KERANG UNGU
“woii... wooiii...!! Jam kosooongg woiii....!!!” Ardi berteriak bagai dapat harta karun dari kapal karam di laut jawa ketika tahu bahwa jam pelajaran terakhir hari ini kosong.
Anak-anak di kelas ricuh, gembira. Maklum lah, anak-anak kelas social, heboh banget kalau udah denger yang namanya jam kosong. Secara ini langka banget terjadi akhir-akhir ini. Tapi kegirangan itu tak berlangsung lama. Tyo, sang ketua kelas datang, membawa secarik kertas berisi ultimatum.
“Ada tugas woiii...!!!” Teriakannya tak kalah kencang dengan Ardi.
Dan semua pun menggumam sebal. Tyo lalu membacakan tugas yang diberikan Bu Arum, guru akuntansi kelas ini. 80 persen dari kami tidak mempeerhatikan. Malah ada yang menghambur keluar kelas sebelum Tyo usai member pengumuman. Itu sudah adat istiadat, tak usah heran. Cirri khas anak-anak kelas social di sekolah yang sering disebut-sebut sekolah favorit nomor dua di kota ini. Beginilah kenyataanya, siswa tidak betah berlama-lama di kelas, ketika jam pelajaran berganti dan guru meninggalkan kelas, mereka menghambur keluar kelas, dan baru kembali ke kelas ketika guru mata pelajaran selanjutnya datang. Hobi mereka ngobrol, membuat gaduh, nongkrong di kantin, main futsal, basket, bahkan voli di sembarang tempat, dan tentunya membuat para guru geleng-geleng kepala setiap hari. Tapi bukan berarti semua anak berlaku seperti itu, itu hanya sebagian anak, bukan mayoritas memang, tapi cukup berpengaruh dalam pencitraan kelas social.
Dan seperti saat ini, Tugas sudah dibacakan Tyo di depan kelas, tapi mungkin hanya sekitar separo yang menanggapinya kemudain mengeluarkan buku, membolak-balik halaman mencari tugas yang dimaksud. setengah penghuni kelas sudah lenyap begitu saja. Dan kini hanya ada sekitar 20an anak yang berada di kelas, termasuk aku. 20an yang berada di kelas, tapi bukan berarti mereka semua mengerjakan tugas. Ada segerombol besar anak-anak yang mengerjakan tugas bersama, aku ikut di dalamnya. Ini kelompok manusia social yang sedikit mewarisi jiwa eksak, patuh, doyan mengerjakan tugas. Ada segerombol yang hanya duduk-duduk sambil mengobrol. Ada yang diam sambil membaca buku. Dan dari 20an anak yang berada di kelas itu, kulihat hanya ada segelintir kaum adam di sana. Termasuk Nathan. Dia diam di bangkunya, serius membaca sesuatu di ponselnya.
Setelah berdiskusi sebentar dengan kelompok, aku kembali ke bangku tempatku duduk mencoba mengerjakan sendiri setelah memperoleh penjelasan dari beberapa pakar akuntansi di kelas ini. Seperti biasa, kalau ada yang tidak menegrti akau akan kembali ke gerombolan itu. Aku mulai asik menulis deretan angka di kolom-kolom yang kubuat di buku akuntansiku, dan sebentar-sebentar aku serius memncet kalkulator, menghitung. Tiba-tiba bangku di sebelahku berdecit, sesosok laki-laki sambil tersenyum telah duduk disana, Nathan. Aku sedikit kaget. Kubalas senyumnya dan kulanjutkan menggarap tugas ini.
“Udah sampai mana Kin ngerjainya?” Tanya Nathan memecah keheningan antara kami berdua.
“Baru mulai Than, kamu?”
“Males ah, ntar aja nyontek punya kamu. Hehe...”
“Hem... nyari enaknya aja kamu.”
Kami tertawa. Garing. Dan sepi kembali. Aku asik dengan tugas ini, kulirik Nathan sedang memerhatikan aku yang sedang menulis dengan serius. Lama.
Nathan melepaskan pandanganya dariku, kemudian dia meraih block noteku di depannya. Dia mulai membuka-buka block note yang bkugunakan untuk mencatat bermacam pengumuman atau hal-hal penting yang kudapat, sering pula kugunakan untuk menghitung ketika sedang mengerjakan tugas matematika atau akuntansi atau ekonomi. Kulirik Nathan lagi, terlihat serius membaca suatu halaman dalam block note. Oh God, aku lupa kalau ada beberapa tulisan isengku dalam block note itu, ada beberapa puisi pula disana. Itukah yang dibaca Nathan?
“Serius amat Than?” Perhatianku beralih pada Nathan.
“Kamu suka nulis ya?” Tanya Nathan balik.
“Nggak kok.”
“Oh...”
Nathan diam. Begitu pula aku. Sebenarnya aku malu tulisanku yang gak jelas itu dibaca seorang Nathan, tapi ya sudahlah terlanjur basah. Aku tak mau terkesan malu atau manja atau bisa jadi genit kalau harus merebut block note itu dari tangan Nathan.
“Kin, aku kemarin ke pantai lho...” Sepertinya Nathan ingin bercerita sesuatu. Aku menghentikan tanganku yang asik menulis. Dan menoleh ke arahnya. Kata-kata pantai menarik perhatianku, aku suka pantai.
“O ya? Sama siapa?”
“Sendiri.”
Aku terdiam. Nathan, selalu begitu. Sering membuatku merasa ngeh dengan tindakan-tindakan nya yang bisa dibilang jarang dilakukan teman-teman seusiaku. Dia pergi ke pantai sendirian, masa iya? padahal kota ini jauh dari pantai, harus menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan untuk mencapai pantai terdekat.
“Serius?” Tanyaku masih tak yakin.
“Iyalah.”
“Trus ngapain kesana sendirian? Jauh lagi.”
“Yaaaa main.”
Nathan mengambil sesuatu dari saku celana abu-abunya.
“Nih Kin, aku bawa kerang.” Kata Nathan sambil meletakan beberapa kerang di meja.
“Ini oleh-oleh dari pantai?” Aku mengambil satu kerang yang menarik perhatianku.
“Aku punya banyak lagi.”
“Mana?”
“Di rumah.”
Satu per satu kupegang dan kuamati kerang yang dibawa Nathan. Bagus. Ada satu kerang yang berwarna menarik, ungu. Kecil dan bersih. Kuamati kerang itu baik-baik.
“Kamu mau Kin?”
“Apa Than?”
“Kalo kamu mau pilih aja.”
“Yang ungu ini ya?”
“Ada ungu yang lebih bagus lho Kin.”
“Cukup ini aja deh Than.”
“Aku janji kapan-kapan aku bawain kerang itu buat kamu.”
“Nggak usah kali Than...”
Nathan hanya tersenyum penuh tanda Tanya buatku. Kemudian dia berlalu begitu saja, dari hadapanku. Baru kali ini kulihat Nathan bicara seperti itu, meski tak jarang dia juga bersikap aneh. Apa maksudnya menawariku kerang dan berjanji membawakannya untukku? Mungkin ini memang suatu yang biasa, tapi bagiku ini janggal. Janggal untukku yang sedang dirundung perasaan aneh, entah apa itu, perasaan khusus pada Nathan. Memiliki kerang ungu itu, rasanya seperti menemukan harta karun yang tak ternilai harganya. Kerang ungu dari Nathan, lelaki sejuta Tanya.
Kerang Ungu
Label: Fiksi-ku
Letter to Af
Dear mas Af,
Mas Af, apa kabar? Semoga Allah slalu melindungi mas. Amin.
Jakarta gimana mas? Enak tinggal disana? Kerjaan mas gimana? Temen-temen mas baik-baik kan orangnya? Maaf ya mas, aku banyak tanya, soalnya aku pengen tahu banyak sih... Kan semenjak mas Af di Jakarta, mas belum pernah cerita-cerita ke aku. Kalo aku duluan yang tanya, aku takut aku ganggu mas, nggak berani, hihii
Mas Af, aku pengen ngobrol banyaaaakk banget ke mas. Semester ini aku bisa nempuh full lagi, alhamdulillah, nggak ada nilai c mas. Masuk tahun ajaran baru, aku sekarang uda smester 5, semester tengah, masi cukup lama untuk menyandang gelar sarjana kaya mas, tapi kudu tetep smangat! kudu kuliah yang bener biar bisa cepet-cepet nyusul mas Af jadi sarjana.
Mas Af, kemarin aku jalan-jalan muterin kota. Lewat jembatan kembar malem-malem, masih sama kaya 6 bulan yang lalu, waktu kita lewat sana sehabis mas traktir aku di hari ulang tahun mas. Aku juga sempat lewat depan resto perahu. Hihiihi, jadi inget pertama makan di tempat itu. Oh iya mas, bangunan besar yang mas bilang mau dijadiin hotel itu sekarang udah jadi lho mas, keren banget mas. Mewah.
Mas Af, sebentar lagi tanggal 12 oktober, mas Af tau nggak itu tanggal apa? oke lah, mas nggak perlu susah-susah untuk mengingatnya. Tapi mas inget kan pertama kali mas makan di Angkringan Mie Setahun yg lalu? Tau nggak mas? Sampai sekarang, aku mas inget rasa mie yg aku makan pas bareng sama mas, dan sampai sekarang mie itu jadi menu favoritku kalo dateng kesana. Hihii... tahun ini... Uda pasti aku gak bisa ngulang kejadian yang sama kaya tahun lalu. Gak bisa makan mie lagi sama mas Af, gak bisa ngobrol di teras kosan lagi sama mas Af. Mas jauh di Jakarta sih... Hehee dan aku masi di Jember, entah kapan aku keluar dari kota ini. Yang pasti aku harus memanfaatkan waktuku di kota ini sebaik2nya, sebenci apapun aku pada kota ini tanpa ada mas Af, suatu saat aku pasti rindu kota ini.
Ah, baru sebentar mas pergi, tapi rasanya kota ini kehilangan warna dimataku. sekarang aku cuma bisa berandai2... Seandainya jakarta-jember seperti kampus fisip-ft, seandainya aku bisa kaya jinny yg bsa dengan mudah berpindah tempat hanya dengan berkedip, seandainya tempatku berbaring sekarang cuma berbatas tirai dengan tempat mas berbaring, seandainya bicara dengan mas seperti bicara dengan adikku, seandainya... Dan seandainya... Sayangnya... Aku takut, takut buat sms mas sekedar tanya kabar, takut menelepon mas sekedar ingin mendengar suara mas, takut menerima kenyataan terperih yg akan aku terima dari mas kalau aku jujur dengan perasaan ini. karna aku rapuh mas... Dan makin rapuh sepeninggalmu dari kota ini.
Mas Af, aku minta maaf, atas kelancanganku menulis surat ini. Entah surat ini sampai ke tangan mas atau nggak, entah alamat yg dituju salah atau benar. Aku minta maaf atas tragedi terakhir kita bertemu di festival itu, mungkin mas merasa gak ada yg salah, tapi aku merasa itu kekonyolan paling parah mas. Aku sedih kenapa harus bertemu mas ketika aku sedang bersamanya? Dan aku minta maaf untuk kelancanganku mengungkapkan berbagai hal aneh mengatasnamakan mas di jejaring sosial. Aku kangen mas Af...
Mas Af, baik-baik ya di kota orang... Merinding aku menulis surat ini, membayangkan kehidupan mas di kota sekeras Jakarta. Jaga kesehatan ya mas, ingat Allah selalu. Semoga mas bisa meraih kesuksesan disana, hidup makmur, dan tetap bersahaja, seperti mas Afin yang aku kenal. sudah ya mas, lain kali kalo aku kangen mas, aku pasti akan tulis surat lagi.
Teriring doa dari hati...
Semoga Allah selalu menemanimu...
Al
Label: Fiksi-ku