarang udah jadi lho mas, keren banget mas. Mewah.
Mas Af, sebentar lagi tanggal 12 oktober, mas Af tau nggak itu tanggal apa? oke lah, mas nggak perlu susah-susah untuk mengingatnya. Tapi mas inget kan pertama kali mas makan di Angkringan Mie Setahun yg lalu? Tau nggak mas? Sampai sekarang, aku mas inget rasa mie yg aku makan pas bareng sama mas, dan sampai sekarang mie itu jadi menu favoritku kalo dateng kesana. Hihii... tahun ini... Uda pasti aku gak bisa ngulang kejadian yang sama kaya tahun lalu. Gak bisa makan mie lagi sama mas Af, gak bisa ngobrol di teras kosan lagi sama mas Af. Mas jauh di Jakarta sih... Hehee dan aku masi di Jember, entah kapan aku keluar dari kota ini. Yang pasti aku harus memanfaatkan waktuku di kota ini sebaik2nya, sebenci apapun aku pada kota ini tanpa ada mas Af, suatu saat aku pasti rindu kota ini.


Ah, baru sebentar mas pergi, tapi rasanya kota ini kehilangan warna dimataku. sekarang aku cuma bisa berandai2... Seandainya jakarta-jember seperti kampus fisip-ft, seandainya aku bisa kaya jinny yg bsa dengan mudah berpindah tempat hanya dengan berkedip, seandainya tempatku berbaring sekarang cuma berbatas tirai dengan tempat mas berbaring, seandainya bicara dengan mas seperti bicara dengan adikku, seandainya... Dan seandainya... Sayangnya... Aku takut, takut buat sms mas sekedar tanya kabar, takut menelepon mas sekedar ingin mendengar suara mas, takut menerima kenyataan terperih yg akan aku terima dari mas kalau aku jujur dengan perasaan ini. karna aku rapuh mas... Dan makin rapuh sepeninggalmu dari kota ini.
Mas Af, aku minta maaf, atas kelancanganku menulis surat ini. Entah surat ini sampai ke tangan mas atau nggak, entah alamat yg dituju salah atau benar. Aku minta maaf atas tragedi terakhir kita bertemu di festival itu, mungkin mas merasa gak ada yg salah, tapi aku merasa itu kekonyolan paling parah mas. Aku sedih kenapa harus bertemu mas ketika aku sedang bersamanya? Dan aku minta maaf untuk kelancanganku mengungkapkan berbagai hal aneh mengatasnamakan mas di jejaring sosial. Aku kangen mas Af...
Mas Af, baik-baik ya di kota orang... Merinding aku menulis surat ini, membayangkan kehidupan mas di kota sekeras Jakarta. Jaga kesehatan ya mas, ingat Allah selalu. Semoga mas bisa meraih kesuksesan disana, hidup makmur, dan tetap bersahaja, seperti mas Afin yang aku kenal. sudah ya mas, lain kali kalo aku kangen mas, aku pasti akan tulis surat lagi.
Teriring doa dari hati...
Semoga Allah selalu menemanimu...

Al

About this blog

happy reading

Total Pageviews

Followers

About Me

Foto Saya
dianpra
Writing for Pleasure
Lihat profil lengkapku

thanks for visiting